Mongabay.co.id

Equator Prize 2020, Penghargaan untuk Kegigihan Masyarakat Adat Kayan Mentarang

 

 

Forum Musyawarah Masyarakat Adat [FoMMA] Taman Nasional Kayan Mentarang, meraih penghargaan Equator Prize 2020, dari United Nations Development Programme [UNDP] atau Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penghargaan ini diumumkan di New York, Amerika, bertepatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2020.

FoMMA terpilih dari 583 calon yang berasal dari 120 negara dalam seleksi ketat oleh Komite Penasihat Teknis independen yang terdiri para pakar internasional. Pemenang mendapatkan dana sebesar 10.000 Dollar AS [sekitar Rp140 juta] serta kesempatan untuk bergabung dalam serangkaian acara khusus terkait Majelis Umum PBB, KTT Alam PBB, juga Pekan Iklim Global akhir September 2020.

Ketua Badan Pengurus Harian [BPH] FoMMA, Dolvina Damus mengatakan, kemenangan ini milik seluruh warga Kayan Mentarang. Sebagai salah satu tokoh FoMMA, Dolvina merasa bangga untuk penilaian yang diberikan UNDP.

“Puji syukur dan apresiasinya bagi para pemimpin dan tetua adat di wilayah perbatasan pedalaman Kaltara. Penghargaan ini memang atas inisiatif, konsistensi sikap dan perjuangan mereka,” kata dia, baru-baru ini.

Dalam keterangan resminya, UNDP menyatakan tercatat 11 kelompok masyarakat adat yang tergabung dalam FoMMA. Mereka hidup di lingkungan Taman Nasional Kayan Mentarang [TNKM], seluas 20.000 kilometer persegi. Taman Nasional ini berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia.

FoMMA berhasil mengadvokasi pengelolaan kolaboratif pertama untuk taman nasional di Indonesia, ketika pemerintah dan otoritas adat memutuskan bersama mengelola akses sumber daya dan penggunaan hak-hak adat.

Baca: Masyarakat Adat Iban, Arif Menjaga Hutan Tapi Masih Menunggu Pengakuan Hak Tanah

 

Kehidupan masyarakat adat yang tidak bisa jauh dengan hutan dan sungai di Kayan Mentarang. Foto: Facebook/Dok.Balai Taman Nasional Kayan Mentarang

 

Kehidupan FoMMA

Dijelaskan Dolvina, hampir 90% luas kawasan TNKM berada dalam 11 wilayah adat masyarakat Dayak. Mereka menghuni kawasan itu sejak ratusan tahun lalu, dengan sumber penghidupan dan kebutuhan hidup di wilayah tersebut. “Di TNKM semua lengkap, mulai hasil hutan, air, dan sumber makanan,” katanya.

Sebelum menjadi taman nasional, Kayan Mentarang berstatus Cagar Alam yang ditetapkan Menteri Pertanian Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan No. 84/Kpts/Un/II/1980 tanggal 25 November 1980. Beberapa tahun kemudian, WWF [World Wide Fund] serta masyarakat Suku Dayak sebagai penghuni hutan sekitar, menginginkan statusnya diubah menjadi taman nasional.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 631/Kpts-II/1996 tanggal 7 Oktober 1996, Taman Nasional Kayan Mentarang resmi berdiri.

Tujuan lain dari penetapan status tersebut adalah menampung aspirasi Suku Dayak. Kawasan dengan luas 1.350.000 hektar ini disebut sebagai hutan primer terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.

Pemberian nama diambil dari dua sungai utama yang mengalir di kawasan tersebut. Sungai Kayan di bagian selatan, serta Sungai Mentarang di bagian utara. Taman nasional ini berada di perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Disebutkan Dolvina, pemanfaatan sumber daya alam di wilayah adatnya, dikelola dengan sistem tradisional atau kearifan lokal masyarakat dayak. Adat sejalan dengan prinsip konservasi, pengelolaan, dan pemanfaatan di masing-masing wilayah.

“Masyarakat di 11 wilayah adat menginginkan menjadi ‘tuan’ di tanahnya sendiri, mengelola sumber daya alam yang ada di wilayah adatnya. Masyarakat merasa, pemanfaatan dan pengelolaan berdasarkan adat, sebagaimana yang selama ini berjalan, akan mencapai kemakmuran,” terangnya.

Terbukti, lanjut dia, masyarakat adat mampu menjaga keutuhan kawasan TNKM. “Jadi tidak sembarang olah, sesuai prinsip dasar lingkungan dan kepercayaan,” jelasnya.

