Mongabay.co.id

Antisipasi Krisis, Sediakan Pangan dari Beragam Sumber Lokal

Petani sedang tebang sagu. Foto: Asrida Elisabeht/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) membangkitkan kesadaran masyarakat soal peran penting pangan lokal yang beragam. Pandemi ini, membuat pergerakan distribusi logistik pangan tersendat karena ada kebijakan pembatasan wilayah tertentu. Belum lagi, beberapa sumber pangan (karbohidrat) nasional, angka impor cukup tinggi.

Bagi wilayah berdaya, warga menjaga hutan dan lahan pangan terbukti tidak terdampak signifikan pada masa pandemi ini. Cerita ini lahir dari kegiatan masyarakat lokal yang selama ini memperjuangkan dan mempertahankan wilayah lahan mereka.

Cristina Eghenter, Perwakilan Konsorsium Pangan Bijak Nusantara mengatakan, krisis keragaman hayati, iklim dan kesehatan jadi masalah dunia. Kondisi ini, katanya, harus jadi momentum perubahan, kembali ke alam.

“Sistem pangan kita bukan lagi hanya pindah alamat, tapi kembali ke alam. Alam jadi dukungan sistem pangan kita,” katanya dalam diskusi pangan lokal sebagai Ketahanan dan kedaulatan pangan nasional secara daring baru-baru ini.

Dolvina Damus, Tokoh Adat Perempuan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara mengatakan, bersyukur dengan ketersediaan pangan lokal di Malinau cukup banyak di tengah pandemi ini. Masyarakat, katanya, punya cadangan pangan lokal beragam.

“Sebagian besar pemasok pangan kami adalah petani lokal dengan pertanian tradisionalnya,” katanya.

Di wilayah yang terdiri dari 15 kecamatan, memiliki peraturan daerah melindungi lahan pangan masyarakat dan mendukung program keberlanjutan produksi pangan lokal lewat Peraturan Daerah Nomor 8/2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

 

Ilustrasi. Masyarakat Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak, Banten dengan latar bangunan rumah adat berbahan kayu dan beratap injuk. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan peraturan daerah ini tidaklah mudah, katanya, perlu ada kesadaran bersama betapa penting kebijakan kearifan lokal nusantara itu.

“Kami sadar, budidaya berladang adalah tidak bisa hilang dan menciptakan ketahanan pangan. Perda itu lahir karena kita belajar ada satu kampung di Batu Barat beralih fungsi lahan pangan jadi batubara kehilangan pangan.”

Komitmen daerah terkait pangan lokal juga terlihat dengan ada Perda Malinau Nomor 10/2012 tentang Perlindungan Masyarakat Adat dan Wilayahnya.

Ada Pasar Inai, pasar tradisional ini khusus menjual pangan hasil hutan dan pertanian di Malinau. Di pasar ini, perempuan yang mencoba mempromosikan pangan lokal, baik dari pedalaman hingga kota berkumpul. Pasar Inai pun terbukti memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat itu sendiri.

“Memperjuangkan pangan lokal itu bisa mensejahterakan masyarakat. Hutan itu bank makanan dan itu seperti bank uang untuk masyarakat,” katanya.

Pasar Inai, kata Cristina, satu contoh bahwa banyak peluang ekonomi muncul dari pangan lokal dan terbukti membawa kesejahteraan masyarakat. “Kita harus memusatkan kembali perempuan dalam kebijakan sistem pangan karena selama ini masih seringkali tidak memiliki peranan. Padahal, mereka bagian penting.”

Selain Kalimantan Utara, ada cerita menarik dari Katingan, Kalimantan Tengah, yakni, Desa Tewang Karangan, Dahian Tunggal dan Tumbang Lawang.

Survei Lembaga Studi Dayak-21 memperlihatkan, tiga desa itu memiliki keragaman varietas pangan nabati sangat tinggi. Ada 108 jenis padi, 30 jenis ketan, ditanam di rawa, tapui maupun ladang.

Masyarakat juga memiliki 119 jenis buah-buahan, baik hasil budidaya maupun non-budidaya. Selain itu, juga ragam sayur, ada 172 jenis sayur baik yang budidaya maupun yang tumbuh liar-alami di sekitar tempat mereka tinggal.

”Dari masyarakat yang tinggal disana itu tidak pernah membeli beras,” kata Marko Mahin, peneliti Lambaga Studi Dayak-21. Mereka mengambil sumber pangan dari ladang pertanian.

Meski demikian, ketahanan pangan wilayah mereka meramu, memetik bahan pangan adalah masuk dalam kawasan hutan alias dalam kuasa negara, sewaktu-waktu bisa jatuh ke tangan perusahaan.

