Mongabay.co.id

Janji Reklamasi Gubernur DKI Jakarta

 

Kebijakan terbaru yang diterbitkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuai kecaman dari banyak pihak. Keputusan Anies untuk mengizinkan PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk melaksanakan kegiatan reklamasi, dinilai bertolak belakang dengan janji dia sebelumnya saat awal menjabat sebagai Gubernur.

Salah satu yang mengecam kebijakan Gubernur DKI tersebut, adalah Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Menurut mereka, izin reklamasi di atas lahan seluas 150 hektare yang disebutkan untuk keperluan rekreasi, menjadi kebijakan yang ironi.

“Gubernur DKI Jakarta pernah berjanji akan menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati kepada Mongabay, pekan ini.

Menurut dia, janji yang pernah diungkapkan tersebut seharusnya bisa dijaga dengan baik sampai dia menyelesaikan amanah jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, di mana faktanya Anies malah memberikan izin kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.

“Setelah sebelumnya mengeluarkan lebih dari 900 IMB (izin mendirikan bangunan) di pulau D yang konsesinya dimiliki oleh PT Kapuk Niaga Indah,” jelas dia.

baca : Anies Terbitkan IMB: Kemunduran Penyelesaian Persoalan Reklamasi Jakarta?

 

Proyek pembangunan pada pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta pada Februari 2016. Foto : Andika Wahyu/Antara Foto/Geotimes

 

Diketahui, izin reklamasi untuk lahan 150 ha milik Ancol, tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No.237/2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas ± 35 Ha dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas ± 120 Ha.

Adapun, keputusan di atas resmi ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta pada 24 Februari 2020.

Namun demikian, di mata KIARA, Kepgub itu cacat hukum karena hanya mendasarkan keputusan pada tiga regulasi yang ada saat ini, yakni Undang-Undang No.29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian, Susan menerangkan, regulasi berikutnya yang dijadikan sebagai sandaran hukum adalah UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Terakhir, adalah UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Bagi dia, pemilihan tiga UU di atas dilakukan dengan sengaja, karena itu sesuai dengan kepentingan Anies sebagai Gubernur DKI. Padahal, dibandingkan tiga UU tersebut, ada regulasi lain yang dinilai lebih kuat dan pas, yaitu UU No.27/2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil.

“Kenapa UU tersebut tidak dijadikan dasar oleh Anies?” tanya dia.

baca juga : Walhi Desak Anies Cabut IMB di Pulau Reklamasi Jakarta

 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (7/6/2018) melihat Pulau D hasil reklamasi Teluk Jakarta. Foto : Andrey Gromico/tirto.id

 

Komersialisasi

Di sisi lain, tak hanya dari sisi regulasi saja yang dinilai ada kecacatan hukum, pemberian izin reklamasi untuk perluasan kawasan rekreasi di Pantai Ancol, Jakarta Utara, juga dinilai hanya akan memperkuat praktik komersialisasi kawasan pesisir di Teluk Jakarta.

Padahal, kegiatan apapun yang bentuknya komersialisasi, adalah bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 tahun 2010. Dengan kata lain, kawasan pantai, pesisir, dan juga perairan laut adalah milik seluruh warga Negara Indonesia.

“Siapapun berhak untuk mengakses. Pemberian izin ini akan memaksa orang yang mau masuk dan mengakses kawasan ini harus membayar. Inilah praktik komersialisasi yang harus dilawan,” papar dia.

Bukan itu saja, Susan menyebutkan, pemberian izin reklamasi untuk perluasan kawasan rekreasi di Ancol hanya akan mendorong kerusakan kawasan perairan pesisir di sekitar Ancol. Selain itu, juga akan merusak kawasan yang selama ini menjadi tempat pengambilan material pasir untuk bahan pengerukan.

“Ekosistem perairan semakin hancur, ekosistem darat akan mengalami hal serupa. Inilah salah satu bahayanya reklamasi,” tandas dia.

Diketahui, pada 24 Februari lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan Kepgub Nomor 237 Tahun 2020. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa PT Pembangunan Jaya Ancol mendapatkan izin untuk melaksanakan reklamasi untuk perluasan kawasan rekreasi Dunia Fantasi (DUFAN) dan Taman Impian Ancol Timur.

