Mongabay.co.id

Perubahan Iklim dan Ancaman Pabrik Semen di Manggarai Timur [Bagian 1]

Lokasi tambang mangan di Sirise, Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur,NTT. Foto: JPIC-OFM

 

Penolakan hadirnya tambang dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, terus menggema.

Sebanyak 66 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur, meminta Gubernur Nusa Tenggara Timur [NTT] Victor Bungtilu Laiskodat membatalkan izin tambang dan pabrik tersebut.

Ancaman kehancuran lingkungan dan masa depan masyarakat terlihat jelas. Lokasi operasi pabrik semen adalah perkampungan dan lahan pertanian warga yang sejak lama menjadi sumber penghidupan mereka.

Tulisan ini coba mengambil perspektif lingkungan hidup, terutama dimensi perubahan iklim untuk mengkaji ancaman tambang dan pabrik semen tersebut. Tujuannya, agar Pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Timur serta semua pihak mempertimbangkan temuan-temuan ilmiah perubahan iklim.

Desakan ini didasari fakta, perubahan iklim bersifat lintas batas ruang dan waktu, juga politik dan budaya. Sehingga, pilihan kebijakan sangat menentukan untuk kehidupan generasi muda sekarang dan akan datang.

Baca: Gubernur NTT Didesak Batalkan Izin Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?

 

Lokasi tambang di hutan lindung Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT. Foto: JPIC OFM Indonesia

 

Ada tiga alasan utama mengapa dimensi lingkungan hidup sangat penting diperhatikan. Pertama, guncangan iklim global dan lokal sudah amat nyata pada sejumlah ekosistem mikro seperti hilangnya mata air, suhu yang makin panas, musim yang sulit diprediksi, dan merebaknya jenis penyakit baru.

Lebih dari itu, perubahan iklim lebih terasa pada wilayah yang secara alamiah rentan, yakni pulau-pulau kecil dan lahan kering yang semuanya ada di Pulau Flores.

Kedua, semua analisis kebijakan saat ini menggarisbawahi bahwa kombinasi antara tekanan iklim global dan pukulan COVID-19 akan mengancam ketahanan pangan secara nasional.

Hal ini mendorong Pemerintah Pusat berinisiatif membuka sawah baru. Terlepas dari kontroversi, pemerintah daerah seharusnya sejalan dengan pusat untuk memperkuat ketahanan pangan lokal guna mencegah kelaparan.

Ketiga, tidak banyak pengambil keputusan yang menyadari pentingnya menyikapi masalah iklim melalui kebijakan yang lebih “hijau” seperti restorasi kawasan rusak, perlindungan hutan tersisa, dan seterusnya. Sebaliknya, kecenderungan umum program dan rencana pembangunan adalah membuka secara ekspansif wilayah-wilayah yang seharusnya dilindungi dan dijaga.

Baca juga: Warga dan WALHI NTT Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?

 

Lokasi tambang mangan di Sirise, Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Foto: JPIC-OFM

 

Temuan terbaru perubahan iklim

Pemerintah Indonesia bersama 196 negara terlibat dalam Konferensi Perubahan Iklim untuk mencari cara terbaik dan efisien mengatasinya.

Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan strategis yang mempengaruhi Rencana Pembangunan Nasional [2019-2024]. Sekaligus, mengarahkan pemerintah daerah untuk mengelola pembangunan yang sejalan dengan komitmen global terkait pembangunan rendah emisi.

Agenda perubahan iklim dilakukan tak terkecuali negara berkembang, bahkan negara-negara yang amat miskin [least developed countries] seperti Bangladesh, Angola, Gambia, Djibouti. Kecuali Amerika di era Trump dan Bush Jr, semua negara menyepakati bahwa perubahan iklim adalah salah satu persoalan utama masa depan umat manusia.

Tahun 2014, IPCC [Intergovernmental Panel on Climate Change] mengeluarkan Laporan Penilaian ke-5 [AR-5] untuk mengukur kembali dampak perubahan ilkim dan meninjau situasi dunia saat ini. IPCC adalah lembaga antarpemerintah di PBB yang secara khusus diminta menyediakan analisis ilmiah secara objektif, mengenai risiko perubahan iklim. Terutama, sebab-sebabnya dari intervensi manusia, dampak dan risiko terhadap alam, politik, ekonomi, serta kemungkinan opsi mengatasinya.

Dalam laporan ke-5, para ahli mengidentifikasi dampak perubahan iklim yang mencakup semua sektor dan dimensi kehidupan manusia.

Salah satu yang dipertegas adalah peran manusia sebagai pelaku utama dan paling signifikan terhadap perubahan iklim. Konsentrasi zat-zat utama yang menjadi emisi global meningkat pada level yang tidak pernah terjadi dalam 800.000 tahun terakhir [IPCC, 2014].

IPCC juga diminta Konferensi Perubahan Iklim mengeluarkan Special Report, salah satunya adalah proyeksi pemanasan global 1.5 derajat Celcius bahkan 2 derajat Celcius. Laporan tersebut dipublikasikan pada 2018.

Salah satu dampak yang disebut berulang dalam Special Report ini adalah kategori penduduk yang terkena risiko. Dampak terbesarnya akan dialami kelompok masyarakat adat, mereka yang mendiami lahan kering dan pulau-pulau kecil, juga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Dampak tersebut dapat berlangsung serempak yang mencakup kekurangan energi, makanan, dan air di satu tempat dalam waktu bersamaan.

Proyeksi sains telah mengungkap dampak ini, dunia tidak akan bertahan seperti sekarang, tidak lebih lama dari tahun 2050, bahkan 2030.

