Mongabay.co.id

Ijon Politik lewat Tambang? Bupati Lumajang Upaya Perbaiki Tata Kelola

Polisi memberi police line penambangan pasir yang menimbulkan konflik hingga menyebabkan Salim Kancil tewas pada 2015. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Ijon politik lewat tambang sudah jadi rahasia umum. Thoriqul Haq, Bupati Lumajang menyadari itu. Guna meminimalisasir hal itu berlarut di Lumajang, dia pun berupaya memperbaiki tata kelola pertambangan.

“Tak sekadar tambang (selain migas-red), migas (minyak dan gas-red) juga ada di pilkada,” kata Thoriqul, dalam diskusi daring bertema “Ada tambang di Pilkada?” yang diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Timur, baru-baru ini. Dia menuturkan, ‘getaran besar atau semriwing’ tergantung potensi tambang yang ada di daerah.

Dalam politik dan pilkada, katanya, memang harus ada uang untuk konsolidasi, alat peraga, komunikasi dengan beragam pihak dan kebutuhan logistik. Dengan begitu, memungkinkan ada intervensi termasuk pengusaha tambang yang mempengaruhi pilkada.

Baca juga: Fokus Liputan: Kemelut Tambang Pasir Hitam Lumajang [4]

Pemodal tambang, katanya, bisa mengintervensi kebijakan. Bahkan, ada oknum bekas aparatur negara yang memiliki hasrat terlibat di dunia tambang. Mereka, katanya, saling terkait,jadi bagian dari kepentingan pemodal dan berkolaborasi.

Dia contohkan, potensi tambang pasir di Lumajang dari guguran lava Gunung Semeru. Tumpukan pasir megaliri sungai sampai ke pesisir laut selatan. Pasir Lumajang memiliki kualitas kelas A. “Tinggal ambil, tak perlu mengolah,” katanya. Keadaan ini, katanya, menarik pengusaha mengajukan izin. Apalagi, pesisir selatan Jawa juga mengandung pasir besi hingga menimbulkan persoalan termasuk konflik sosial, seperti tragedi beradarah Salim Kancil. “Tak ada tambang pasir besi di Lumajang. Disetop,” katanya.

 

Moratorium izin tambang pasir

Pemerintah Lumajang berupaya perbaiki tata kelola perizinan. Izin tambang setop sementara. Sudah ada 52 izin tambang, satu tak operasional.

“Izin tambang dikendalikan, 51 sudah cukup diukur dari kapasitas tambang.”

Tambang pasir sudah jadi bagian kehidupan masyarakat tetapi memiliki dampak seperti mencemari lingkungan, kerusakan jalan dan menimbulkan konflik.

Pengangkutan pasir saja, katanya, tak bisa terkendali. Lalu lalang kendaraan truk pengangkut pasir menganggu banyak sektor, antara pemasukan dan biaya tak sebanding.

Baca juga: DPR ke Lumajang, Dalami Kasus Pembunuhan Petani Tolak Tambang

Pemerintah Lumajang, katanya, menganggarkan perbaikan satu ruas jalan Rp9 miliar dari tujuh ruas jalan di Lumajang. Sedang pendapatan asli daerah (PAD) dari restribusi dan pajak tambang Rp8 miliar. Memang, banyak warga bekerja di tambang pasir.

Meskipun begitu, katanya, ada problem sosial timbul. Siswa lulusan sekolah dasar tak melanjutkan ke SMP, mereka memilih bekerja tambang pasir jadi sopir atau kuli angkut pasir. Setiap hari mereka dapat Rp60.000-Rp100.000.

“Jika dibiarkan masalah pendidikan akan jadi persoalan. Indeks pembangunan manusia rendah.”

Untuk mengurai problem tambang pasir di Lumajang tak mudah. Terjadi disparitas orang yang mendapat manfaat dari tambang, Pengusaha dan penyedia jasa mendapat keuntungan berlipat. Timbangan pasir, katanya, menarik jasa timbangan Rp150.000 per truk.

 

Lubang-lubang tambang pasir di Pesisir Lumajang. Tambang pasir menyebabkan lingkungan rusak sampai konflik sosial di masyarakat. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Saat sidak timbangan pasir, rata-rata sehari jasa timbang menerima Rp80 juta-Rp100 juta.

Di Lumajang ada tiga titik. “Sebulan Rp3 miliar, jasa timbang hanya setor ke Pemerintah Lumajang Rp1 miliar-Rp1,5 miliar per tahun,” katanya.

Kerjasama antara penyedia jasa timbangan dengan Pemerintah Lumajang berlangsung selama 15 tahun. Ada kesenjangan makin dalam. Pemerintah kabupaten pun tutup jasa timbangan. “Jasa timbang ditutup dengan segala risiko yang harus dihadapi. Ancaman dibunuh, dan diperkarakan,” katanya.

