Mongabay.co.id

Banjir, Antropogenik, dan Demokrasi

Banjir bandang yang terjadi selain karena intensitas hujan tinggi juga karena disebabkan oleh sampah yang menumpuk di sungai. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

“Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu.”

 

Begitu kutipan bait terakhir puisi karangan sastrawan terkemuka Indonesia, Sapardi Joko Damono, berjudul “Hujan Bulan Juni.”

Juni, bulan yang identik dengan kemarau. Tanah kering kerontang dan pohon meranggas. Hingga, hujan turun pada Juni adalah suatu keberkahan. Kalau hujan yang datang berubah jadi banjir, itu malapetaka.

Pada Juni ini, kita mendapati kabar bencana banjir di berbagai daerah. Pertama, banjir bandang merendam 1.500 rumah dan menyebabkan 5.000 orang terdampak di Gorontalo.[1] Kedua, banjir terjadi di beberapa wilayah di Bantaeng, Sulawesi Selatan, hingga mengakibatkan adanya korban meninggal.[2]

Ketiga, banjir di Morowali dan Lampung karena luapan air sungai. Keempat, banjir rob di daerah-daerah pantai utara Jawa seperti Semarang, Tegal, Demak, Brebes, Kendal, Batang serta bagian utara Jakarta.

BMKG mengingatkan muncul ancaman badai siklon tropis ‘Nuri’ yang bisa mengakibatkan banjir karena curah hujan tinggi.[3]

Bencana hidro-meteorologi adalah jenis bencana paling sering terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Bencana hidro-meteorologi mencakup banjir, cuaca ekstrim, kekeringan, badai, tornado, dan tanah longsor.

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana hidro-meteorologi mendominasi jumlah kejadian bencana di Indonesia hingga mencapai 90% sejak 2002=2019.[4] Banjir merupakan tipe bencana hidro-meteorologi paling sering terjadi.

Tingginya intenstias bencana hidro-meteorologi, termasuk banjir, seringkali dipahami sebagai dampak dari perubahan ilklim. Perubahan iklim mengganggu keajegan cuaca di kepulauan nusantara. Tingginya curah hujan salah satu dampai dari disrupsi cuaca yang mana sering kali dituding sebagai faktor penyebab banjir.

Karena itu, bencana yang terkait dengan perubahan iklim seringkali dipahami sebagai suatu fenomena alamiah. Lebih jauh, bahkan bencana juga sering dimaknai sebagai takdir.

Namun, muncul perspektif alternatif yang menguat dalam diskusi akademik satu dekade terakhir. Banjir bukan hanya akibat dari fenomena alamiah namun terkait juga dengan tindakan dan ulah manusia.

Istilah antropogenik (anthropogenic) bisa kita maknai secara sederhana sebagai aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak sengaja dan dilakukan secara terus-menerus yang memberikan dampak buruk bagi masyarakat karena memicu atau mempercepat terjadinya bencana (Gill & Malamud 2017: 248). Aktivitas anthropogenic disinyalir oleh peneliti mengakibatkan peningkatan frekuensi dan skala banjir pada level global (Li-An, Billa, Azari 2018: 487).

 

Banjir di Kelurahan Suli. Foto: Adiyatma Syibil

 

Aktivitas anthropogenic yang berkontribusi terhadap banjir antara lain perubahan bentang daratan atau alih guna lahan seperti urbanisasi, deforestasi, dan kegiatan pertanian-perkebunan skala besar (Li-An, Billa, Azari 2018: 487).

Urbanisasi yang tidak terkontrol membuat betonisasi bangunan pemukiman di perkotaan terjadi secara berlebihan. Betonisasi di sepanjang daerah aliran sungai mereduksi luasan tanah untuk penyerapan air hingga beban sungai untuk membawa air ke laut menjadi bertambah.

Eksplolitasi lahan berlebihan untuk industri pertanian atau perkebunan mengurangi kesuburan tanah hingga air tidak bisa terserap dengan baik. Selain itu, deforestasi di hulu sungai membuat kemampuan tanah untuk menyerap air berkurang drastis.

Kondisi seperti itu rentan terjadinya banjir bandang. Studi Bradshaw dkk (2007) mengenai hubungan deforestasi dan banjir di 56 negara berkembang (cross national comparison) tahun 1990–2000 menunjukkan, peningkatan 45-28% kasus banjir terkait penurunan 10% wilayah hutan alami.

