Mongabay.co.id

Pandemi, Pangan dan Pemanfaatan Hutan bagi Rakyat

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, berbagai negara di dunia mencari jalan agar mampu menghadapi masa krisis dampak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), termasuk menghadapi krisis pangan.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) mengingatkan, pandemi COVID-19 ini bisa menyebabkan krisis pangan dunia.

Banyak negara seperti, Rusia, Ukraina dan Kazakhstan telah mengumumkan pembatasan ekspor gandum sebagai bahan dasar roti. Begitu juga dengan Thailand dan Vietnam telah membatasi ekspor beras. Kondisi ini memperlihatkan urusan pangan akan jadi pertarungan kekuasaan pada skala dunia (Mcmichael, 2013).

Baca juga: Antisipasi Krisis Pangan di Masa Pandemi, Orang Papua Kembali ke Pangan Lokal

Berdasarkan itu, perlu langkah signifikan untuk menghadapi krisis pangan dengan antisipasi sedini mungkin. Negara ini punya hutan cukup luas, sebagian kecil bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan. Momentum ini diharapkan dapat menggerakkan pemerintah dan masyarakat memperkuat ketersediaan pangan secara mandiri.

Upaya ini dengan mengutamakan optimalisasi lahan atau hutan yang selama ini kurang dimanfaatkan. Dalam menjalankan aksi di masa pandemi ini disesuaikan dengan protokol kesehatan termasuk mengkampanyekan protokol kesehatan dalam budidaya tanaman pangan di hutan.

Optimalisasi lahan ini mengutamakan masyarakat sebagai subyek utama dengan pelibatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Juga dipastikan program ini dengan pendekatan pengarusutamaan gender termasuk memastikan keterlibatan perempuan minimal 30% dalam setiap tahapan program.

Baca juga: Walau Bukan Sentra Beras, Maluku Utara Kaya Sumber Pangan Lokal

Pendekatan yang inklusif dengan tak membedakan suku, agama, kepercayaan dan ras juga jadi bagian penting dari program ini. Tentu saja karena terkait lingkungan kehutanan, pendekatan agroekologis jadi pilihan utama dalam budidaya pertanian ini.

Membangun aksi ini dengan perspektif kedaulatan pangan dan mengutamakan kekuatan potensi dan sumber daya di masyarakat. Fokus hasil dari budidaya pertanian ini terutama untuk kepentingan masyarakat terlebih dahulu. Baru setelah itu, dalam kerangka solidaritas kemanusiaan, hasil bisa untuk pihak lain yang memerlukan.

Pada fase kerja advokasi, strategi pendekatan dengan kolaboratif. Dengan menggunakan strategi ini, para pihak yang berkepentingan berada dalam kesejajaran dan keseteraan bersama untuk membangun dialog dalam mengoptimalkan lahan dan pekarangan.

Strategi lain juga penting adalah, adaptasi terhadap situasi. Proses adaptasi terhadap situasi ini mengingat ada pandemi COVID-19 maka seluruh kegiatan mengikuti protokol kesehatan termasuk dalam hal budidaya.

Dalam kerja di masa pandemi ada risiko harus dihadapi. Berbagai risiko ini, tentu saja perlu antisipasi dari awal. Pertama, soal penularan penyakit. Mengantisipasi ini, aktivitas harus mengikuti protokol kesehatan termasuk terkait budidaya di lahan atau hutan.

Kedua, perambahan lahan tanpa kendali. Kemungkinan terjadi perambahan sangat besar. Karena itu, perlu perhitungan matang dan sanksi yang dibicarakan secara kolaboratif dengan para pihak terkait. Kalau perlu, tindakan penegakan hukum atas pelanggaran terhadap kesepakatan bersama.

Ketiga, aktivitas optimalisasi hutan tak berlanjut. Upaya optimalisasi hutan ini, diharapkan bukan sekadar pada masa pandemi, setelah itu juga. Dalam konteks inilah, peran desa sangat penting. Desa harus mengawal proses ini dengan memasukkan dalam perencanaan hingga dapat jadi kebijakan desa yang dianggarkan dengan dana desa.

 

Berbagai sumber pangan beragam, dari ubi, pisang, yang ditanam orang Papua. Pangan pokok tak harus beras. Foto: Yan Lagowan

 

Reforma agraria dan perhutanan sosial

Bila mengaitkan dengan program reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS)– sementara ini proses verifikasi berhenti karena pandemi–optimalisasi lahan hutan berbasis desa ini, bisa jadi sarana bagi pemerintah untuk ujicoba transfer pengelolaan hutan negara kepada desa.

Di Indonesia, ada kawasan hutan negara yang berkonflik agraria dengan masyarakat. Di Jawa, misal, Koalisi Pemulihan Hutan Jawa membuat beberapa tipologi konflik dan model penyelesaian. Pada masa pandemi ini diharapkan bisa memberi andil dalam upaya mengatasi krisis pangan.

Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

Beberapa tipologi konflik di kawasan hutan, pertama, hutan negara dengan rakyat punya sejarah kepemilikan tetapi kemudian terusir karena dituduh terlibat gerakan DI/TII, PKI, ataupun sebab lain. Negara bisa memilih opsi untuk memberikan tanah itu kepada pemilik atau ahli waris.

Kedua, jika hutan negara berada di tanah hasil sedimentasi maka bisa diberikan kepada rakyat untuk lahan pertanian.

Ketiga, hutan negara yang secara de facto dikuasai masyarakat untuk budidaya pertanian. Negara bisa memberikan hak kelola kepada desa atau masyarakat setempat dalam bentuk skema izin pengelolaan.

Keempat, hutan negara dengan tekanan penduduk tinggi hingga Perhutani mengalami gagal tanam ataupun gagal panen. Negara bisa memberikan kepada desa jadi hutan milik desa.

Kelima, hutan negara yang selama ini dikelola Perhutani dengan tekanan penduduk rendah. Negara bisa transfer pengelolaan kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk dikelola masyarakat.

Keenam, hutan adat yang oleh negara diklaim sebagai hutan negara. Negara bisa memberikan hak itu kepada masyarakat adat.

Akhirnya, pandemi harus hadapi bersama dan bisa jadi momentum menciptakan jalan baru bagi kehidupan pasca pandemi.

Dengan memberikan transfer kepemilikan atau pun pengelolaan hutan kepada masyarakat, akan memastikan keberlanjutan kehidupan terutama ketersediaan pangan dan lingkungan yang baik.

 

* Barid Hardiyanto, penulis bekerja di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH). Kandidat Doktor di Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

***

Keterangan foto utama: Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di hutan di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain.  Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version