Mongabay.co.id

Perpres Jabodetabekpunjur Berpotensi Susutkan Kawasan Lindung dan Kekeringan?

Lahan pertanian di Cikupa, Tangerang. Di dekat kawasan ini sudah banyak komplek perumahan terbangun.Dengan dalih pembangunan kawasan, jangan sampai mengorbankan lahan pangan menyusut dan rumah air seperti situ atau danau . Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur, dinilai berpotensi munculkan masalah, seperti daya dukung lingkungan wilayah itu bakal makin terjepit. Hasil analisis memperlihatkan, potensi kawasan lindung susut dan kekhawatiran lahan pangan di  di   terancam kekeringan di masa depan.

Mengacu hasil perbandingan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Jawa Barat 2016, Kabupaten Bogor, sebagai wilayah hilir berisiko sangat tinggi mengalami kekeringan di Parung, Tigaraksa dan Gunung Sindur, yang saat ini pemanfaatan lahan berupa kebun campuran, tegalan dan persawahan. Wilayah Citeureup, Cileungsi dan Kelapa Nunggal berupa pertanian dan ruang terbuka.

“Setelah saya analisis dalam perpres ini di halaman 190-an, ternyata terjadi penyusutan sekitar 14.000 hektar wilayah lindung. Itu akan mengurangi resapan air di wilayah hilir yang kemudian jadi penyebab kekeringan,” kata Dian Afriyanie dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability dalam diskusi bertajuk ‘Mengupas Perpres No. 60/2020: Peluang dan Tantangan Keberlanjutan Jabodetabek’ secara daring, baru-baru ini.

Wilayah lindung itu, kata Dian, dapat berupa hutan lindung, cagar alam hingga ruang terbuka hijau. Sayangnya, belum ada rincian wilayah mana yang akan mengalami alih fungsi kawasan lindung.

“Berdasarkan dugaan saya, yang hilang adalah RTH di wilayah hilir,” katanya.

Hilangnya kawasan lindung jelas tidak sejalan dengan tujuan dari pembuatan perpres agar jadikan wilayah sekitar Jakarta sebagai penyangga pangan, dan wilayah resapan air.

Kehilangan kawasan lindung juga makin mengancam terjadi banjir di wilayah Jabodetabek seiring peningkatan curah hujan dampak perubahan iklim.

Di dalam perpres, katanya, memang terumus langkah intervensi banjir seperti infrastruktur abu-abu (grey infrastructure). Ia berupa pembangunan lima kanal, tanggul pantai sepanjang kawasan pesisir, normalisasi 19 sungai utama hingga pengamanan pantai dan konektivitas lepas pantai.

Kemudian, infrastruktur biru (blue infrastructure) melalui penetapan 305 titik sungai, danau, embung dan waduk, ada juga infrastruktur hijau (green infrastructure) berupa kawasan lindung dan turunan seperti RTH dan lain-lain. Itu semua, katanya, masih belum cukup lantaran ada pengurangan-pengurangan lain selain kawasan lindung. Jumlah blue infrastructure berkurang dari 525 titik dibandingkan perpres sebelumnya, No.54/2008.

Begitu juga lokasi 30% RTH dari masing-masing wilayah administrasi kabupaten/kota tidak spesifik. Padahal, penting dalam memenuhi berbagai keperluan jasa ekosistem yang dihasilkan dari ruang hijau perkotaan, termasuk pengendalian banjir dan kekeringan di masa depan.

Dari ketiga infrastruktur itu, ternyata grey infrastructure lebih dominan ketimbang dua lain. “Concern saya, apakah grey infrastructure itu sudah menganalisis climate-proofing infrastructure capacity? Seperti untuk mengantisipasi peningkatan curah hujan di masa depan,” katanya.

Selain itu, yang perlu didorong lagi bagaimana blue infrastructure harus bertujuan mengatasi kekeringan di masa depan, bukan cuma banjir. Untuk green infrastructure, bila berkaca dari pengalaman, ada keraguan kabupaten/kota di dalam perpres ini dapat memenuhi 30% RTH.

“Kalaupun ada, lokasi di pinggiran yang harga lahan murah, dibutuhkan justru di tengah kota.”

