Mongabay.co.id

Harimau Mati Diracun di Muara Batang Gadis

Ayat S karokaro

 

 

 

 

Harimau Sumatera mati lagi. Kali ini, di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Di Desa Ranto Panjang, Kecamatan Muara Batang Gadis, satu harimau diracun hingga meregang nyawa pada 10 Juni 2020.

Kasus ini terbongkar setelah diungkap lembaga swadaya masyarakat di Mandailing Natal yang mengecam aksi main hakim warga Rantau Panjang hingga harimau mati.

Informasi yang diperoleh dari sejumlah saksi mata di Desa Ranto Panjang, harimau ini mati diracun. Setelah mati lalu dikubur. Kulit bagian kening kumis dan taring diambil oleh seseorang yang hingga saat ini belum diketahui.

Baca juga: Lagi, BKSDA Aceh Evakuasi Harimau yang Berkonflik dengan Masyarakat

Kematian harimau membuat geger sejumlah pihak. Beberapa hari setelah kejadian, saya mencoba mengkonfirmasi kepada sejumlah pihak termasuk Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara. Tak ada yang bisa memastikan kebenaran informasi kematian harimau ini. Warga desa menutup rapat.

Baru pada 20 Juni 2020, Balai Taman Nasional Batang Gadis mendapat titik terang soal kematian satwa liar dilindungi ini.

Sahdin Zunaedi, Kepala Balai Taman Nasional Batang Gadis membentuk tim untuk pengumpulan bukti dan keterangan. Dokter hewan, polisi kehutanan dan tim teknis turun ke lokasi.   Bersama dengan KPH Wilayah IX Panyabungan pada 21 Juni 2020 berangkat ke Desa Ranto Panjang. Menuju ke sana, perjalanan perlu enam jam lebih, hanya bisa lewat sungai.

Dengan sampan nelayan, menelusuri aliran sungai dan tiba di sana petang hari. Dibantu Polsek dan Koramil Natal, tim menuju ke Desa Rantao Panjang. Walau kondisi sudah gelap, tim tetap memutuskan menempuh perjalanan ke lokasi. Setelah bertemu camat dan kepala desa beserta perwakilan masyarakat, diputuskan menggali tanah tempat harimau dikuburkan.

 

Lubang kuburan harimau yang mati diracun di Mandailing Natal

 

Dokter hewan lalu nekropsi mengambil sampel beberapa bagian potong tubuh harimau untuk diperiksa di laboratorium. Tim lain mengumpulkan keterangan dari masyarakat.

“Kami sudah melaporkan Ke Dirjen KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem-red), beliau memantau langsung. Lokasi berdekatan dengan APL (alokasi penggunaan lain-red) dan hutan produksi konversi,” katanya.

Dari batas luar Taman Nasional Batang Gadis sekitar delapan km atau empat atau lima jam berjalan kaki.

Setelah membongkar kubur harimau, terlihat bangkai mulai membusuk. Dari identifikasi, diketahui, ukuran harimau panjang 150 cm berat 75 kg kelamin jantan, kulit dan daging sudah rapuh dan bau menyengat.

Baca juga: Harimau Sumatera Tetap Diburu Meski Statusnya Dilindungi

Tim medis juga telah memeriksa fisik dan otopsi serta pengambilan sampel, berupa isi lambung untuk uji toksikologi atau uji laboratorium.

Tim juga sosialisasi terkait konservasi harimau dan aturan terkait mitigasi konflik. Petugas membuat berita acara kematian, berita acara pengecekan tempat kejadian perkara, dan berita acara pemusnahan yang ditandatangani bersama semua pihak.

Untuk konservasi harimau di Taman Nasional Batang Gadis, katanya, balai lakukan pemantauan populasi harimau dengan patroli Smart, pemasangan kamera pengintai dan survei okupasi dengan petak ukur. Pemasangan kamera pengingai mencakup 60 titik, dan variatif 30- 40 titik non permanen.

Setiap tahun, komulatif selama 2015-2019, terdapat 143 titik pemantauan harimau dan populasinya.

Pemantauan dengan patroli Smart secara komulatif mencapai tracking 7.776 meter sepanjang 2015 hingga 2019, atau rata-rata lebih 195 km per tahun. Kemudian observasi meliputi lima plot dengan luas 1.445 km persegi, panjang jelajah 317 KM selama 2019.