Baca: Komunitas Adat Muara Tae Peroleh Penghargaan Lingkungan Internasional

 

Menjala ikan dengan tetap menjaga kelestarian sungai dan alam dilakukan masyarakat adat di Kayan Mentarang. Foto: Facebook/Dok. Balai Taman Nasional Kayan Mentarang

 

Dolvina menerangkan, sejak 2000, FoMMA melewati proses panjang, guna memperjuangkan dan mendorong konsep baru tata kelola kawasan taman nasional. Tujuannya, pengelolaan bersama TNKM.

“Faktanya, seluruh wilayah TNKM adalah wilayah adat, sehinga masyarakat adat di wilayahnya harus dilibatkan demi kelestarian keragaman hayati,” jelasnya.

Dari perjuangan itu, FoMMA menerima kabar baik, TNKM ditetapkan sebagai taman nasional pertama di Indonesia yang dikelola secara kolaboratif dengan menerapkan prinsip berbagi tanggung jawab, peran dan manfaat atas keberadaannya.

“Artinya, pengelolaan TNKM menjadi tanggung jawab berbagai pihak adalah pilar utama penyelenggaraan upaya konservasi berbasis masyarakat,” ujarnya.

Kesepakatan ini mendapatkan kekuatan hukum dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 1214/Kpts-II/Um/2002. Sekaligus, menjadikan TN Kayan Mentarang sebagai kawasan taman nasional pertama di Indonesia yang dikelola kolaboratif [pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat adat diwakili FoMMA].

 

Perkampungan masyarakat yang tertata rapi di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. Foto: Facebook/Dok. Balai Taman Nasional Kayan Mentarang

 

Advokasi pengakuan

Dolvina mengatakan, pada 2019, wilayah adat pertama di kawasan Kayan Mentarang diakui Pemerintah Daerah Malinau, Kalimantan Utara, melalui SK Bupati tentang hutan adat.

“Dari awal FoMMA bergerak, komitmen itu sudah ada. Ratusan tahun lalu masyarakat adat sudah menjaga TNKM. Setelah status berubah menjadi taman nasional, kami tetap di sana, tetap menjaga dan mengelola. Hasilnya, TNKM merupakan jantung yang memberi napas panjang,” jelasnya.

Hampir 20 tahun, FoMMA bertugas dan berfungsi baik menjaga kebersamaan adat. Kuncinya, selalu mengedepankan koordinasi dan kepentingan bersama masyarakat adat.

“Satu yang istimewa, masyarakat adat berharap, kawasan TNKM yang juga adalah wilayah adat dan hutan adat masyarakat tetap dapat dikelola dengan kearifan lokal. Ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang adil dan setara,” jelasnya.

 

Budaya masyarakat adat Dayak yang tetap dipertahankan di Kayan Mentarang. Foto: Facebook/Dok. Balai Taman Nasional Kayan Mentarang

 

Anggota DPRD Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang juga Sekertaris FoMMA, Gat Khaleb, turut bangga pencapaian ini. “Penghargaan yang kami terima sebagai bukti kami memelihara lingkungan. Kami hidup dari hutan dan wajib bagi kami memeliharanya sebagai tempat kami hidup,” kata dia, Kamis [18/6/2020].

Gat menyebut, jika masyarakat adat Dayak sudah lebih dulu mendiami TNKM. Mereka menyelaraskan kehidupan duniawi bersama alam, lingkungan, dan kepercayaan. “Sebelum pemerintah menetapkan TNKM, kami sudah memeliharanya ratusan tahun,” ujarnya.

Dia berharap, Pemerintah Kabupaten maupun Provinsi Kalimantan Utara dapat bekerja sama untuk TNKM dan masyarakat adatnya. “Hutan kami lestari nan hijau adalah garansi kami sukses menjaganya sampai hari ini,” terangnya.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Kalimantan Timur, Margareta Seting Beraan memberi selamat untuk FoMMA. Selama ini, kata Seting, FoMMA telah bekerja tanpa lelah mengembangkan komunitas adat, menggali kekayaan adat dan menjadiknnya kekuatan bagi mereka sendiri dalam menghadapi kondisi sosial politik ekonomi yang telah berubah secara global.

“Semoga, dalam era global ini, komunitas adat di Kayan Mentarang semakin kuat, dapat merespon dengan kearifan lokalnya,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version