Mongabay.co.id

Meneladani Gus Dur dalam Membela Lingkungan Hidup

Pembukaan hutan yang terjadi di Aceh Timur yang merupakan Kawasan Eksositem Leuser pada April lalu pada koordinat GPS: N 4 26 11.1 E 97 50 6.9. Foto: Rainforest Action Network

 

 

 

 

“MUI itu ngawur dan kalau bisa, kamu lapor aja ke polisi dan masukkan nama saya sebagai salah satu pelapornya.” Perkataan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Radio KBR 68 H ini begitu membekas dalam pikiran Aak Abdullah Al-Kudus, hingga kini. Pembelaan Gus Dur ini saat pendiri Laskar Hijau ini mendapat ‘serangan’ disebut sesat karena adakan acara “Maulid Hijau.”

Ceritanya, pada 2006, Aak membuat gerakan “Maulid Hijau” di Danau Ranu Klakah, Lereng Gunung Lamongan, Lumajang, Jawa Timur.

Gerakan itu berasal dari tradisi masyarakat setempat. Masyarakat Ranu setiap tahun mengadakan ritual maulid nabi, tradisi umat Islam di Indonesia untuk memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad, sambil aksi menanam dan merawat pohon di sekitar danau.

Aak berinisiatif untuk gerakan hijau bersama masyarakat Ranu. Dia rembuk dengan warga untuk jadikan tradisi itu sebagai kampanye pelestarian lingkungan, menghijaukan Gunung Lamongan yang sudah rusak. Warga setuju. Pada 2006, gerakan bertajuk Maulid Hijau, mulai.

Aak tak maksud menghilangkan esensi tradisi maulid nabi, sebagai salah satu ekspresi kecintaan umat Islam kepada nabinya. Gerakan ini mendapatkan respon antusias baik di tengah-tengah masyarakat.

Tantangan datang pada tahun ketiga.

“Nah, 2008 itu kami juga mendapatkan respon luar biasa dari Majelis Ulama Indonesia di Lumajang yang menyatakan, kegiatan yang kami lakukan itu adalah sesat. Waktu itu, saya yang disebut di dalam surat fatwa itu bahwa saya adalah tokoh sesat di Lumajang karena kegiatan Maulid Hijau ini,” kata Aak, akhir Mei 2020 dalam diskusi daring.

Respon MUI itu seperti malapetaka bagi Aak dan keluarga. Dia dihujat ulama, yang dianggap menyesatkan masyarakat di sekitar Gunung Lamongan karena mengubah nama maulid nabi jadi Maulid Hijau.

Saat itu, dia dan teman-temannya menganalisa fatwa MUI itu. Baginya, argumen fatwa MUI lemah dan secara prosedur juga bermasalah. Fatwa MUI hanya boleh keluar oleh MUI pusat, setelah klarifikasi dan diskusi.

Aak dan teman-temannya melawan. Para ulama MUI juga bersikukuh. Mereka menghimpun sekitar 50 kiai senior di Lumajang untuk ke Jakarta, minta MUI pusat mengeluarkan fatwa secara nasional.

Saat itu, kebetulan, Aak berada di Jakarta. Dia bingung, sebagai seorang santri, tidak ingin melawan para kiai. Dia pernah nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, selama lima tahun.

“Saya tidak ingin berhadap-hadapan dengan para kiai-kiai itu karena bagaimanapun saya santri. Saya harus takzim kepada kiai, tetapi ini gak benar.”

Salah seorang temannya menyarankan untuk menghubungi Gus Dur. Dia datang ke Gus Dur di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Dia utarakan permasalahan itu kepada Gus Dur.

Gur Dur bilang,” ngene wae, sesok aku ono acara kongkow neng Radio [KBR] 68 H, neng Utan Kayu. Kamu tekko, ngomong neng kono (begini saja, besok aku ada acara kongkow di Radio KBR 68 H, di Utan Kayu. Kamu datang, cerita di sana).”

Waktu itu Aak grogi, dia merasa bukan siapa-siapa, tetapi seorang Gus Dur tanpa pikir panjang membelanya dengan tegas. Baginya, ini luar biasa.

 

Aak Abdullah Al-Kudus, pendiri Laskar Hijau bersama Gus Dus di Radio KBR68 H pada 2006. Foto: dokumen pribadi

 

Berkat pernyataan Gus Dur di radio, rencana para kiai ke Jakarta batal, padahal bus sudah disewa, segala suatu sudah disiapkan.