Sejak 2013-2019, berhasil terkumpul 49 frame foto harimau Sumatera di Taman Nasional Batang Gadis dari 36 titik pemasangan kamera pengintai.

Dari analisis loreng, diperkirakan sekitar tujuh harimau di Batang Gadis, beberapa foto lain memerlukan data-data tambahan untuk dapat memastikan, apakah harimau sama atau berbeda.

Muliawan, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah IX Panyabungan mengatakan, konflik harimau dengan manusia di Ranto Panjang bukan sekali ini. Pada 2013, konflik serupa pernah terjadi menyebabkan dua orang meninggal dunia diterkam harimau.

Berdasarkan pengumpulan keterangan dari warga, ternyata bukan hanya satu harimau terlihat.

Dari kesaksian sejumlah warga, ada dua harimau lagi masih berkeliaran, dan sudah makan ayam warga. Kuat dugaan itu induk dan anak dari pasangan pejantan yang mati diracun warga.

Kondisi ini, katanya, harus diantisipasi agar tidak lagi ada korban manusia maupun harimau. Dia biilang, KPH tidak mempunyai peralatan khusus hingga BBKSDA Sumut harus cepat menurunkan peralatan baik kamera pengintai untuk identifikasi harimau, maupun peralatan lain.

Dia usulkan evakuasi dan translokasi kedua harimau yang masih berkeliaran di sana. “Kalau tidak, konflik akan terjadi lagi. Pasti akan ada korban jatuh. Itu harus segera antisipasi.”

 

 

Menurut dia, dari keterangan warga, harimau diracun karena sudah memangsa kambing tiga ekor.

Satu kambing dimangsa sebagian. Warga pun menaruh racun ke kambing yang tersisa.

Kepala desa dan warga menyatakan tak ada niat memburu dan membunuh sengaja, apalagi sampai diperjualbelikan.

Mereka menyatakan, murni membela diri karena harimau turun ke kampung dan muncul sampai ke sekolah dasar di sana.   Warga takut dan trauma dengan kejadian 2013.

“Masyarakat di Ranto Panjang ada 300 keluarga. Mereka masih trauma kejadian 2013. Harimau muncul di tengah gedung dan halaman sekolah dasar. Kalau 2013, harimau muncul di halaman SMP. Meski begitu kita serahkan ke penegak hukum untuk proses selanjutnya.”

Muliawan mengatakan, harimau mulai menampakkan diri dan muncul di empat desa, yaitu Desa Hutaimbaru, Lubuk Kapundung I dan Lubuk KaKapundung, serta Desa Ranto Panjang.

Jalur transportasi utama masyarakat pakai sampan, karena di kelilingi hutan dan sungai. Desa ini berada di APL tutupan rapat seperti tanaman karet, sawah dan pertanian lain.

Dia bilang, perlu langkah segera menyelamatkan harimau yang masih berkeliaran di empat desa itu. “Kami bersama   Balai Taman Nasional Batang Gadis sudah memberitahukan aturan hukum dan penyadartahuan terhadap masyarakat di sana untuk tidak membunuh harimau, ” katanya.

“Memang rumit, karena jaringan telepon tidak ada di sana, susah sekali. Ya itulah, harus translokasi harimaunya,” kata Muliawan.

Bagaimana dengan BBKSDA Sumut? Hingga kini, belum ada memberikan penjelasan.

Eduward Hutapea, Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Wilayah Sumatera Kamis lalu mengatakan, dapat informasi kasus ditangani Balai Taman Nasional Batang Gadis, kepolisian, KPH dan BKSDA.

Bagi mereka, katanya, bisa jadi bahan pengembangan, karena memiliki bagian-bagian tubuh satwa dilindungi termasuk harimau itu terlarang.

Dalam beberapa waktu terakhir, ada tiga kasus kematian harimau dibunuh, yaitu di Aceh, Sumatera Barat dan Ranto Panjang, Mandailing Natal.

Eduwar mengatakan, dilihat dari tiga kasus kematian harimau ini kebanyakan karena motif ekonomi. Salah satu upaya pencegahan, katanya, dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan operasi pembersihan jerawat di Taman Nasional Gunung Leuser.

 

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Konflik harimau Sumatera dan manusia terus terjadi dan berujung kematian, harimau maupun manusia. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version