 

Pisang menjadi tanaman di sela-sela tegakan di HKm Aik Berik. Pisang juga bisa jadi salah satu sumber karbohidrat. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Kondisi ini, kata Marko, jadi ancaman bagi penduduk lokal karena bukan tak mungkin mereka kehilangan ruang hidup dan bank pangan. Selama ini, hampir 65% masayrakat tidak membeli pangan karena sudah mendapatkan dari alam.

“Korporasi besar itu jadi ancaman bagi masyarakat lokal dalam upaya mandiri pangan mereka,” katanya.

Sama dengan masyarakat adat di Kalimantan Tengah, ketersediaan pangan beras lokal bisa dilihat di Kasepuhan Ciherang, Banten. Olot Lili, Tetua Adat Kasepuhan Ciherang Banten dan PD AMAN Banten Kidul mengatakan, selama ini sistem pangan secara turun temurun secara alami dan keberlanjutan.

Ada sekitar 80 jenis padi, dan setiap panen, penyimpanan di lumbung adalah hal penting.

“Penanaman jenis padi disesuaikan masing-masing komunitas berdasarkan kecocokan lahan.” Ada juga gula aren dan palawija di kasepuhan ini.

Ada juga sagu Sungai Tohor, Riau, yang biasa ekspor. “Sagu mutiara yang dilupakan, melimpah di Indonesia, secara nutrisi dan produksinya,” kata Saptarining Wulan, Duta Pangan Bijak Nusantara juga dari STP Trisakti.

Meski demikian peran pasar dan sosialisasi jadi penting dalam upaya keberlanjutan produk ini. Pola konsumsi pangan saat ini, katanya, sudah terkontaminasi dengan makan-makanan yang secara nasional masih impor, seperti beras dan gandum.

Di tengah pandemi ini, Sungai Tohor yang seharusnya jadi desa sentra pangan. Sayangnya, banyak sagu tidak terjual jarena ekspor sagu basah ke Malaysia terhenti.

Padahal, katanya, bisa jadi peluang sebagai pasokan pangan di daerah lain. Untuk itu, perlu ada pembentukan pasar, sosialisasi baru penambahan alat produksi agar komoditas sagu bisa terolah hingga memiliki nilai tambah.

Dia bilang, pernah meneliti dampak perubahan iklim dari pertanian, antara sagu, padi dan sawit. Hasilnya, dari tiga produk itu, sagu memiliki emisi paling rendah dengan keunggulan luar biasa dari sisi nutrisi.

“Sistem pangan lokal itu jadi fondasi ketahanan pangan, perlindungan plasma nutfah hingga tingkat konsumen,” kata Cristina.

Berbicara pangan lokal, katanya, tidak hanya pada substansi pemenuhan kebutuhan juga tradisi, pengetahuan dan kearifan lokal. Berbagai hal itu, katanya, perlu penguatan untuk pangan ke depan.

Dari aspek produktivitas, bagaimana gerakan lokal ke nasional memikirkan perubahan atau transformasi pangan itu sendiri. Selama ini, katanya, pangan lokal hanya sebagai komoditas dalam bentuk produk, padahal nilai melebih itu. “Ini jadi sistem lingkungan alam, sosial, ekonomi dan budaya.”

Kalau melulu berbicara produktivitas, akan berbiaya tinggi dan bisa menghilangkan tradisi masyarakat itu sendiri.

Puji Sumedi, Manajer Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati mengatakan, diversifikasi pangan sebetulnya lama jadi pembahasan dan tertuang dalam sejumlah kebijakan yang memiliki payung hukum kuat. Salah satu, Instruksi Presiden Nomor 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat.

Regulasi itu, katanya, mengingatkan betapa penting upaya diversifikasi pangan, meski tidak mengatur pengembangan keberagaman pangan lokal. Meski demikian, pemerintah tak jalankan diversifikasi pangan dengan konsisten.

Begitu juga, UU Pangan Nomor 18/2012, merupakan revisi UU Pangan Nomor 7/1996 juga mengamanatkan diversifikasi pangan lokal sebagai langkah kedaulatan pangan.

“Perubahan pola konsumsi masyarakat ini dampak dari puluhan kebijakan pangan kita. Saat ini, banyak konsumen mulai sadar pentingnya konsumsi pangan lokal, namun ketersediaan masih terbatas dan harga jual masih mahal.”

 

 

Keterangan foto utama:  Petani sedang tebang sagu. Foto: Asrida Elisabeht/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version