Mongabay.co.id

Rugikan Nelayan, Walhi Sulsel Tuntut Penghentian Tambang Pasir dan Pembangunan Makassar New Port

Mobilisasi warga Takalar untuk turun ke pantai diumumkan di masjid-masjid dan mendapat respon yang cukup besar. Ratusan warga di setiap desa menyatakan mendukung gerakan penolakan tambang pasir tersebut karena berdampak langsung dengan sumber mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Aktivitas penambangan pasir di tengah laut kembali dilakukan di perairan Makassar dan Takalar, Sulawesi Selatan. Sejak Kamis (13/02/2020), kapal perusahaan asal Belanda Royal Boskalis, yang memiliki kapasitas 33.423 Gross Ton (GT) mulai melakukan penambangan pasir laut di perairan Bonemalonjo.

Pasir laut hasil tambang ini digunakan untuk reklamasi Makassar New Port tahap II. Dalam sehari, kapal Boskalis melakukan tiga kali penambangan.

“Tambang pasir laut dan reklamasi pesisir merupakan sumber bencana sosio-ekologis di pesisir dan laut Sulawesi Selatan. Boskalis sebagai kontraktor tambang pasir laut, merupakan aktor salah satu utama bisnis destruktif ini,” ungkap Riski Saputra, aktivis Walhi Sulsel, Sabtu (20/6/2020).

Menurut Riski, lokasi penambangan Boskalis berada di wilayah tangkap nelayan Galesong Takalar dan Kepulauan Sangkarang Makassar, di daerah yang oleh nelayan lokal diberi nama Coppong Lompo, Coppong Caddi, Bonemalonjo, dan Pungangrong.

“Pemberian nama-nama lokal ini menunjukkan betapa kuatnya relasi nelayan dengan wilayah tangkapnya. Selain itu, ini juga merupakan tanda bahwa di lautan yang begitu luas, ada daerah tertentu yang dijadikan wilayah tangkap andalan karena kelimpahan sumber daya ikannya,” ungkap Riski.

baca : Tambang Pasir Laut Galesong Rusak Ekosistem Laut dan Sebabkan Abrasi

 

Meski telah ditolak warga aktivitas penambangan pasir masih terus berlangsung mengunakan kapal Boskalis dari Belanda pada September 2017. Penambangan pasir dilaut dinilai lebih ekonomis dan mudah Karena tanpa melalui proses pencucian lagi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Aktivitas penambangan pasir ini bukan kali pertama dilakukan oleh kapal dari Belanda ini. Pada 2017-2018 mereka sempat beraktivitas selama hampir setahun. Ketika itu, konflik antara perusahaan dan warga ketika itu cukup dramatis di mana warga sempat melakukan aksi unjuk rasa dan pengadangan kapal yang sedang beraktivitas. Beberapa warga kemudian diciduk pihak kepolisian dan angkatan laut dengan tuduhan pengancaman.

Pada akhir 2017, setelah mendapat penolakan besar-besaran, Boskalis kemudian menghentikan aktivitasnya. Namun ini hanya berlangsung sebulan, karena Boskalis melanjutkan aktivitasnya. Aktivis lingkungan dan warga kembali melakukan aksi penolakan hingga kemudian Boskalis menghentikan aktivitasnya secara permanen pada Maret 2018. Pada Februari 2020 ini Boskalis kembali beroperasi dengan adanya izin baru dari Pemprov Sulsel.

Menurut data Walhi Sulsel, aktivitas penambangan ini telah menimbulkan dampak kerusakan luar biasa bagi lingkungan pesisir dan kondisi sosial-ekonomi nelayan Galesong Raya.

Terjadinya abrasi pantai di beberapa pesisir Galesong Takalar awal tahun 2020 ini diduga sebagai dampak dari penambangan pasir tersebut. Lebar abrasi di pesisir Galesong mencapai 2-10 meter, menyebabkan 12 rumah rusak ringan dan 2 rusak berat, 2 jalan beton rusak, 2 tempat wisata dan 3 penahan ombak rusak dan tertimbun pasir, serta 1 pemakaman umum tergerus habis.

Walhi menyayangkan respons pemerintah terhadap aktivitas penambangan ini, yang bukannya fokus pada pemulihan dampak, tetap malah memberi izin baru penambangan kepada 6 perusahaan lokal.