Secara singkat, kita bisa maknai, kerentanan banjir erat berhubungan dengan perencanaan dan tata ruang yang buruk. Perencanaan dan tata ruang buruk karena kualitas tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas publik rendah.

Korupsi dan kuatnya relasi klientelisme membuat alokasi tata ruang menjadi berantakan karena tidak lagi sebagai agenda publik untuk kesejahteraan bersama namun lebih kepada keuntungan ekonomi kelompok elite tertentu. Publik memiliki peran yang lemah dalam mengawasi pengaturan tata ruang.

Lantas apa hubungannya antara banjir, anthropogenic, dan demokrasi? Dalam diskusi akademik, muncul argumentasi, rezim yang demokratis lebih mampu menjamin hak dan kebutuhan dasar warga yang paling rentan karena ada keseriusan maupun kapasitas cukup untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim (Burnell 2012).

Demokrasi menjamin keadilan sosial dan pengambilan keputusan yang inklusif dalam persoalan publik misal dalam penentuan zonasi tata ruang dan peruntukan. Peruntukan tata ruang adalah faktor krusial dalam mengendalikan degradasi lingkungan, seperti, kepastian dan jaminan pemerintah mempertahankan zona hijau atau wilayah hutan konservasi dari perizinan konsesi tambang atau perkebunan.

Untuk itu, saya mengasumsikan, makin tinggi kualitas demokrasi maka aktivitas antropogenik akan makin terkontrol hingga frekuensi banjir bisa berkurang. Aktivitas manusia yang merugikan lingkungan bisa diatasi hingga banjir bisa dikendalikan meskipun curah hujan intensitas tinggi.

Dalam konteks negara demokrasi baru atau yang sedang mengalami transisi dari otoritarianisme, seperti Indonesia, mempunyai tantangan fundamental dalam mengatasi anthropogenic. Tantangan itu, berkaitan dengan pelembagaan aturan hukum dan kemampuan menjaga kebijakan publik, misal tata ruang/spasial, dari pengaruh klientelisme dan korupsi (Burnell 2012). Persis, pada titik inilah demokrasi dan anthropogenic bisa terhubung.

Sebagai langkah awal menelusuri hubungan antara banjir, antropogenik, dan demokrasi, kita bisa mencari gambaran permulaan dengan membandingkan dua data set yang memberikan informasi mengenai kualitas demokrasi dan frekuensi banjir di Indonesia.

Ada dua data set bisa digunakan, yakni Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dibuat Badan Pusat Statistik (BPS) dan data frekuensi banjir dari Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

IDI, pertama kali dibuat pada 2009, menyediakan indikator untuk mengukur kualitas demokrasi pada level provinsi. Sedangkan, data DIBI terutama bersumber pada dokumentasi pencatatan bencana pemerintah.

Kita perlu menyadari, pada awal keterbatasan metode penilaian lewat indeks semisal terkait level akurasi. Karena itu, IDI diletakkan sebagai pemetaan awal dari langkah investigasi penelitian berikutnya.

Ada tiga aspek yang dinilai dalam IDI yaitu kebebasan sipil, hak politik, dan pelembagaan demokrasi. Akses publik dalam pengambilan kebijakan adalah salah satu komponen yang diukur. Ada empat sumber data untuk penilaian, yakni media, dokumentasi pemerintah, diskusi kelompok terarah, dan wawancara mendalam dengan para pakar di tiap daerah.

Empat hal inilah yang jadi sumber pemberian skor kualitas demokrasi pada tiap provinsi. Makin tinggi skor IDI suatu provinsi, asumsinya makin bagus pula kualitas demokrasi di provinsi bersangkutan.

Saya mengumpulkan skor IDI tiap provinsi selama 10 tahun terakhir dari 2009-2018, kemudian menghitung nilai rata-rata. Setelah mendapatkan skor rerata IDI setiap provinsi, kita bisa memasukkan 34 provinsi itu jadi tiga kelompok: tinggi, sedang, dan rendah.

 

Banjir yang merendam Samarinda ini berdampak pada 45 ribu jiwa. Foto: Istimewa/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, kita mengumpulkan jumlah frekuensi banjir di 34 provinsi dalam kurun waktu sama dengan IDI, yakni 2009–2018. Setelah mengompilasikan data frekuensi banjir 34 provinsi dalam satu dataset, kita bisa mengategorisasikan masing-masing provinsi dalam tiga kelompok: tinggi, sedang, dan rendah.