Leonard Simanjutak, Kepala Greenpeace Indonesia, juga punya kenangan mengesankan dengan Gus Dur, saat Orde Baru. Saat itu, Leo baru lulus kuliah. Dia riset tentang bahaya PLTN, Indonesia tak perlu PLTN.

Dia pernah terlibat dalam penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Muria, Jepara, Jawa Tengah. Dia masih ingat jelas waktu itu, Desember 1994. Dia mewakili Masyarakat Anti Nuklir Indonesia (MANI) menolak PLTN. Sebelum aksi, dia bicara dulu dengan beberapa tokoh, salah satu Gus Dur, kala itu oposisi pemerintah.

Leo bilang, perlawaan masa Orde Baru itu bukan hal mudah. Dia melakukan berbagai lobi dengan berbagai pihak seperti Iwan Fals, termasuk ke Erasmus Huis—Pusat Kebudayaan Belanda di Jakarta. Kala itu, dia pikir lembaga ini mempunyai kekebalan diplomatik. Nyatanya, saat diskusi masih berlangsung, datang polisi membubarkan. Kedutaan punya kekuatan diplomatik, Erasmus Huis tidak.

“Kami, Masyarakat Anti Nuklir Indonesia yang kecil itu berhadapan dengan mesin-mesin raksasa negara Orde Baru. Sangat bersyukur mempunyai Gus Dur sebagai sekutu,” katanya.

Baginya, Gus Dur tegas dalam mengambil sikap. Gur Dur mempunyai pandangan holistik tentang lingkungan hidup.

Kerja sama dengan Gus Dur terus berlanjut. Gus Dur mengungkapkan, pernyataan-pernyataan yang membela kaum lemah, terutama kaum nadhiyin di sekitar semenanjung Muria, Jepara, yang akan jadi lokasi PLTN.

Gus Dur mengerti apa yang jadi fokus, PLTN lebih banyak mudarat daripada manfaat. Bakal banyak persoalan kalau ada PLTN, seperti limbah nuklir yang akan jadi persoalan bagi generas-generasi selanjutnya.

“Waktu itu, awal dan pertengahan ‘90-an diteruskan sampai ‘98, yang namanya pemimpin oposisi paling penting di Indonesia tentu Gus Dur, Ketua PBNU. Tidak ragu-ragu untuk menyatakan diri, menyatakan berseberangan dengan rezim Orde Baru di berbagai hal.”

 

 

Jejak kepedulian lingkungan Gus Dur

Inayah Wulandari, putri Gus Dur, mengatakan, Gus Dur dikenal sebagai tokoh multidimensi. Biasa yang dibahas adalah demokrasi, hak asasi manusia, budaya, komedi, dan kajian-kajian keislaman.

“Yang paling pasti, biasanya, selalu dikait-kaitkan sama agama,” kata putri bungsu Abdurrahman Wahid ini.

Bicara masalah lingkungan, katanya, jarang orang mengkaitkan dengan Gus Dur. Padahal, banyak tulisan-tulisan, maupun gagasan-gagasan, Gus Dur tentang lingkungan hidup.

Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institut, menelusuri tapak legacy Gus Dur bidang lingkungan hidup. Ada beberapa tapak legacy Gus Dur dia temukan. Satu, penganjur land reform untuk kedaulatan agraria dan keadilan untuk petani.

Dia cerita, saat Gus Dur masih menjabat presiden mengatakan, perusahaan perkebunan itu 40% tanah mencuri dari tanah rakyat, harus kembali kepada rakyat. Bahkan, Gus Dur mengatakan PTPN ini nyolong tanah rakyat.

“Belum pernah ada dalam sejarah itu presiden berani ngomong begitu (seperti Gus Dur), kecuali Bung Karno, ya,” katanya.

Statemen itu, kata Eko, membuat gerakan reclaiming atas wilayah-wilayah perkebunan se Indonesia.

Dua, pendorong lahirnya Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Tiga, pelopor dan inspirator pembangunan berbasis maritim: kedaulatan sumber daya alam laut dan pesisir (kelahiran Kementerian Kelautan dan Perikanan).

“Ini menunjukkan, Gus Dur ini ingin ada kedaulatan sumber daya laut dan pesisir dan itu diwujudkan dalam satuan (lembaga).”

