Mongabay.co.id

Atasi Karhutla di Masa Pandemi, Perlu Peran Semua Pihak

Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Di tengah kesibukan kita dalam menghadapi pandemi ini jangan lupa kita juga memiliki sebuah pekerjaan besar dalam rangka mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan.”

Begitu Presiden Joko Widodo, mengingatkan dalam rapat terbatas (ratas) di Istana Merdeka, Jakarta, 23 Juni lalu. Presiden mengingatkan seluruh jajarannya agar tak lengah mencegah karhutla pada kemarau tahun ini di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia punya pekerjaan besar mengantisipasi karhutla. Langkah pertama, katanya, manajemen lapangan harus terkonsolidasi dan terkoordinasi dengan baik dalam waktu persiapan satu bulan ini.

“Area-area yang rawan hotspot dan update informasi sangat penting sekali, manfaatkan teknologi meningkatkan monitoring dan pengawasan dengan sistem dashboard,” katanya.

Sistem dasbor itu, kata Jokowi, bisa menggambarkan situasi karhutla di Riau pada Februati lalu saat pemantauan wilayah rentan karhutla. Sistem ini, katanya, gunakan empat teknologi satelit sebagai alat pengindera untuk mendeteksi titik api, yakni NOAA, Aqua, Terra, dan satelit dari Lapan.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan, sebagian besar wilayah akan mengalami puncak kemarau pada Agustus. Dalam laporan itu, 17% wilayah memasuki kemarau April, 38% pada Mei, dan 27% Juni.

Untuk antisipasi karhutla di lahan gambut, presiden menginstruksikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Restorasi Gambut siaga menjaga tinggi muka air pada lahan gambut.

Jokowi minta gambut tetap basah dengan sekat kanal, embung, sumur bor, teknologi pembasahan lain guna mencegah kekeringan dan kebakaran lahan.

“Untuk mencegah kebakaran di lahan gambut saya minta penataan ekosistem gambut secara konsisten.”

Selain teknologi, pemanfaatan infrastruktur pengawasan pun perlu hingga tingkat bawah, melalui Babinsa, Babinkamtibmas, sampai kepala desa.

“Jangan sampai api membesar baru kita padamkan. Kemarin sudah saya minta kepada gubernur, bupati, wali kota, pangdam, danrem, dandim, kapolda, dan kapolres untuk cepat tanggap mengenai ini.”

 

Personil polisi berhari-hari bantu pemadaman karhutla di Rimbo Panjang, Kampar, Riau pada 2019. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Penegakan hukum

Dia mengintruksikan, penegakan hukum harus jalan secara tegas dan tanpa kompromi. Langkah itu, katanya, jadi bagian dari upaya penanganan karhutla di Indonesia.

Apalagi, sebagian besar karhutla karena ulah manusia baik sengaja maupun kelalaian. Raffles B. Panjaitan, tenaga ahli Menteri Bidang Manajemen Landscape Fire KLHK mengatakan, siklus penanganan karhutla terbagi dalam lima fase, Januari-April merupakan fase pra krisis. Ini sebuah kondisi karhutla muncul di beberapa daerah, seperti Riau dan Kalimantan Barat.

Lalu, fase peringatan pada April-Juni dengan indikasi karhutla satu atau lebih kejadian karhutla. Pada Juni-Oktober, katanya, merupakan fase krisis karena rentan terjadi kebakaran lahan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi hingga menyebabkan kabut asap berdampak pada ekologi dan kesehatan.

Pada fase pemulihan, Oktober hingga November, setelah melalui fase krisis dan aktivitas masyarakat kembali normal. Pada Desember, fase evaluasi terhadap dampak pemulihan dampak karhutla.

Widada Sulistya, Ketua Umum Asosiasi Ahli Atmosfer Indonesia mengatakan, penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC) menemui sejumlah tantangan, seperti TMC memerlukan informasi dinamika atmosfer yang beresolusi tinggi hingga memerlukan sistem komputasi berkapasitas tinggi.

Keberhasilan TMC, katanya, ditentukan ketepatan dalam memilih awan yang akan disemai dan waktu tepat untuk menyemai.   “Informasi berbasis batas administrasi tidak selalu applicable untuk operasi TMC. Perlu kerja sama dan kontribusi dari para ahli atmosfer dalam meningkatkan pemahaman tentang dinamika atmosfer kawasan tropis.”

 

Jaga gambut tetap lembab

Pemerintah pun masih terus merekayasa hujan untuk pembasahan gambut melalui TMC di provinsi rawan karhutla sejak Maret hingga Juni. Pemerintah mengklaim, langkah ini bisa meminimalkan titik panas.

Periode pertama, TMC di Riau sejak 11 Maret-2 April 2020 sebanyak 27 sorti atau penerbangan 21.600 kg natrium klorida (NaCL). Upaya ini menghasilkan 97,8 juta meter kubik air hujan dan menurunkan sampai nol titik panas.

Kedua, di Riau dari 13-31 Mei 2020 sebanyak 16 sorti dengan pesawat Cassa 212 C TNI AU sebanyak 12.800 kg. Langkah ini menghasilkan sekitar 44,1 juta meter kubik air hujan, bisa meningkatkan tinggi muka air gambut.