 

Sungai di Solear, Tangerang, Banten. Jangan sampai dengan terjadi pembangunan ‘kota metropolitan’ sungai-sungai jadi sesak dan terhimpit. Foto: Andreas Harsono

 

Hanya retorika

Ahmad Safrudin, reader lingkungan dari Thamrin School menyatakan, keraguan penerapan perpres RTRW Perkotaan Jabodetabekpunjur ini. Dia pun berkaca dari pengalaman dan kondisi nyata di lapangan.

Salah satu yang disoroti Ahmad adalah kualitas air sungai yang mengalir ke muara di Jakarta dan sekitar dalam kondisi tercemar dan di bawah baku mutu. Belum lagi dengan kondisi air tanah dangkal dan buruk.

“Belum lagi kualitas air di setu yang rata-rata tunjukkan angka yang tidak memenuhi baku mutu air minum, kondisi pencemaran ini pun kami temukan sampai di Teluk Jakarta. Ini semua harusnya menjadi pertimbangan dalam konteks penyusunan Perpres Jabodetabekpunjur ini,” ucap Ahmad.

Berdasarkan data yang dia sajikan, di Jakarta saja, terdapat 12 dari 48 waduk tercemar. Yang mengalami kerusakan ada 12 waduk. Padahal seluruh waduk ada dua yang jadi kawasan rekreasi, dan delapan penampungan air, lima waduk kawasan resapan air dan enam tak memiliki fungsi sama sekali.

Dalam Perpres 60/2020 ini, katanya, masih menempatkan sumber daya alam, mineral dan air sebagai sumber eksploitasi. “Selama ini, tidak ada upaya mempertahankan daya dukung lingkungan.”

 

Rentan pelanggaran

Satu kerawanan perpres ini, katanya, akan makin marak praktik penguasaan dan pemanfaatan lahan. Kondisi ini, diperparah dengan tidak para pemimpim yang tak berdaya dengan para calo tanah yang libatkan para pemodal.

Pada praktiknya, pembangunan di pinggir Jakarta selalu diawali oleh inisiatif sangat kuat dari swasta, tak jarang juga peran calo tanah sangat kuat. “Pemerintah kan hanya stempel saja dalam konteks pembebasan lahan. Jika ini tidak dikawal, penataan ruang tidak akan berikan proteksi bagi kawasan lindung,” katanya.

Apalagi, dengan ada penyusutan kawasan lindung yang jelas dalam Perpres 60/2020. Bukan tidak mungkin, katanya, kawasan-kawasan itu menyusut atas nama konglomerat yang menggunakan peran calo di dalamnya.

“Banyak sekali RTH dan kawasan lindung yang dikonversi sedemikian rupa yang hilangkan potensi RTH. Para calo tanah ini sudah sangat pintar dalam menguangkan bantaran sungai atau RTH yang adalah milik negara.”

Karena itu, yang harus didorong dalam implementasi perpres ini adalah pemberian sanksi dan mekanisme insentif dan disinsentif guna menghindari alih fungsi lahan hijau. Menurut dia, harus ada mekanisme subsidi bagi petani agar tak berniat menjual jual lahan dan lahan itu tetap dikelola. Petani, adalah pihak paling rentan terserang para calo tanah.

Sisi lain, Dian menilai pelanggaran alih fungsi lahan kerap diputihkan lewat revisi tata ruang terbaru di satu wilayah. Kondisi ini juga yang bisa terjadi pada area Jabodetabekpunjur ini.

“Pelanggaran di kawasan lindung, itu sepengetahuan saya jarang sekali dikembalikan ke kawasan lindung, cuma ada denda dan tata ruang baru akan memutihkannya,” kata Dian.

Senada dikatakan Andi Simarmata, Urban Reader Thamrin School. Pemerintah pusat maupun daerah, katanya, harus bisa menjaga wilayah desa dan pertanian di dalam kawasan megalopolis supaya tidak ada konversi kawasan hanya karena desakan pasar.

“Harus ada kontrol dari pemerintah supaya ada keseimbangan ekologi di situ,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama: Lahan pertanian di Cikupa, Tangerang. Di dekat kawasan ini sudah banyak komplek perumahan terbangun.Dengan dalih pembangunan kawasan, jangan sampai mengorbankan lahan pangan menyusut dan rumah air seperti situ atau danau . Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version