“Bukannya meminta Boskalis untuk melakukan pemulihan lingkungan, pemerintah baik pusat maupun provinsi justru membuka ruang tambang pasir laut baru bagi Boskalis untuk kembali mengeruk pasir laut di wilayah tangkap nelayan Sulawesi Selatan,” tambah Riski.

baca juga : KKP Surati Gubernur Sulsel, Minta Tambang Pasir di Takalar Dihentikan

 

Aksi Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar bersama warga Galesong Kabupaten Takalar menolak tambang pasir serta reklamasi CPI dan MNP. Keberadaan proyek yang menggunakan material pasir dari laut dianggap telah merusak ekosistem lat dan menyebabkan abrasi yang parah. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Riski, penambangan Boskalis di wilayah yang menjadi sumber penghidupan nelayan ini merupakan bentuk penghancuran ruang hidup sehingga mengancam keberlanjutan nelayan di Sulawesi Selatan.

“Sejak penambangan dilakukan, nelayan Pulau Kodingareng Lompo dan Galesong mulai merasakan dampaknya. Air laut di sekitar wilayah penambangan menjadi keruh. Kekeruhan membuat hasil tangkapan nelayan berkurang drastis, terutama nelayan-nelayan yang mencari ikan tenggiri dan nelayan rawe yang mencari ikan-ikan karang,” tambahnya.

Di Pulau Kodingareng Lompo, hampir semua dari 950 nelayan yang tercatat di Dinas Kelautan dan Perikanan merupakan nelayan pencari ikan tenggiri. Di bulan April hingga Agustus, biasanya hasil tangkap ikan tenggiri meningkat, bisa sampai enam ekor bahkan lebih. Namun di tahun ini situasinya berbeda, aktivitas tambang Boskalis membuat nelayan kesulitan mendapat hasil tangkapan, maksimal hanya dua ekor ikan tenggiri/hari.

“Penderitaan nelayan pencari ikan tenggiri semakin bertambah manakala saat ini sedang terjadi pandemi covid-19 yang membuat harga ikan tenggiri turun drastis.”

Riski juga menyayangkan adanya upaya kriminalisasi pihak perusahaan terhadap dua nelayan yang menentang penambangan pasir ini dengan tuduhan mengancam atau menghalangi kapal tambang mereka.

“Bukannya menjalankan instrumen HAM pada bisnisnya, Boskalis justru melakukan upaya intimidasi terhadap nelayan Pulau Kodingareng Lompo. Padahal, justru sebaliknya, Boskalis tidak pernah memberikan penghormatan terhadap hak nelayan yang notabene sejak lama merupakan subyek utama pengelola wilayah perairan Bonemalonjo.”

Riski juga menuding Boskalis tidak pernah melakukan konsultasi publik dan meminta persetujuan dari nelayan yang bergantung hidup dari lokasi penambangannya.

perlu dibaca : Tak Setop Tambang Pasir Laut Galesong, Koalisi Ancam Gugat Hukum Pemerintah dan Perusahaan

 

Pembangunan MNP yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero), yang telah memulai pengerjaan MNP tahap 1B dan 1C sejak awal 2019 silam dengan target pembangunan sepanjang 1.000 meter pesisir pantai utara Makassar di mana terdapat 5 komunitas nelayan berada di kawasan tersebut. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Reklamasi untuk Makassar New Port (MNP)

Tidak hanya penambangan pasir, Walhi juga menyoroti aktivitas reklamasi yang terjadi di pesisir pantai utara Makassar untuk kepentingan pembangunan Makassar New Port (MNP).

Pembangunan MNP yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero), yang telah memulai pengerjaan MNP tahap 1B dan 1C sejak awal 2019 silam dengan target pembangunan sepanjang 1.000 meter pesisir pantai utara Makassar.

Di lokasi proyek MNP, terdapat lima komunitas nelayan tradisional yang masing-masing terbagi dan menetap di Kelurahan Tallo, Kalukubodoa, Cambayya, Buloa, dan Gusung. Sebagian besar warga yang tinggal di daerah tersebut merupakan nelayan pencari ikan, kepiting rajungan dan tude (kerang).

Menurut Riski, sejak awal pembangunan, pihak PT. Pelindo IV tidak pernah melakukan konsultasi publik yang bermakna dengan komunitas nelayan pesisir Kota Makassar.

“Komunitas nelayan pesisir sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari proyek MNP. Sebaliknya, nelayan justru mengalami kerugian ekonomi karena kehilangan wilayah tangkap tude dan akses melaut yang terganggu karena aktivitas pembangunan MNP ini.”