 

Sampah, salah satu masalah lingkungan di Indonesia. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Eko bilang, ini bukan hanya karena aspek kesejarahan nusantara, juga karena aspek lingkungan dan kelestarian ekosistem laut.

Empat, gagasan gerakan hijau (green movement) dalam parpol dengan prinsip kultural dan bersumber pada nilai-nilai lokal yang hidup (living knowledge).

Semua partai politik wajib memiliki agenda hijau. Namun, katanya, terdapat tiga hal perlu dipenuhi dalam agenda hijau yang dimaksud Gus Dur. Pertama, harus bersifat kultural, bukan politis. Agenda tidak buat merebut kekuasaan tetapi memastikan agenda hijau itu untuk kelestarian lingkungan. Kedua, harus bicara tentang nilai-nilai lokal yang hidup, digali dari nilai-nilai lokal nusantara atau living knowledge. Ketiga, dengan koridor kebhinekaan.

Lima, penolakan industri ekstraktif perusak sumber daya alam dan ekslusi rakyat (PLTN Jateng, pabrik kertas Sumatera/2010).

Enam, terobosan kebijakan moratorium tebang hutan (10-20 tahun) untuk keberlanjutan pelestarian ekosistem diikuti restorasi, koreksi regulasi dan kebijakan perusak sumber daya alam.

“Kalau di dalam statemennya Gus Dur, agar ada hutan itu bernapas lagi tapi diikuti juga restorasi, koreksi regulasi dan kebijakan yang dianggap merusak sumber daya alam.”

Terobosan ini, kata Eko, jadi salah satu sebab Gus Dur mendapat penghargaan gelar penghormatan sebagai tokoh pejuang lingkungan hidup dari Wahana Lingkugan Hidup (Walhi) pada 2010.

Tujuh, pengembangan pendidikan Islam berwawasan lingkungan hidup. Lembaga pendidikan harus jadikan pelajaran lingkungan hidup sebagai salah satu kewajiban.

 

***

Gus Dur dikenal sebagai salah satu pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Eko, pemikiran keislaman Gus Dur mempunyai titik sambung dengan dengan isu-isu lingkungan.

Dia bilang, ada enam poin titik sambung antara pemikiran Gus Dur dengan isu-isu lingkungan. Pertama, kemanusiaan, keadilan dan kearifan tradisi.

Dia mengutip pernyataan Gus Dur, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.”

“Keberimanan kepada Allah harus direalisasikan dalam kesadaran untuk menjaga, memelihara dan melestarikan lingkungan,” kata Eko.

Kedua, epistimologi hukum Islam: “maqasidus syariah.” Sebagai tokoh Islam, kata Eko, Gus Dur, mengenal tentang maqasidus syariah: memelihara agama (hifdz al-din), memelihara jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-’aql), memelihara harta (hifdz al-maal), dan memelihara keturunan/kehormatan (hifdz al-nasl).

Gus Dur juga tak akan asing tentang hifdzul bi’ah (menjaga lingkungan) yang diperkenalkan oleh Asy-Syatibi.

“Kalau rusak lingkungan, pasti sulit kita bicara bagaimana menjaga nilai agama, menjaga jiwa, akal, harta, dan keturunan.”

Ketiga, dasar sikap Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah: tawazun (seimbang) dan amar ma’aruf nahi mungkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), tawassut (moderat), i’tidal (tegak lurus), tasamuh (toleransi).

Eko bilang, sikap seimbang sangat dekat dengan masalah lingkungan, keseimbangan lingkungan. Amar ma’ruf nahi mungkar, katanya, bisa berarti seruan keadilan ekologis dan mencegah kemungkaran seperti pembabatan hutan.

Keempat, kaidah Islam, “darul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi mashalih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengupayakan kamaslahatan).

Kelima, prinsip relasi alam bukan sekadar benda mati, tetapi manifestasi Allah. “Sebenarnya relasi alam manusia dan Tuhan, itu satu kesatuan utuh, yang gak bisa dipisahkan.”

Keenam, tujuan akhir moral-etik muslim: Islam Rahmatal lil ‘alamin. “Tujuan akhir moral etik orang muslim adalah rahmatal lil alamin, rahmat buat semesta alam, bukan hanya untuk manusia.”

 

 

Keterangan foto utama: Penggundulan hutan atau pembabatan hutan hingga kini masih jadi masalah besar di Indonesia. Foto: Foto: Rainforest Action Network

 

Exit mobile version