Mongabay.co.id

Alami Keterancaman, Butuh Kolaborasi Selamatkan Terumbu Karang di Indonesia Timur

 

Terumbu karang di wilayah kerja Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, yang meliputi 8 kawasan konservasi di Indonesia timur, mengalami kondisi keterancaman, baik itu karena faktor alam atau karena aktivitas manusia. Saat ini tutupan karang berkisar 18,55% – 59,8%.

Kondisi paling parah ditemukan di Taman Nasional Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan luas terumbu karang mencapai 53.063 hektare dengan nilai tutupan hanya sebesar 18,55 persen.

“Jika dilihat dari presentasi tutupan berdasarkan tingkat aktivitas pemanfaatan kawasan terlihat jelas kalau kegiatan penangkapan ikan dan pariwisata menyebabkan tekanan yang cukup besar bagi ekosistem terumbu karang,” ungkap Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Ikram Sangadji, dalam diskusi daring yang dilaksanakan BKKPN Kupang, Jumat (12/6/2020).

Menurutnya, jika dibandingkan oleh luas kerusakan antara kedua faktor penyebab kerusakan, diketahui terdapat perbedaan yang cukup signifikan di mana kerusakan akibat kegiatan manusia bernilai lebih besar.

“Sebagai contoh kegiatan pariwisata. Semakin tinggi kegiatan wisata di suatu kawasan maka akan semakin tinggi pula tekanan kerusakan ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan budaya serta perilaku wisatawan,” katanya.

baca : Sisi Positif Wabah Corona Bagi Terumbu Karang Indonesia

 

Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Kapoposang, Pangkep, Sulsel. BKKPN Kupang melakukan transplantasi terumbu karang di TWP Kapoposang dengan target rehabilitasi seluas 500.000 m2, dan restorasi sebesar 4.090.000 m2 untuk 5 tahun ke depan. Foto: BKKPN Kupang

 

Selain itu, aktivitas penangkapan ikan juga memberikan tekanan yang tinggi bagi karang, apalagi dengan masih adanya aktivitas destructive fisihing di beberapa wilayah, yang menyebabkan kerusakan yang cukup luas.

Menghadapi kondisi ini, Ikram berharap adanya kolaborasi berbagai pihak secara nasional, yang melibatkan pemerintah lokal, masyarakat, pengelola kawasan wisata dan akademisi.

Menurutnya, untuk mengurangi kerusakan akibat aktivitas manusia melalui sistem mitigasi tertentu, upaya pemulihannya lebih singkat dibandingkan kerusakan akibat faktor alam, dengan tetap mempertimbangkan faktor pemanfaatan kawasan tersebut.

“Fungsi restorasi dan rehabilitasi ini tentunya untuk mengembalikan kondisi dan memberikan suatu penyadartahuan bagi masyarakat sebagai bentuk pengelolaan berkelanjutan,” katanya.

Hanya saja, dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang yang rusak akibat ulah manusia kadang menghadapi situasi dilematik, karena dalam prosesnya akan berbenturan langsung dengan kepentingan manusia itu sendiri.

Saat ini terdapat beberapa kolaborasi yang sedang digarap dalam lingkup KKP bersama dengan ICCTF Bappenas dan Conservation International yang berlokasi di Laut Sawu dan Suaka Alam Perairan (SAP) Aru Tenggara.

“Kami berharap dari target capaian tersebut bisa mencapai 30 persen dari nilai target tiap tahunnya. Tentunya akan kami lakukan evaluasi tiap tahun guna mencapai dan mendapatkan suatu pengelolaan dan pemulihan ekosistem yang maksimal.”

baca juga : Begini Tantangan Konservasi Terumbu Karang di Saat Pandemi

 

Seorang penyelam sedang menyelam di perairan Pulau Kapoposang yang masuk areal TWP Kapoposang. Foto : BKKPN Kupang

 

BKKPN Kupang juga sedang melakukan kegiatan transplantasi terumbu karang di Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang dengan target rehabilitasi seluas 500.000 m2, dan restorasi seluas 4.090.000 m2 untuk lima tahun ke depan.

“Target ini kami sampaikan untuk memberikan informasi terkait upaya yang akan kami lakukan dan menjelaskan bagaimana besarnya kebutuhan dukungan dari berbagai pihak dalam pengelolaannya,” tambahnya.

Target jumlah transplantasi di wilker BKKPN Kupang sendiri untuk tahun 2020 adalah 1.000 rangka web spider dan 12.000 pcs fragmen karang dengan peningkatan persentase tutupan karang hidup sebesar 10-30 persen.

perlu dibaca : Menumbuhkan Karang dan Memberdayakan Masyarakat di Kapoposang

 

Pentingnya Rehabiltasi dan Restorasi

Menurut Syafyuddin Yusuf, pakar kelautan dari Universitas Hasanuddin, kerusakan terumbu karang adalah fenomena global yang terjadi di seluruh dunia dengan perkiraan kerusakan mencapai 75 persen. Untuk mengatasi masalah ini upaya yang biasa dilakukan melalui rehabilitasi dan restorasi.

Restorasi adalah upaya mengubah ekosistem yang rusak menjadi ekosistem pengganti namun tidak bisa ke bentuk aslinya. Sementara rehabilitasi merupakan suatu tindakan untuk menempatkan kembali sebagian atau seluruh struktur atau karakteristik fungsional dari suatu ekosistem yang telah hilang.

