Mongabay.co.id

Video Langka: Badak Jawa “Musofa” Asik Berkubang di Ujung Kulon

 

 

Nama Musofa mendadak viral di media sosial. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, melalui akun media sosialnya pada Senin [29/6/2020], menunjukkan Musofa yang asik berkubang di Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK], Banten.

Dari rekaman video jebak/trap berdurasi 2 menit 15 detik itu, tampak badan Musofa yang besar berguling-guling di air. Bahkan, ia dengan mudahnya membalikkan badan, telentang dengan posisi kaki di atas perutnya, dengan mudah.

“Saya mendapat kiriman video ini dari Tamana Nasional Ujung Kulon. Yuk kita terus jaga dan sayangi Musofa dan kawan-kawannya,” tulis Siti Nurbaya pada akun Facebook-nya.

Baca: Ada Kelahiran, Badak Jawa di Ujung Kulon Bertambah

 

Badak jawa bernama Musofa ini terekam video trap saat asik berkubang di lumpur di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Dok. Tangkapan layar video/KLHK/BTNUK/YABI/IRF

 

Siapa Musofa?

Musofa adalah seekor badak jawa [Rhinoceros sondaicus]. Dia badak jantan yang diperkirakan berumur sekitar 7 tahun.

Dari keterangan Siti Nurbaya, Musofa pertama kali terindentifikasi sebagai individu badak ke-56 pada 16 Maret 2013 melalui rekaman video jebak. Ini berlangsung saat kegiatan pemantauan badak jawa di Blok Cihandeuleum Grid 35AN.

Siti menjelaskan, kebiasaan berkubang dilakukan badak bercula satu itu setidaknya dua kali sehari. Durasi terlama hingga tiga jam.

“Aktivitas berkubang yang dilakukan Musofa mempunyai manfaat untuk menjaga suhu dan kelembaban tubuh, pemenuhan mineral, mengurangi parasit, dan tentunya untuk beristirahat,” paparnya.

Siti menjelaskan, konservasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon dilakukan melalui upaya perlindungan dan pengamanan kawasan dengan cara patroli rutin. Selain itu, dilakukan juga pemantauan dan pembinaan habitat, serta penanaman dan pemeliharaan pakan di Semenanjung Ujung Kulon.

“Menjaga badak jawa artinya kita mencintai Indonesia,” terangnya.

Baca: Kisah Badak Jawa yang Kini Hanya Ada di Ujung Kulon

 

 

Badak jawa bertambah

Kepala Urusan Pengawetan, Pemanfaatan dan Pelayanan Analis Data Taman Nasional Ujung Kulon, M. Syamsudin mengatakan, tren penambahan populasi badak jawa di Ujung Kulon dalam sembilan tahun terakhir sedang bagus-bagusnya.

Data menunjukkan, jumlah badak jawa pada 2011 hanya 35 individu. “Nah, kini pada 2019 tercatat sebanyak 72 individu dengan komposisi 39 jantan dan 33 betina,” jelas Syamsudin kepada Mongabay Indonesia, Rabu [01/7/2020].

Artinya, dalam sembilan tahun ini badak jawa bertambah 37 ekor. “Lebih dari 100 persen penambahan populasinya,” tutur dia.

Dari tahun-tahun produktif ini, pada 2012 tercatat sebagai penambahan populasi paling banyak, yaitu 16 individu.

“Data kami 2011 awalnya 35 individu, satu tahun kemudian nambah angka pendataannya menjadi 51 individu,” kata Syamsudin.

Tak berhenti di situ, angka populasi meningkat setahun kemudian, pada 2013 tercatat 58 individu. Namun sayangnya pada 2014, angka itu berkurang satu disebabkan ada yang mati, total menjadi 57 individu.

Kabar baik berlanjut pada 2015, jumlah badak jawa di Ujung Kulon bertambah 6 individu, sehingga ada 63 individu. Pada 2017, jumlahnya terpantau 67 individu.

Data terakhir, pada 2019 tercatat 72 individu. “Saat ini komposisinya lebih banyak jantan,” jelasnya.

Baca: Perluasan Habitat, Upaya Nyata Menyelamatkan Badak Jawa dari Kepunahan

 

Musofa adalah badak jantan usia 7 tahun yang hidup di Ujung Kulon. Foto: Dok. Tangkapan layar video/KLHK/BTNUK/YABI/IRF

 

Upaya konservasi

Syamsudin menjelaskan, sejulah upaya konservasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon telah dilakukan tim Balai TNUK telah dengan perlindungan dan pengamanan kawasan.

“Kami bergerak berbasis resort, memantau terus bila ada pelanggaran,” jelasnya.