Menurutnya, tanpa konsultasi publik yang bermakna dan penghormatan terhadap hak nelayan sebagai subyek utama pengelola pesisir dan laut.

“Kegiatan reklamasi MNP dan tambang pasir laut hanya menimbulkan konflik berkepanjangan antara komunitas nelayan dengan PT. Pelindo IV, Boskalis, dan Pemerintah, serta pemiskinan bagi keluarga nelayan terkhusus perempuan dan anak-anak.”

Terkait berbagai kondisi tersebut, WALHI Sulsel menuntut ke perusahaan, pemerintah dan Pelindo.

“Kami meminta Boskalis untuk menghentikan aktivitas tambang pasir laut Sulsel, khususnya di wilayah tangkap nelayan,” ungkap Riski.

Mereka meminta Boskalis untuk tidak melakukan upaya intimidasi dan kriminalisasi terhadap nelayan lokal-tradisional.

“Kepada PT. Pelindo IV kami meminta untuk menghentikan proyek reklamasi dan pembangunan MNP tahap II dan segera melakukan konsultasi publik yang bermakna dengan seluruh komunitas nelayan pesisir Kota Makassar.”

Mereka menunut Pemprov Sulsel untuk menghentikan proyek tambang pasir laut dan mendesak Boskalis segera melakukan pemulihan lingkungan di sepanjang pesisir Galesong yang terdampak tambang pasir laut jilid pertama.

Walhi juga menuntut Kementerian BUMN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan proyek reklamasi MNP dan mendesak PT. Pelindo untuk melakukan pemulihan hak nelayan pesisir Kota Makassar yang hilang akibat pembangunan MNP tersebut.

“Terakhir kami berharap Komnas HAM untuk turun langsung menyelidiki praktek-praktek pelanggaran hak asasi manusia dalam aktivitas tambang pasir laut dan proyek MNP yang sangat berdampak bagi kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi nelayan.”

baca juga : Tolak Tambang Pasir Laut, Warga Takalar Ramai-ramai Bakar Pantai

 

Sekitar 100-an perahu jolloro dari Galesong Kabupaten Takalar, Sulsel, pada Juni 2017, menduduki kawasan CPI. Membentangkan spanduk penolakan tambang pasir. Mereka mulai berangkat dari Kampung Beru, Galesong Utara, sejak pukul 06.00 dan tiba di Pantai Losari sektar pukul 07.30. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tidak Ada Pelanggaran

Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulsel, Djemi Abdullah, menjelaskan bahwa Boskalis adalah perusahaan yang bergerak di bidang penimbunan yang dikontrak oleh Pelindo IV untuk pembangunan MNP, tidak terkait dengan perizinan tambang.

“Karena ia tak memiliki lokasi tambang mereka membeli di perusahaan lokal yang ada di Takalar. Saya belum tahu persis izin apa yang dimiliki namun yang pasti dia ada kontrak dengan Pelindo,” katanya.

Menurutnya, sejumlah perusahaan pemegang IUP tempat Boskalis ‘membeli’ pasir ini beroperasi di wilayah yang telah ditetapkan oleh Perda RZWP3K dan telah memenuhi syarat untuk melakukan penambangan.

“Selama ini tidak ada yang terlanggarkan Boskalis dalam operasionalnya karena bagi kami yang tak boleh adalah membeli barang tambang dari tempat yang tidak berizin, sementara Boskalis membeli barang dari tempat yang berizin. Kalau dia beli dari tempat tak berizin maka berat pidananya. Yang kami kejar memenuhi ketentuan adalah pemegang IUP bukan Bioskalis-nya,” jelas Djemi.

Ia menambahkan bahwa yang bertanggungjawab ke negara terhadap penambangan ini adalah pemegang IUP.

“Selama ini perizinan ini tak ada terlanggarkan. Mereka telah melalui prosesnya yang panjang bisa sampai setahun, dan selama ini semua berproses sesuai persyaratan. Cuma kadang dalam perjalanan ada juga persyaratan yang belum terpenuhi. Ini juga nanti kami akan review kembali, cuma karena pandemi ini kita agak kendor,” katanya.

***

 

Keterangan foto utama : Mobilisasi warga Takalar pada Juli 2017 untuk turun ke pantai diumumkan di masjid-masjid dan mendapat respon yang cukup besar. Ratusan warga di setiap desa menyatakan mendukung gerakan penolakan tambang pasir tersebut karena berdampak langsung dengan sumber mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version