Hanya dengan kenaikan 1.5 °C, hampir 14% penduduk dunia akan terpapar gelombang panas sekali dalam 5 tahun. Jika kenaikan itu mencapai 2 °C, diproyeksikan 37% populasi dunia akan menderita gelombang panas setidaknya sekali dalam 5 tahun.

NOAA, lembaga ilmiah Amerika yang berfokus pada kondisi lautan, jalur air utama, dan atmosfer melaporkan, 2016 merupakan tahun terpanas sejak 1880 yang merupakan periode awal pengukuran gas rumah kaca akibat ulah manusia. Tahun kedua terpanas adalah 2019, yakni mencapai 1.71 derajat Fahrenheit atau kenaikan sebesar 0.95 °C dari suhu normal di tingkat global [NOAA 2019]. Banyak lokasi yang dulunya sejuk, saat ini hangat dan cenderung panas.

Baca juga: Pabrik Semen Vs Keteguhan Orang Flores Pertahankan Ekologi Pulau Kecil

 

Sawah produktif warga Luwuk Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur, NTT yang terancam digusur untuk pembangunan pabrik semen. Foto : Norbert Nomen

 

Pulau kecil dan naiknya permukaan air laut

Sejumlah kajian tingkat nasional telah memproyeksi beberapa kemungkinan dampak langsung perubahan iklim untuk wilayah pesisir. Pada 2010, Bappenas mengeluarkan laporan Analisa dan Proyeksi Peningkatan Permukaan Laut dan Kejadian Cuaca Ekstrim. Bappenas menyebutkan, inundasi [tergenang] akan dihadapi sejumlah wilayah pesisir termasuk selatan Jawa, Bali, Lombok, dan beberapa bagian Sumatera. Sementara laut Flores akan mengalami gangguan transportasi signifikan akibat makin seringnya cuaca buruk.

Harkins Hendro Prabowo dan Muhammad Salahudin [2016] dalam Jurnal Geologi Kelautan mengidentifikasi lebih lanjut, sekitar 92 pulau terluar Indonesia terancam tenggelam. Termasuk beberapa pulau di NTT yakni Alor, Dana, Batek, serta pulau di beberapa provinsi yang selama ini sering menjadi tujuan wisata yakni Pulau Maratua [Kalimantan Timur] dan Sebatik [Kalimantan Utara]. Selain itu ada Pulau Enggano di Bengkulu dan Pulau Nusakambangan untuk tahanan khusus negara.

Awal 2020, WALHI melaporkan dua pulau di Sumatera, Pulau Betet dan Pulau Gundul sudah tenggelam. Dampak kenaikan permukaan air laut jelas menyempitkan ruang hidup dan meningkatkan rembesannya yang mencemari air tawar.

 

Suplai air bersih dan daya dukung Flores

Laporan Bappenas 2009, terkait adaptasi perubahan iklim [ICCSR] menyebutkan, suplai air bersih di Indonesia secara umum menurun tiap tahun.

Pada 2009, ketika laporan itu dibuat, suplai air di Nusa Tenggara masih lebih besar dari permintaan, sekitar 5,705.66 liter. Namun pada 2015, daya dukung air diproyeksikan defisit sebesar 17,488.89 liter, sementara permintaan terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk dan tekanan terhadap lahan. Pada 2030, penyusutan diperkirakan semakin besar hingga mencapai 67,848.68 liter.

Implikasi praktisnya, jika mengikuti panduan Pemerintah [Permen LH 17/2009], jumlah kebutuhan air rata-rata tiap rumah tangga adalah 120 liter/hari/kapita, maka defisit air akan sebesar 17,488.89 liter per hari, sehingga terdapat 146 kapita yang tidak kebagian air tiap hari. Jumlah tersebut berlipat ganda dalam satu bulan, setahun, dan meningkat seiring merosotnya daya dukung pulau.

Peta daya dukung air dan pangan secara nasional yang dikeluarkan KLHK yang ditetapkan 2019, memperjelas permasalahan yang diidentifikasi Bappenas sebelumnya.

KLHK menyebutkan, status daya dukung lingkungan hidup Air Kep. Bali dan Nusa Tenggara telah terlampaui, terutama di Pulau Bali dan Pulau Lombok. Wilayah yang terlampaui daya dukung penyediaan air tersebar di 41 kabupaten/kota seluas 2,8 juta hektar [38,4% dari total luas Kep. Bali dan Nusa Tenggara].

Data daya dukung itu menginformasikan, suplai air di Flores masih dianggap cukup. Namun perlu dicermati, meski secara makro suplai air memadai, data yang sama telah memberikan peringatan bahwa daya dukung air di beberapa tempat telah terlampaui.

Di Manggarai, misalnya, spot daya dukung air yang terlampaui cukup signifikan. Sebagian titik itu tidak mencolok pada calon lokasi pabrik semen, yang saat ini patut diduga disebabkan karena penggunaan terbatas, mengingat jumlah penduduk masih sedikit. Ditambah lagi, masih tingginya kemampuan karst sebagai regulator menyediakan sumber air bagi lingkungan sekitar.

Namun, perubahan akan tampak ketika pembangunan pabrik semen dilakukan. Selain jumlah manusia yang bertambah juga karena rusaknya karst akibat hadirnya ancaman tambang semen itu. [Bersambung]


*Bernadinus Steni
, Pegiat lingkungan dan warga Manggarai Timur. Tulisan ini opini penulis.

 

Exit mobile version