Syamsudin mengatakan, tim mereka ada dua kelompok, Tim Rhino Proteksi Unit [RPU] dan Tim Rhino Monitoring Unit [RMU]. Tugasnya melakukan pemantauan dari Gunung Honje hingga Gunung Payung.

Sepanjang jalan pemantauan, dipasang 93 kamera jebak untuk merekam aktivitas badak jawa. Juga, untuk mengawasi bila ada pihak yang mengancam kehidupan satwa dilindungi ini.

Syamsudin juga menjelaskan, tantangan perlindungan badak jawa saat ini adalah banyaknya kegiatan pencarian burung yang dilakukan sejumlah masyarakat. Sedangkan di selatan Ujung Kulon yang menjorok ke laut, tantangannya adalah aktivitas pencarian dan penangkapan benur udang.

“Sedangkan faktor badak itu sendiri adalah perkembangannya yang lambat. “Anak badak itu 18 bulan dalam kandungan, lalu 2 tahun menyusui, kemudian 2 tahun baru dewasa. Artinya butuh enam 6 hingga 8 tahun mereka baru bisa kawin dan berkembang biak,” jelasnya.

Sedangkan peluang yang membuat badak jawa mempunyai harapan hidup cukup baik adalah kondisi Ujung Kulon yang merupakan habitat aslinya. Pakan juga tersedia, ruang gerak cukup, sehingga layak untuk badak jawa berkembang biak.

Badak jawa di Ujung Kulon telah dianalisa melalui DNA. Hasilnya, dari 72 individu itu, mereka berasal dari dua keturunan induk.

“Sampai saat ini peneliti sudah mengumpulkan data bahwa ada tiga sumber keturunan induk badak jawa. Namun, terkhusus di Ujung Kulon tercatat dua asal keturunan,” kata syamsudin.

Garis keturunan pertama diketahui setelah analisa DNA dilakukan pada bagian tubuh badak jawa bernama Samson, yang mati di tepi pantai 2018 lalu. “DNA dia menunjukkan garis keturunan pertama,” tuturnya.

Kemudian pada 2019, Tim Balai TN Ujung Kulon menganalisa DNA kotoran salah satu badak di tempat tersebut. Hasilnya, diketahui garis keturunan ini berbeda dengan Samson.

“Ini menegaskan badak jawa di Ujung Kulon ada dua garis keturunan,” tuturnya.

Baca juga: Bukan Hanya Perburuan, Badak Jawa Juga Menghadapi Ancaman Langkap

 

Badak jawa yang berada di Sungai Cigenter, Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Stephen Belcher/Dok. Balai Taman Nasional Ujung Kulon

 

Hayani Suprahman, Koordinator Lapangan JRSCA-YABI menyatakan, habitat badak jawa memang hanya ada di Ujung Kulon. Tantangan yang dihadapi di masa mendatang adalah potensi meningkatnya kegiatan ilegal manusia di dalam kawasan taman nasional. “Pencarian burung dan pengambilan benur di wilayah laut yang berbatasan langsung dengan habitat badak masih terjadi,” ujarnya Rabu [01/7/2020].

Ancaman lain yang mesti diwaspadai adalah dominasi langkap yang menghambat pertumbuhan pohon pakan badak. Untuk itu, pengelolaan habitat dan ekosistem mutlak diperlukan. “Jangan lupa, kemungkinan terjadinya bencana letusan Gunung Krakatau adalah tantangan yang harus dipikirkan antisipasinya demi penyelamatan badak jawa yang di dunia ini hanya ada di Ujung Kulon.”

Hayani menambahkan, bersama Balai TNUK, pihaknya telah melakukan pengamanan kawasan dengan membentuk Rhino Protection Unit [RPU] dan Marine Patrol Unit [MPU]. Juga, membangun Javan Rhino Study Conservation Area [JRSCA], dengan satu kegiatan utama mengendalikan tumbuhan langkap.

“Kegiatan JRSCA perlu diperluas, terutama untuk menjawab sejumlah ancaman kehidupan satwa pemalu tersebut. Terlebih, JRSCA bagian utara bersentuhan langsung dengan areal pengembalaan kerbau yang tentunya berpotensi adanya penyebaran penyakit zoonosis,” tandasnya.

Badak jawa, berdasarkan catatan sejarah, dulunya tersebar luas. Mulai dari India, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Jawa, dan Sumatera. Badak jawa yang berada di Vietnam, punah pada 2011.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi menetapkan badak jawa sebagai satwa dilindungi. Berdasarkan IUCN Red Liststatusnya saat ini adalah Kritis [Critically Endangered] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Populasinya hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon, tepatnya di Semenanjung Ujung Kulon.

 

 

Exit mobile version