Mongabay.co.id

Hilangnya Partisipasi Masyarakat pada Perubahan UU Minerba

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara [Minerba] telah disahkan DPR dan Pemerintah pada 12 Mei 2020 lalu. Banyak permasalahan yang melekat dalam perubahan tersebut, sebagaimana ramai diungkapkan berbagai pihak.

Guna memperkaya diskursus kita atas revisi UU Minerba, pada tulisan ini, saya coba melihat Perubahan UU Minerba dari perspektif partisipasi, sebagai salah satu dimensi keadilan lingkungan. Tentu saja, selain distribusi dan rekognisi.

 

Partisipasi positif dan negatif

Kajian problem partisipasi atas revisi UU Minerba dapat dilihat dari dua konteks, yakni prosedural dan substansial. Konteks prosedural menyangkut proses pembuatan dan pembahasan perubahan UU Minerba.

Sementara substansial berbicara tentang bagaimana konsep partisipasi dimaknai secara naskah akademik dan selanjutnya dinormakan dalam UU Minerba ini.

Dalam konteks prosedural, partisipasi sering merujuk tiga pilar: akses atas informasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan keadilan. Namun, kaidah ini tidak diindahkan dalam proses pembahasan perubahan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan sulitnya menemukan draf yang dibahas, bahkan setelah disahkan menjadi undang-undang.

Pembahasannya dilakukan saat pandemi COVID-19, ketika hak masyarakat untuk berpartisipasi tidak dapat dijalankan optimal. Momentum pembahasan dipilih bukan tanpa kesengajaan, melainkan strategi mengurangi kebisingan [noise reduction] karena masyarakat dilarang berkumpul dan berdemonstrasi secara fisik, dalam melakukan penolakan.

Baca: Ancaman Nyata UU Minerba Terhadap Gajah Sumatera

 

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pada konteks substansial, partisipasi, menurut saya, harus dimaknai dua bentuk. Pertama adalah partisipasi positif, yakni mendukung atau terlibat kebijakan, program, atau proyek pembangunan. Kedua, partisipasi negatif, yaitu untuk mengkritisi, menolak, atau bahkan memboikot kebijakan, program, atau proyek pembangunan.

Jika merujuk Naskah Akademik Perubahan UU Minerba, kita dapat membaca dengan jelas bahwa asas partisipasi dijadikan salah satu prinsip yang harus melandasi perubahan. Permasalahannya, partisipasi ini secara konseptual mengalami reduksi, bahkan pada titik paling rendah.

Di sini, partisipasi hanya dimaknai sebatas positif. Lebih sempit lagi, merujuk keikutsertaan untuk “bekerja pada perusahaan tambang, menjadi pengusaha dan distributor” [vide hlm. 7].

Sebaliknya, partisipasi negatif tidak mendapatkan ruang sama sekali. Padahal, partisipasi negatif dalam bentuk menolak dan mengkritisi operasi tambang dengan jalan aksi non-kekerasan merupakan salah satu bentuk kebebasan berpendapat. Celakanya, partisipasi negatif justru diancam dikriminalisasi dengan tetap dipertahankannya Pasal 162, masyarakat yang dianggap ‘menganggu’ operasi tambang dapat dipidana 2 [dua] tahun penjara.

Ironisnya, Pasal 165 yang memberikan ancaman pidana bagi pejabat yang mengeluarkan izin dan melakukan penyalahgunaan wewenang justru dihilangkan.

Penghapusan ini kontradiktif dengan arahan Naskah Akademik [vide hlm. 55] yang menyatakan bahwa “usaha pertambangan mineral dan batubara […] seringkali merugikan kepentingan masyarakat setempat. Masyarakat hanya menerima dampak negatif pertambangan, karena pejabat setempat memberikan izin tanpa sepengetahuan atau persetujuan masyarakat.”

Baca: UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi

 

Batubara yang diangkut tongkang melalui jalur air. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Perlindungan masyarakat

Sebelum direvisi, Pasal 6 UU Minerba mengatur bahwa salah satu kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan minerba adalah penyelesaian konflik masyarakat.

Dalam perubahannya, kewenangan tersebut dihapuskan sehingga penyelesaian konflik pertambangan dengan masyarakat secara eksplisit tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah. Artinya, pemerintah dengan sadar menarik perannya sebagai pemegang mandat rakyat untuk menyelesaikan konflik di masyarakat.