“Dalam hal ini restorasi merupakan upaya mengembalikan suatu kondisi menjadi kembali baik namun tidak dapat mengembalikan seperti suatu keadaan semula,” jelasnya.

menarik dibaca : Destructive Fishing Masih Marak Terjadi di NTT, Kenapa?

 

Terumbu karang dan biota laut di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : Marthen Welly/Hope Spot

 

Menurutnya, sejumlah alasan kenapa restorasi harus dilakukan antara lain karena telah terjadi evolusi ekosistem dari ekosistem alami yang mengalami degradasi, untuk memberikan kesempatan pemulihan ekosistem, memperbaiki pola pikir masyarakat dan memperkuat dan mempertahankan daerah perlindungan laut.

“Tujuan restorasi dipengaruhi oleh batasan ekonomi, hukum, sosial dan politik. Dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan implementasi program rehabilitasi ekosistem yaitu pendekatan kebijakan, sosial, teknis dan biaya,” jelasnya.

Untuk rehabilitasi terumbu karang dibiarkan pada kondisi saat itu atau ditinggalkan begitu saja, dengan harapan akan menghasilkan suatu kondisi yang lebih baik, mengingat kemampuan pulih yang dimiliki terumbu karang.

“Hanya saja terdapat juga faktor yang mempengaruhi seperti sampah dan gelombang yang mungkin akan mengganggu proses rehabilitasi dengan transplantasi sehingga perlu dilakukan suatu monitoring berkelanjutan oleh pengelola.”

Menurutnya rehabilitasi akan berhasil jika didukung oleh SDM yang bagus, kualitas air, lokasi jauh, dari sedimentasi, monitoring yang teratur, keterlibatan masyarakat semua fase.

“Dengan berhasilnya kegiatan rehabilitasi dapat menciptakan suatu peluang dan manfaat berupa pemanfaatan wisata, ekosistem yang pulih, menciptakan habitat baru serta melimpahnya ikan karang,” tambahnya.

baca : Menata Kembali Terumbu Karang dan Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pulau Bontosua

 

Proses penanaman medium tanam berupa rangka ‘spider’ di Pulau Bontosua, Pangkep, Sulsel. Metode ini dinilai jauh lebih efektif dan efisien dibanding metode restorasi terumbu karang lainnya. Foto: Rison Syamsuddin/Mongabay Indonesia

 

Pengalaman Restorasi

Dalam diskusi ini turut hadir pula Saipul Rapi, Marine Suistainable Programme Manage, PT. Mars Symbioscience Indonesia.

Ia menjelaskan sejumlah program restorasi terumbu karang dan pemberdayaan masyarakat pesisir yang dilakukan PT. Mars di Pulau Badi dan Bontosua Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, dalam beberapa tahun terakhir.

“Tujuan Mars melakukan rehabilitasi terumbu karang adalah mendukung pengembangan mekanisme berkelanjutan dalam rantai pasokan secara luas dari sumber daya laut dengan menciptakan contoh nyata bagaimana perubahan itu bisa diwujudkan,” jelas Saipul.

Selain itu, program rehabilitasi dan restorasi Mars juga bertujuan untuk mengembangkan model usaha yang berkelanjutan yang bisa direplikasi untuk mendukung proses perubahan dengan cara bahwa sumber daya laut yang dikelola untuk kepentingan masyarakat pulau dan pesisir.

Menurut Saipul, sejumlah manfaat yang diharapkan dari restorasi ini adalah meningkatkan atau mengefisiensikan eksploitasi perikanan, menyediakan fasilitas alternatif baru perikanan, manajemen rehabilitasi lingkungan, mengalihkan lokasi penangkapan dari terumbu karang, restorasi habitat terumbu karang, mencegah erosi pantai, pemecah ombak, daerah pemijahan, pembesaran dan feeding biota, lokasi penelitian serta mereduksi over eksploitasi stok ikan.

“Rehabilitasi yang dilakukan di bawah air berbasis pada ilmu pengetahuan terkait sosial ekonomi dan kelimpahan biomassa ikan, sedangkan untuk kegiatan di atas air yaitu menciptakan suatu solusi berdasarkan ilmu pengetahuan, sosial ekonomi alternatif, perikanan berkelanjutan dan kerjasama,” paparnya.

perlu dibaca : Ketika Terumbu Karang Tumbuh Kembali di Pulau Badi

 

Kondisi karang di Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang rusak karena faktor eksploitasi dan pembiusan untuk penangkapan ikan. Foto: PT Mars Symbioscience Indonesia

 

Terkait manfaat rehabilitasi bagi masyarakat dan ekosistem pesisir, serta kenaikan kelimpahan dan biomassa ikan setelah dilakukannya kegiatan restorasi, menurut Saipul, kini tengah dalam upaya penggalian data di lapangan.

“Dalam hal ini, Mars memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan oleh akademisi guna mengetahui jawaban dari pernyataan tersebut. Data tersebut dijadikan sebagai dasar dalam mengetahui tingkat pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan restorasi di daerah ekosistem target sebagai suatu bentuk survei awal.”

Mars juga telah melakukan beberapa metode seperti membangun rumah ikan dan biorock yang bertujuan untuk mengembalikan karang hidup di perairan tersebut.

 

Exit mobile version