Mongabay.co.id

Refleksi 1338 Tahun Sriwijaya dan Tatanan New Normal

Masyarakat yang hidup di pinggiran Sungai Musi di Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Pada 16 Juni 682 atau 1338 tahun lalu, Kedatuan Sriwijaya didirikan di Palembang, Sumatera Selatan. Sriwijaya kemudian menjadi kerajaan besar dengan kebudayaan baharinya di wilayah selatan [Nusantara]. Nilai-nilai apa dari kebudayaan Sriwijaya yang dapat dipakai saat ini, khsususnya lingkungan hidup?

Tidak mudah menjawabnya, sebab masih belum banyak kajian terhadap Sriwijaya, selain kajian sejarah dan arkeologi.

“Perlu diperjelas lagi, cara kita memahami Sriwijaya itu sendiri. Melalui pembacaan ulang atas berbagai jejak sejarahnya, baik benda [tangible] seperti candi, pusaka, prasasti, simbol atau bukan benda [intangible] seperti penggunaan nama, kebiasaan, nilai-nilai, agar kita bisa menaruh ke-Sriwijaya-an ini dalam konteks yang tepat. Bukan semata simbol masa lalu yang mungkin sesungguhnya hampir tak ada kaitan lagi dengan cara hidup kita sekarang,” tutur Sopril Amir, peminat masalah sosial kemayarakatan, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [16/6/2020].

Kita harus mendekati Sriwijaya dengan semangat ilmu pengetahuan, bukan mitologi. “Melalui pendekatan ini, keinginan agar Sriwijaya terus hidup, revival dan relevan lebih mungkin dipahami dan diwujudkan dengan lebih terukur dan obyektif,” ujarnya.

Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang, mengatakan sangat penting memahami Sriwijaya sebagai ilmu pengetahuan pada konteks kekinian. “Sehingga Sriwijaya tidak berhenti sebagai identitas masa lalu. Dia harus memberikan solusi berbagai persoalan hari ini, guna mewujudkan masa depan manusia yang lebih baik.”

“Saya percaya banyak nilai dari kebudayaan Sriwijaya yang masih relevan saat ini,” ujarnya.

Baca: New Normal: Momentum untuk Kembalikan Relasi Manusia dengan Alam

 

Potret masyarakat yang hidup di pinggiran Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menjaga hutan dan sungai

Salah satu cara memahami Sriwijaya adalah mengenai penataan lingkungan. “Sejak awal berdiri, Kedatuan Sriwijaya sangat berkomitmen menjaga keseimbangan alam. Melalui Prasasti Talang Tuwo, pemimpin Sriwijaya berharap alam semesta membuat semua makhluk hidup menjadi bahagia, terbebas kelaparan, penyakit dan dekat Tuhan. Komitmen tersebut sangat menarik, sebab saat itu populasi manusia masih terbatas, serta ilmu pengetahuan dan teknologi belum terlalu mengeksplorasi alam seperti saat ini,” kata Husni Tamrin.

Komitmen tersebut bukan hanya diperuntukkan pada manusia saat itu, juga untuk manusia selanjutnya. “Bukankah kerusakan Bumi sekarang, dikarenakan manusia hanya berpikir untuk dirinya atau kelompoknya,” kata Ketua Yayasan Malaya [Melayu Sriwijaya], yang fokus pada penggalian nilai-nilai kebudayaan Sriwijaya.

Yang menarik lagi, pendapatan ekonomi Kedatuan Sriwijaya juga dari sumber daya alam. Misalnya, penambangan emas dan timah, serta hasil hutan seperti kayu dan getahan.

“Hasil penelitian sementara menunjukkan, belum tercatat adanya bencana alam yang besar akibat ulah manusia selama lima abad Kedatuan Sriwijaya berdiri. Misalnya, hilangnya permukiman masyarakat karena banjir besar yang diakibatkan tata ruang yang salah,” katanya.

Baca: “New Normal” dan Skenario Politik Lingkungan

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jalur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Mengapa tertata?