Tentu saja, hal ini merupakan pembiaran negara atas konflik-konflik tambang antara masyarakat dengan korporasi. Apalagi, konflik ini memiliki karakteristik struktural, terdapat relasi kuasa tidak seimbang.

Jika konflik perusahaan tambang dengan masyarakat terjadi, satu-satunya ketentuan dalam UU Minerba yang akan dirujuk adalah Pasal 145. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa “Masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak: [a] memperoleh ganti rugi yang layak akibat dari kesalahan dalam pengusahaan kegaitan pertambangan […]; [b] mengajukan gugatan melalui pengadilan kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi aturan.”

Dengan rumusan pasal tersebut, terdapat upaya mereduksi konflik masyakarat dengan perusahaan tambang yang semata sebagai konflik keperdataan, tujuan akhirnya ganti rugi. Padahal, konflik pertambangan seringkali muncul dari pertentangan nilai dan perbedaan cara pandang melihat dunia.

Misalnya, masyarakat adat memandang tanah ulayat mereka tidak sebatas aset ekonomi yang dapat dengan mudah dikonversi dalam bentuk uang ganti rugi, ketika tanah tersebut diambil alih untuk tambang. Bagi mereka, tanah ulayat adalah entitas yang disakralkan. Identitas kolektif mereka terbentuk serta menjadi media penghubung dengan leluhur dan generasi berikutnya.

Jika terjadi konflik keperdataan, dengan norma Pasal 145, jelas ada kesulitan mendasar yang dihadapi masyarakat dalam memperoleh ganti rugi. Hal ini, karena masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan tentang proses bisnis pertambangan harus menanggung beban pembuktian, kerugian mereka timbul akibat kesalahan bisnis tersebut.

Selain itu, persyaratan adanya kesalahan untuk dapat memperoleh ganti rugi menunjukkan bahwa tanggung jawab ketat [strict liability] tidak dapat digunakan dalam konteks konflik pertambangan.

Memang, strict liability yang mensyaratkan tanggung jawab tanpa kesalahan menjadi momok lama korporasi, tidak saja korporasi pertambangan tapi juga kehutanan dan perkebunan. Misalnya, masih hangat diingatan kita pada 2017, Gabungan Pengusaha Kepala Sawit [GAPKI] dan Asosiasi Penguasaha Hutan [APHI] mengajukan judicial review ke MK untuk memblejeti strict liability. Saat ini, upaya yang sama dilakukan juga melalui RUU Cipta Kerja.

Baca juga: Tolak UU Minerba, Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Sidang Rakyat

 

Batubara yang diangkut kapal tongkang sebanyak 7 ribu ton ini berceceran di pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, akhir Juli 2018 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kita kembali ke soal perlindungan masyarakat yang terkena dampak. Sesuai Pasal 145 di atas, apabila terjadi konflik, masyarakat diarahkan untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan, untuk memperoleh ganti rugi. Permasalahannya, di tengah tidak imbangnya relasi kuasa dan ketidakhadiran negara dalam menyelesaikan konflik, adalah mustahil untuk menciptakan proses dan hasil negosiasi yang adil bagi masyarakat.

Pilihan selanjutnya bagi masyarakat adalah gugatan pengadilan. Di sini, pembuat undang-undang berasumsi bahwa pengadilan merupakan forum netral yang akan memutuskan berdasarkan fakta, prinsip, dan peraturan perundang-undangan.

Faktanya, pengadilan adalah arena pertarungan saat kemenangan ditentukan oleh kapital yang dimiliki oleh para aktor yang bertarung, juga oleh paradigma hakim. Sejauh ini, pengalaman menunjukkan pada kita bagaimana pengadilan tidak mampu memainkan perannya sebagai benteng terakhir keadilan. Utamanya, dalam konflik yang melibatkan masyarakat, korporasi, dan negara.

Kini, saatnya menghidupkan kembali wacana pengadilan lingkungan. Sebagai harapan kita bersama, di tengah pesimisme tegaknya keadilan lingkungan.

 

Agung Wardana, Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Penulis Buku Contemporary Bali: Contested Space and Governance [Palgrave Macmillan, 2019]. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version