- Perburuan harimau sumatera tidak pernah berhenti di Provinsi Aceh.
- Pelaku WS [30], warga Desa Bintang Bener, Kecamatan Permata, Bener Meriah ditangkap polisi dengan barang bukti satu lembar kulit, taring, dan tulang harimau, 31 Desember 2019.
- Akhir September 2019, personil Polres Aceh Utara, Provinsi Aceh membongkar kasus perburuan dan perdagangan harimau sumatera dengan barang bukti kulit, tengkorak, gigi, dan tulang.
- Dwi Adhiasto, Program Manager Wildlife Crime Unit [WCU]menyatakan, Para pembeli kulit maupun awetan harimau sumatera adalah orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau gila. Mereka tahu harimau dilindungi tapi tetap ingin mengoleksinya.
Perburuan harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] terus terjadi di Provinsi Aceh.
Personil Ditreskrimsus Polisi Daerah Aceh [Polda] Aceh bersama Satreskrim Polres Bener Meriah, pada 31 Desember 2019 berhasil mengungkap kasus perburuan harimau sumatera di Kabupaten Bener Meriah. Pelaku WS [30], warga Desa Bintang Bener, Kecamatan Permata, Bener Meriah ditangkap dengan barang bukti satu lembar kulit, taring, dan tulang harimau.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh, Kombes Pol. Ery Apriyono, Kamis [2/1/2020], mengatakan, pelaku diamankan di Desa Bale Atu, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, saat bertransaksi dengan personil polisi yang menyamar sebagai pembeli.
“Selain kulit dan tulang-belulang, tim menyita mobil pelaku,” ujarnya.
Ery menjelaskan, WS mengaku mendapatkan barang tersebut dari kenalannya, inisial K [40], yang juga warga Bener Meriah.
Baca: Perburuan Harimau Sumatera Tidak Pernah Berhenti, Ini Buktinya

Sebelumnya, akhir September 2019, personil Polres Aceh Utara, Provinsi Aceh membongkar kasus perburuan dan perdagangan kulit harimau sumatera.
Kasat Reskrim Polres Aceh Utara, AKP. Adhitya Pratama, mengatakan, timnya mengamankan seorang pemburu dan empat perantara yang hendak menjual kulit dan tulang harimau ke Medan, Sumatera Utara.
“Penangkapan di Desa Meunasah Tutong, Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Dari para tersangka, polisi menyita kulit, tengkorak, gigi dan tulang harimau yang dimasukkan dalam tas. Siap jual,” ujar Adhitya Pratama, Jumat [27/9/2019].
Adhitya menambahkan, kelima pelaku dijerat Pasal 40 Ayat 2 jo Pasal 21 Ayat 2 Huruf d UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAE jo P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, saat ini diperkirakan populasi harimau sumatera di Provinsi Aceh berkisar 150-200 individu yang tersebar di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] dan Ulu Masen.
Baca: Konflik Manusia dengan Harimau, Harmoni Kehidupan yang Perlahan Hilang

Perburuan di Leuser
Dedi Yansyah, Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL] menuturkan, perburuan harimau sumatera di Aceh dan satwa lainnya dilakukan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].
“Tim FKL yang berpatroli di hutan KEL bersama lembaga pemerintah terkait hingga saat ini masih menemukan tanda-tanda perburuan seperti jerat. Bahkan, bertemu langsung pemburu di hutan.”
Dedi mengatakan, perburuan harimau akan meningkat ketika ada permintaan kulit atau kerangka dari pembeli. “Hal tersebut akan berlaku di seluruh Sumatera,” tuturnya.
Baca juga: Harimau Sumatera Itu Bagian dari Peradaban Masyarakat

Dwi Adhiasto, Program Manager Wildlife Crime Unit [WCU] menyatakan hal senada. Perburuan harimau memang terjadi di Aceh dan daerah lain di Sumatera. “Di Aceh hanya pemburu, penampung, dan pembuat awetan. Sementara pemesan, umumnya dari luar, baik di Sumatera maupun Jawa.”
Dwi mengatakan, sindikat pemburu ini berjejaring dan jarang pemesannya diketahui karena mereka bekerja sangat rapi. “Pembeli tidak membeli sendiri, tapi, memanfaatkan orang lain sehingga tidak terdeteksi.”
Dwi menambahkan, saat ini ada modus untuk mengelabui penegak hukum. Caranya, saat terjadi transaksi yang diperlihatkan kulit atau kerangka palsu.
“Ketika pelaku ditangkap, mereka tidak bisa dijerat hukum karena barang buktinya bukan kulit asli. Setelah lepas, pembeli yang komplain karena barang yang diberikan itu palsu, baru diperlihatkan yang asli,” ungkap Dwi yang juga mengatakan cara ini dilakukan untuk perdagangan ilegal satwa dilindungi lainnya.

Menurut Dwi, kulit atau kerangka harimau yang dibeli itu hanya untuk pajangan di rumah semata, apakah sebagai hiasan dinding, karpet, maupun dalam bentuk awetan.
“Para pembeli itu adalah orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau gila. Mereka tahu, harimau merupakan satwa liar dilindungi dan terancam punah, tapi justru mengoleksi,” tandasnya.