Sejumlah pihak memberi masukan, khawatir berdampak politis. Dia mengabaikan. Kalau tak ditata, katanya, akan banyak Salim Kancil di Lumajang.

Dia pun coba menata, antara lain, membangun terminal induk terpadu pasir untuk mengontrol kebutuhan dan pasir yang didistribusikan.

Pemerintah Lumajang sediakan lahan sekitar 12 hektar, tahap awal enam hektar. Jadi, volume pasir bisa terukur. Hasilnya, kini Pemerintah Lumajang bisa mengontrol pasir yang keluar, terdeteksi potensi pajak, dan ke mana pasir dipasok. “Transparan dan terbuka. Bisa hitung kebutuhan pasir.”

Truk pasir dilarang memasuki jalan di permukiman padat penduduk. Mereka ada jalan khusus sampai jalan nasional.

Sebelumnya, timbul konflik antara pengusaha pasir dengan warga sekitar hingga mulai ada aturan. “Tak boleh gunakan alat berat, dikerjakan manusia. Alat berat merusak ekosistem di sungai,” katanya.

 

 

Ijon politik

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menuturkan, demokrasi buruk mengancam lingkungan hidup. Jadi, harus terbangun demokrasi berkualitas.

Dalam pilkada, katanya, aktor selama ini diketahui publik hanya pasangan calon dan partai politik, aktor di balik panggung luput dari perhatian.

Dia menyebut, ada tiga aktor di balik panggung antara lain konsultan komunikasi politik, industri media dan penguasa kapital.

Konsultan komunikasi politik, bertugas mengemas pesan kampanye hingga sampai ke telinga khalayak. Sekaligus bekerja mencuci bersih jejak kotor dari sejumlah kandidat bermasalah. “Mengaburkan, membersihkan dan menyampaikan yang positif saja,” kata Merah.

Kandidat yang memiliki akses media akan mendapat nilai dan ruang gerak lebih luas. Media, katanya, bukan ruang hampa dari politik, bahkan terlibat dalam politik. Kepemilikan dan kekuasaan media, katanya, tak bsia lepas dengan kekuasaan politik.

Sedangkan pemodal menggunakan momentum politik elektoral untuk melanggengkan bisnis dan usaha. Bicara semesta politik di Indonesia, katanya, tak hanya kandidat dan partai politik tetapi pemodal jadi aktor yang tertutup tabir asap. “Tak terlihat jelas tapi memiliki peran jelas dalam politik electoral,” katanya.

Dalam kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015 tentang biaya politik pilkada, menyebutkan, perlu biaya politik Rp20 miliar-Rp 30 miliar untuk pilihan bupati atau wali kota. Untuk gubernur antara Rp60 miliar-Rp100 miliar. Pemilihan presiden, katanya, lebih besar.

Dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) diteliti, rata-rata calon peserta pilkada memiliki kekayaan antara Rp 5 miliar-Rp6 mliar. Ada jarak yang berpotensi disusupi sponsor politik.

Jatam mencatat, di Indonesia ada 8.000 izin tambang batubara, 300 izin minyak dan gas, ada logam tanah jarang, dan radiokatif. Praktik korupsi tambang, katanya, terjadi karena pertukaran pengaruh, mulai korupsi politik, ada campur tangan politik dari sumbangan biaya politik dari swasta.

Pengusaha tambang menyumbang dana politik dengan nama orang lain. Film sexy killers, katanya, menunjukkan elite politik secara politis terkait korporasi tambang batubara raksasa.

Anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar menjelaskan, pilkada langsung bagian desentrasisasi, dengan memberi kewenangan pada pemerintah daerah, termasuklah, izin prinsip, penurunan fungsi hutan, hak konsesi, dan memiliki kebijakan kuat.

Dalam Buku Pembiayaan Pemilu terbitan Bawaslu 2018, menyebutkan, tak seimbang antara biaya pemilu yang dilaporkan dengan biaya riil. “Bisa dilihat dari kaca mata vote buying, uang mahar, mendapat uang dari mana?” katanya.

Hubungan pilkada dengan tambang, katanya, menjadi pekerjaan rumah terbesar angota Bawaslu serta sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) untuk menindak.

“Pencegahan dan penindakan bisa terarah. Daerah mana, siapa yang harus dilibatkan, dan usaha mencegahnya,” ujar Fritz.

 

Keterangan foto utama: Polisi memberi police line penambangan pasir yang menimbulkan konflik hingga menyebabkan Salim Kancil tewas pada 2015. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

Peta izin pertambangan di Lumajang, 2016

 

Exit mobile version