Perbandingan dua data set ini kemudian memberikan gambaran bahwa provinsi-provinsi yang masuk dalam kategori skor IDI rendah ternyata juga merupakan provinsi-provinsi yang masuk dalam kategori kelompok frekuensi banjir tinggi.

Kita belum bisa mengatakan, ada korelasi langsung, namun paling tidak ada pengaruh tidak langsung yang perlu diinvestigasi lebih lanjut. Dari tabel di bawah ini, kita bisa lihat, hanya ada tiga provinsi dengan skor IDI tergolong rendah yang tidak mempunyai angka frekuensi banjir tergolong tinggi, yakni Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua. Namun, semua provinsi dengan IDI rendah lain terkonfirmasi sebagai provinsi dengan frekuensi banjir tinggi.

Kita jelas tidak bisa menggunakan perbandingan dua dataset itu sebagai suatu penjelasan final. Namun, sebagai indikasi awal yang membutuhkan pendalaman lebih jauh baik menggunakan kuantitatif maupun kualitatif hingga gambaran keterkaitan antara banjir dengan demokrasi bisa lebih terpotret secara utuh.

Konteks Indonesia, sebagai negara demokrasi baru yang mengalami transisi dari otoritarianisme sebetulnya menyediakan ruang tepat untuk melihat sejauh mana aktivitas anthropogenic berpengaruh terhadap terjadinya bencana. Ambil contoh, masih ada persoalan besar dengan klientelisme atau oligarki yang mempengaruhi pengaturan tata ruang atau spasial.

Dengan demikian, alih-alih suatu takdir, bencana juga berhubungan dengan perilaku manusia yang tidak benar dalam mengatur barang/kepentingan bersama (common goods). Pengaturan common goods ini adalah suatu peristiwa politik, dan demokrasi mengandaikan aturan permainan adil dan inklusif.

 

Referensi

Ainun Rosyida, Nurmasari, R., & Suprapto. Analisis Perbandingan Dampak Kejadian Bencana Hidrometeorologi dan Geologi di Indonesia di Lihat dari Korban Jumlah Jiwa dan Kerusakan (Studi: Data Kejadian Bencana Indonesia 2018). Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, 10 (1) (2019), 12–21.

Burnell, Peter. “Democracy, democratization and climate change: complex relationships.” Democratization 19, no. 5 (2012): 813-842.

Badan Pusat Statistik,”Indeks Demokrasi Indonesia.” Jakarta: BPS (2020)

Bradshaw, C.J., Sodhi, N.S., Peh, K.S.H., Brook, B.W., 2007. Global evidence that deforestation amplifies flood risk and severity in the developing world. Global Change Biology 13 (11):2379–2395. http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2486.2007.01446.x.

Bencana, Badan Nasional Penanggulangan. “Data Informasi Bencana Indonesia.” Jakarta: BNPB (2020)

Gill, Joel C., and Bruce D. Malamud. “Anthropogenic processes, natural hazards, and interactions in a multi-hazard framework.” Earth-Science Reviews 166 (2017): 246-269.

Li-An, C., L. Billa, and M. Azari. “Anthropocene climate and landscape change that increases flood disasters.” International Journal of Hydrology 2, no. 4 (2018): 487-491.

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200612101157-20-512519/5-ribu-warga-terdampak-banjir-bandang-bone-bolango-gorontalo

[2] https://makassar.tribunnews.com/2020/06/13/2-meninggal-2-warga-hanyut-dan-sejumlah-rumah-tertimbun-akibat-banjir-di-jeneponto-dan-bantaeng?page=4

[3] https://news.detik.com/berita/d-5051973/siklon-tropis-nuri-ini-wilayah-indonesia-yang-diprediksi-terdampak-hujan-lebat?utm_campaign=detikcomsocmed&utm_medium=cpc&utm_source=facebook&utm_term=ctw&utm_content=detikcom

[4] Kompas.com, 10/02/2016); (Rosyida, Nurmasari, Suprapto, 2019: 17); (Tempo, 12/17/2019).

 

* Yogi Setya Permana, penulis peneliti di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

***

Keterangan foto utama:  Banjir bandang di Pantura Lamongan, akhir Mei dan awal Juni 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version