Mongabay.co.id

Studi: Daerah Dominan Usaha Sawit Tak Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakatnya

Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau, tak hanya menghanguskan kebun, sawit warga, juga belasan rumah, sepeda motor dan mobil pick up, Jumat (17/8/18). Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

 

Pemerintah Indonesia kerap mengatakan, industri sawit merupakan andalan pemasukan negara dan sektor prioritas. Apakah kehadiran industri sawit di satu daerah mampu mesejahterakan masyarakat hingga tingkat tapak atau hanya segelintir orang? Penelitian Yayasan Madani, Maret lalu mencoba menjawab isu ini. Madami menyandingkan data produk domestik regional bruto (PDRB) di wilayah yang memiliki luasan sawit terluas di Indonesia. Hasilnya?

“Dari 10 provinsi dengan rata-rata penambahan luas lahan terbesar hanya tiga yang masyarakat pedesaannya memiliki kesejahteraan tinggi,” kata Trias Fetra Ramadhan, peneliti Yayasan Madani, belum lama ini.

Berdasarkan data Statistik Komoditas Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2010-2019, ada lima provinsi di Indonesia yang memiliki laju pertambahan luas perkebunan sawit tertinggi, yakni, Riau (105.000 hektar), Kalimantan Barat (98.918 hektar), Kalimantan Timur (72.478 hektar), Kalimantan Tengah (68.184 hektar) dan Sumatera Utara (50.000 hektar).

Baca juga: Kebun Sawit Riau Terluas, Tak Jamin Rakyat Sejahtera dan Berdaulat Pangan

Kemudian disusul Jambi (38.974 hektar), Sumatera Selatan (37.590), Aceh (19.947), Kalimantan Selatan (17.533), dan Sumatera Barat (14.163 hektar).

Sayangnya, kata Trias, tren penambahan luas lahan sawit ini tidak seiring dengan kenaikan produktivitas sawit Indonesia. Produktivitas sawit dinilai stagnan berdasarkan data Ditjenbun 2010-2019, sebesar pada 2013, sebesar 3,5 ton per hektar dan 3,6 ton per hektar pada 2018.

Kondisi ini, katanya, perlu ada pembenahan tata kelola yang harus jadi fokus semua pihak dalam mengurai permasalahan perkebunan sawit Indonesia.

Baca juga: Potret Perempuan Iban dan Orang Rimba Kala Hutan Hilang jadi Kebun Sawit

Sebuah provinsi disebut memiliki kesejahteraan tinggi dilihat dari rata-rata nasional konsumsi non makanan sebesar 42,15%, yang ditetapkan Badan Pusat Statistik Nasional 2019. Provinsi yang termasuk dalam kriteria itu memiliki komoditas sawit adalah Riau 43,63%, Kalimantan Timur 47.03%, dan Jambi 42.33%.

Meski demikian, tidak sepenuhnya kesejahteraan masyarakat desa di tiga provinsi itu bersumber dari sawit. Di Riau, misal, desa bersawit 44,2% atau 1.875 desa, Kalimantan Timur 27,2% (841 desa), dan Jambi 22,8% (1.399 desa). Desa lain memiliki komoditas unggulan berupa karet dan kelapa. Di Jambi, memiliki karet dan kayu manis.

“Keuntungan yang dianggap komoditas strategis dan prioitas itu ternyata tidak signifikan berdampak pada masyarakat sekitar perkebunan sawit,” katanya.

 

Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

 

Siapa yang menikmati?

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani mengatakan, nilai devisa yang disumbangkan bisnis sawit mencapai Rp289 triliun per tahun, namun petani dan rakyat kecil masih belum mendapatkan kesejahteraan dari industri ini.

Industri sawit ini, katanya, dinilai banyak menguntungkan segelintir orang. Tata kelola bisnis ini hanya memberikan keuntungan kepada usaha, pebisnis dan tuan tanah yang memiliki lebih dari delapan hektar tanah.

Dia bilang, banyak permasalahan kompleks dihadapi pada sektor perkebunan sawit, mulai masalah legalitas lahan hingga produktivitas petani minim.

Ada sekitar 79% petani masih belum memiliki sertifikat tanah, 54% petani belum gunakan bibit bersertifikat pemerintah dan 71% petani tak memiliki kelembagaan resmi.

“Hasil analisis kami, 90% petani sawit di Indonesia menanam benih tanpa ada pendampungan atau secara otodidak. Hingga produksi sawit pun tidak maksimal,” kata Teguh.