Dijelaskan Husni, itu semua dikarenakan Kedatuan Sriwijaya menempatkan alam sebagai sumber atau penyedia makanan dan obat-obatan. Jika hutan rusak, manusia akan kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Jika sungai rusak, manusia kehilangan sumber air bersih, makanan dan gangguan transportasi.

“Jadi, apapun aktivitas ekonomi yang dilakukan pada masa Kedatuan Sriwijaya harus menjaga hutan dan sungai,” katanya.

Selain itu, kata Husni, Kota Palembang yang berada di dataran rendah, pada masa Sriwijaya [bertahan hingga Kesultanan Palembang], memiliki banyak sungai alami dan buatan.

“Tujuannya, sungai-sungai itu selain sebagai sumber air bersih, sarana transportasi, juga mengendalikan volume air pada musim penghujan sehingga tidak banjir. Bahkan, guna menghindari bencana banjir, mereka membuat bangunan bertiang. Sayang, tata ruang Kota Palembang sudah banyak berubah, banyak sungai ditimbun, termasuk tulungnya, sehingga Palembang sekarang banjir dan krisis air bersih. Ironinya, bangunan bertiang ditinggalkan,” jelasnya.

Baca juga: Desa Ini Sediakan Lahan Pertanian untuk Generasi Milenial

 

Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, sudah mandiri pangan tapi saat ini krisis petani muda dari generasi milenial. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Sriwijaya dan New Normal

Dampak pendemi COVID-19 sangat signifikan terhadap umat manusia di dunia. WHO menawarkan skema New Normal menghadapi wabah yang belum tahu kapan hilangnya. New Normal ini juga sebagai skema untuk menghadapi berbagai serangan virus atau bakteri baru yang dapat menganggu jiwa manusia di masa mendatang.

Awalnya, New Normal hanya dipahami sebagai penyelamatan ekonomi. Namun sejumlah pakar lingkungan, menyatakan New Normal harus diiringi dengan upaya perbaikan lingkungan hidup, sehingga bebas dari virus dan bakteri mematikan, serta terjaminnya pangan, air dan udara yang sehat, sehingga manusia selalu sehat.

“Sumatera Selatan, khususnya Palembang, sangat beruntung karena memiliki hubungan dekat dengan sejarah Kedatuan Sriwijaya. Jadi, guna memaknai New Normal, keberhasilan Sriwijaya menjaga sungai dan hutan, sangat pantas untuk dijalankan lagi pada kekinian. Hal ini bisa dijadikan pijakan dalam visi pembangunan, serta nilai-nilai pembangunan manusia melalui lembaga pendidikan,” kata Husni.

Itu kalau kita memang ingin selamat seperti yang diharapkan WHO melalui skema New Normal. “Jika kita tetap bertahan dengan pembangunan dan perilaku yang tidak menjaga hutan dan sungai, saya pikir krisis seperti pandemi ini akan terus berulang,” tuturnya.

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan UIN Raden Fatah Pelembang, mengatakan, selain berhasil menata lingkungan, Sriwijaya juga menerapkan sistem pemerintahan yang mengikatkan kesetiaan antara pemimpin dengan rakyat. Jika rakyat berkhianat, dia akan dikutuk, begitu sebaliknya jika pemimpin berkhianat dia akan dikutuk. Saling menghormati.

“Bisa saja, ikatan kesetiaan ini tujuannya adalah ekonomi dan kekuasaan, tapi bukankah konsep nation state sekarang juga seperti itu. Tinggal apakah kesetiaan itu digunakan sebagai upaya keselamatan bersama atau hanya menyelamatkan para pemimpinnya saja,” terangnya.

Selama pandemi corona, ada terlihat gap antara penyelenggara pemerintah dengan rakyat. Terkesan hilangnya saling menghormati. “Padahal, saling menghormati dan lebih peduli lingkungan merupakan bagian dari kesetiaan kita semua dalam memaknai New Normal,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version