Bersamaan dengan pemberian izin tersebut, disebutkan juga sejumlah kajian teknis yang harus dilengkapi untuk mendukung pelaksanaan reklamasi di kawasan rekreasi Ancol tersebut. Kajian tersebut diantaranya adalah penanggulangan banjir yang terintegrasi, dan dampak pemanasan global.

Kemudian, kajian perencanaan pengambilan material perluasan kawasan, perencanaan infrastruktur/prasarana dasar, analisa mengenai dampak lingkungan, dan kajian lain yang diperlukan.

Masih dalam dokumen Kepgub 237/2020, disebutkan bahwa perluasan kawasan Taman Impian Ancol Timur dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Pembangunan Jaya Ancol yang disepakati pada 13 April 2009.

Dalam PKS, disepakati tentang pembuangan lumpur dari hasil pengerukan 13 sungai dan lima waduk pada area perairan Ancol bagian Barat sebelah Timur dengan luas sekitar 120 ha. Lokasi tersebut secara administrasi terletak di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Kota Administrasi Jakarta Utara.

Selain mengatur kesepakatan hasil PKS, Kepgub 237/2020 juga mengatur sejumlah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol, seperti penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang dibutuhkan, mencakup jaringan jalan, angkutan umum, infrastruktur pengendali banjir, dan ruang terbuka hijau (RTH).

perlu dibaca : Salah Kaprah Gubernur Jakarta dalam Penerbitan IMB Lahan Reklamasi

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Batasan

Lalu, diatur juga kontribusi yang dibebankan kepada PT Pembangunan Jaya Ancol yang mencakup pengerukan sedimentasi sungai di daratan dan lima persen lahan hasil perluasan yang tidak termasuk peruntukkan prasarana, sarana, dan utilitas wajib.

Masih dalam Kepgub yang sama, disebutkan juga pelaksanaan perluasan kawasan harus bisa diselesaikan dalam jangka waktu tertentu atau maksimal tiga tahun. Jika sampai waktu tersebut pelaksanaan perluasan belum juga selesai, maka Pemprov DKI akan meninjau kembali izin perluasan.

Tentang kegiatan reklamasi, Susan Herawati menyebutkan bahwa di Indonesia saat ini sudah ada sedikitnya 41 proyek yang dilaksanakan di berbagai provinsi. Seluruh kegiatan ekonomi tersebut dinilai sudah memberikan dampak buruk bagi sedikitnya 700 ribu keluarga nelayan.

Selain di Indonesia, kegiatan reklamasi juga dengan mudah ditemukan di Filipina yang jumlahnya mencapai 14 proyek dan berdampak pada kehidupan 100 ribu keluarga nelayan. Sementara, di Malaysia tercatat sedikitnya ada 5 proyek reklamasi yang berdampak buruk pada kehidupan lebih dari 5.000 keluarga nelayan.

Ahmad Marthin Hadiwinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) belum lama ini mengatakan bahwa sektor pariwisata dinilai sudah menjadi pemicu utama tersingkirnya nelayan tradisional dari wilayah kehidupan mereka di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Penyebab mereka bisa seperti itu, di antaranya karena Negara membiarkan hadirnya regulasi tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) dengan mengutamakan kebijakan untuk investasi. Dari situ, proses pengabaian keberadaan nelayan dan masyarakat pesisir menjadi besar.

Marthin menerangkan, dalam dokumen Perda RZWP3K ada empat alokasi ruang yang dibahas dan kemudian ditetapkan sebagai regulasi resmi. Keempatnya adalah kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan alur laut tanpa alokasi khusus nelayan skala kecil.

“RZWP3K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, menentukan dasar hukum memanfaatkan sumber daya WP3K,” tuturnya.

Dalam riset lapangan yang dilakukan oleh KNTI, Marthin menyebutkan bahwa pihaknya menemukan sejumlah permasalahan yang tidak diketahui publik. Di antaranya, adalah konflik ruang antara RZWP3K dengan rezim tata ruang, yaitu rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang berbasis daratan.

Kemudian, tidak adanya pengaturan tata ruang laut pada tingkat kabupaten/kota, di mana perikanan nelayan tradisional skala kecil mayoritas berada, partisipasi yang minim, hanya terjadi proses konsultasi di ibu kota dan tidak di pulau-pulau kecil atau kabupaten/kota dengan wilayah pesisir.

 

Exit mobile version