Kondisi tambah buruk dengan banyak tengkulak sawit menekan tandan buah sawit (TBS) dengan harga sangat rendah. Berdasarkan data Madani, ada 73% petani menjual TBS ke tengkulak yang membuat harga sangat murah.

Hasil analisis Yayasan Madani, upaya menyejahterakan masyarakat di daerah bisa fokus menyeimbangkan antar jenis komoditas. Contoh, di Jambi dan Riau, disebutkan memiliki kesejahteraan dari rata-rata nasional, namun masing hasing memiliki desa yang tak bersawit lebih besar, masing masing 77,2% (Jambi) dan 55,8% (Riau).

Kedua daerah itu, katanya, memiliki komoditas unggulan lain seperti karet dan kelapa untuk Riau dengan produksi 2018 mencapai 400.000 ton per tahun. Karet dan kayu manis di Jambi dengan produksi masing-masing 300.000 dan 60.000 ton per tahun.

 

Gajah sumatera jantan yang ditemukan membusuk di areal kebun sawit PT. Makmur Inti Bersaudara yang dulunya bekas HGU PT. Dwi Kencana Semesta di Aceh Timur, 15 April 2020. Foto: Dok. Forum Konservasi Leuser

 

‘Sejahtera’, tetapi…

Berdasarkan studi Santika dkk. terkait perubahan lanskap, mata pencaharian dan kesejahteraan desa di sekitar perkebunan sawit di Kalimantan memperlihatkan, masyarakat dari beberapa desa bersawit pendapatan lebih tinggi. Meskipun begitu, akses makanan, air, kesehatan lebih rendah dibadingkan desa yang tak menanam sawit.

Adapun, manfaat ekonomi signifikan bagi masyarakat desa itu bersifat terbatas hanya pada desa mayoritas masyarakat memiliki pengetahuan pengelolaan perkebunan dan informasi ekonomi pasar, seperti desa yang punya perkebunan polikultur.

Sedang desa yang mayoritas masyarakat bergantung pada mata pencaharian tradisional, seperti pertanian, berburu berladang dan memancing memang menfaat ekonomi hanya berlangsung beberapa tahun, namun memiliki modal sosial budaya lebih tinggi.

Penelitian ini merekomendasikan, pemerintah negara produsen harus mengevaluasi tujuan pengembangan sawit tak hanya pada keuntungan ekonomi, juga memerlukan pemeliharaan kesejahteraan sosial-ekonomi pada komunitas lokal di masa depan.

Indikator itu, menentukan keberhasilan apakah sektor sawit bisa membawa manfaat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan jangka panjang atau tidak.

 

 

Konflik dan bencana

Berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia: Komoditas Sawit 2011-2018, laju penambahan lahan sawit tertanam pada 2017 mencapai 17,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini tertinggi dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.

Kenaikan luas perkebunan sawit pada 2017, tercatat oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria terjadi banyak konflik agraria di sektor perkebunan sawit. Pada 2017, ada 298 konflik, 2011 (97), 2012 (90), 2013 (90), 2014 (185), 2015 (127), 2016 (163) dan 2018 (144) kasus.

“Persoalan sawit bukan masalah ekonomi semata tapi ada dampak lain yang dirasakan masyarakat tingkat tapak, yakni konflik agraria,” kata Trias.

Dampak buruk lain dari perluasan lahan sawit seperti deforestasi, mengancam keragaman hayati, memicu konflik agraria dan menyebabkan kebakaran hutan.

Bencana alam pun mengintai masyarakat. Kalau melihat provinsi yang alami deforestasi karena sawit, terjadi banjir dan longsor. Dia contohkan, Aceh, deforestasi tertinggi pada 2011, meski tidak langsung berdampak pada lingkungan, tetapi meningkatkan bencana longsor dan banjir tinggi pada 2015 dan 2018. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pada kedua tahun itu masing-masing terjadi bencana 142 dan 190-an kejadian.

 

Keterangan foto utama:  Kebakakaran di kebun sawit warga di lahan gambut, yang tak hanya meludeskan kebun juga kendaraan dan rumah mereka. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

Masalah lingkungan juga menjadi ancaman bagi industri sawit. Sawit yang diekspor juga ada sawit rakyat sehingga kita perlu perbaikan tata kelola. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version