Terakhir, 2-14 Juni TMC di Sumatera Selatan dan Jambi sebanyak 11 kali penerbangan menghasilkan 24,14 juta meter kubik dan mempertahankan dengan nol titik panas.

Tri Handoko Seto, Kepala Balai Besar TMC Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BTMC-BPPT) mengatakan, hujan buatan ini dengan memanfaatkan ketersediaan bibit awan di masa peralihan menuju kemarau. Dengan hujan buatan ini, katanya, bisa membantu pembasahan gambut hingga menurunkan risiko kebakaran.

“Saat masa peralihan menuju kemarau ini, secara normal ada kecenderungan turun (titik muka air gambut). Ini kalau bisa dipertahankan tinggi muka air, itu sudah bagus, apalagi bisa ditingkatkan,” katanya.

Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK mengatakan, KLHK bersama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), akan jalankan TMC pada Juli ini di beberapa provinsi fokus penanggulangan karhutla, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan beberapa provinsi lain.

Bambang bilang, pencegahan menjadi prioritas utama bagi presiden maupun Menteri LHK dalam menghadapi kemarau setiap tahun. Apalagi, katanya, lahan gambut masih menjadi zona rawan saat memasuki musim kemarau.

“Kami jujur, ingin perkebunan tidak ada yang terbakar lagi di tahun ini, sama dengan HTI,” katanya.

Pemerintah mendorong peran perusahaan perkebunan untuk memenuhi kepatuhan dalam pengelolaan dan pelindungan ekosistem gambut.

“Pemulihan harus terus dilakukan. Pemulihan ekosistem gambut itu wajib.”

Bambang menagih para pemegang konsesi untuk membuat peta rawan karhutla dan membangun kerjasama dengan masyarakat sebagai dasar komitmen dan perencanaan dalam mitigasi karhutla.

 

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi pada 2019.  Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Komitmen perusahaan?

Berdasarkan laporan Singapore Institute of International Affairs (SIIA) Haze Outlook 2020 menyebutkan, faktor manusia salah satu hal penting dalam karhutla. Perusahaan dan komunitas jadi titik penting dalam upaya pencegahan karhutla.

Apalagi dalam kondisi pandemi COVID-19 yang memberikan dampak pada perekonomian, termasuk perusahaan perkebunan yang mempertahankan pemasukannya.

Laporan ini mengatakan, edukasi jadi langkah penting dalam memastikan upaya keberlanjutan tetap berjalan meski COVID-19 ini jadi halangan.

Perusahaan-perusahaan besar, sebut laporan ini, yang memiliki komitmen pelestarian dan keberlanjutan harus tetap mematuhi dalam mencegah atau meminimalisir titik api dalam konsesi.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) pun membentuk gugus tugas di setiap daerah guna pencegahan dan pengendalian karhutla di perkebunan sawit. Mereka pakai empat strategi utama, yakni, pencegahan, penatauan, penanggulangan serta pemulihan.

“Kita tidak cukup hanya dengan melindungi konsesi perusahaan, kita harus mulai melihat sekitar kita dan mulai mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk memperbaiki lingkungan,” kata Joko Supriyono, Ketua Umum Gapki.

Dia mengatakan, perlu ada upaya lebih besar bagi pelaku usaha untuk bersinergi dan membantu pencegahan karhutla baik di dalam maupun sekitar konsesi perusahaan.

Cargill, salah satu pemain sawit menyatakan, akan meningkatkan fokus pada kebijakan nol pembakaran (zero burning policy) yang berlaku ketat di seluruh perkebunan mereka.

“Cargill tidak membenarkan pembakaran lahan dengan cara dan untuk tujuan apapun: pertanian, ekonomi atau sosial,” kata Cargill Tropical Palm Holdings Pte Ltd, dalam pernyataan tertulis kepada Mongabay.

Kebijakan ini, katanya, didukung pendekatan manajemen kebakaran holistik yang mencakup penggunaan teknologi penginderaan termal untuk mendeteksi titik api dan asap dalam radius lima kilometer dari perkebunan mereka.

Cargill juga berpatroli di perkebunan dan lokasi sekitar perkebunan berkala untuk mengidentifikasi potensi titik api.

“Untuk transparansi, data titik api kami dapat diakses untuk umum di situs web kami.”

Kerja sama pencegahan kebakaran, sebut Cargill, dilakukan bersama masyarakat sekitar perkebunan. Bersama pemerintah daerah, Cargill juga membentuk program desa bebas api untuk memberdayakan masyarakat lokal dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran.

Selain upaya pencegahan dan manajemen kebakaran, Cargill juga memperbarui inventaris fasilitas dan infrastruktur seperti peralatan kebakaran, waduk, menara api di setiap perkebunan.

“Di perkebunan kami, yaitu Hindoli di Sumatera Selatan, kami menambah enam truk pemadam kebakaran untuk memperkokoh kapasitas pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan dan hutan.”

Indroyono Soesilo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengatakan, komitmen pemegang usaha konsisten antisipasi karhutla. Selama operasi TMC di Riau, tinggi muka air lahan gambut pada 60 kawasan HTI mengalami kenaikan.

“Juga tinggi muka air lahan gambut pada 16 HTI di Sumatera Selatan dan lima HTI di Jambi cenderung naik.”

 

Keterangan foto utama: Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi pada 2019. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version