Mongabay.co.id

Perburuan dan Perdagangan Ilegal Trenggiling Tidak Kenal Masa Pandemi

Trenggiling, satwa liar yang tidak pernah berhenti diburu untuk diperdagangkan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Trenggiling masih saja diburu dan diperjualbelikan secara ilegal, meski situasi pandemi saat ini. Padahal, para ahli telah memperingatkan akan kemungkinan satwa ini sebagai perantara penyebaran virus COVID-19 ke manusia. Sabtu, 27 Juni 2020, tim gabungan menangkap seorang pedagang sekaligus pemburu trenggiling di Gunung Kidul, Yogyakarta.

Tim dari Centre for Orangutan Protection [COP], Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum [Gakkum] LHK Wilayah Jawa Bali dan Nusa Tenggara, dan Polda DIY berhasil meringkus tersangka HP ketika melakukan transaksi sisik trenggiling jawa [Manis javanica] di Genjahan, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dari penangkapan itu, diamankan bukti berupa 2,5 kg sisik trenggiling, 1 buah timbangan kue, 1 lembar kantong plastik, dan 1 unit handphone.

“Kami sudah memantau lima bulan. Saat pelaku akan bertransaski, kami kontak pihak Gakkum,” kata Hery Susanto, Koordinator Antiwildlife Crime COP, kepada Mongabay, Jumat [03/7/2020].

Penangkapan sekitar pukul 19.40 malam. Tersangka sudah lama memperjualbelikan satwa atau bagian satwa. HP mengaku mendapatkan trenggiling dari berburu di sekitar Gunung Kidul, wilayah yang merupakan salah satu habitat satwa pemakan serangga ini. Melansir keterangan BKSDA DIY, kawasan ini cukup baik untuk trenggiling, namun jumlahnya terus menyusut.

Menurut Hery, tersangka menjual sisik seharga Rp2 juta per kilogram. Belum jelas apakah dia bagian jaringan perdagangan trenggiling internasional. “Dalam operasi, kami punya prinsip semua pedagang satwa itu berbahaya, kecil maupun besar. Meski barang bukti sedikit, tapi dia sudah menjual berapa kali menjual dan kita tidak tahu,” paparnya.

Baca: Perdagangan Trenggiling Ilegal Mungkin Berperan dalam Penyebaran Wabah Corona

 

Trenggiling, satwa liar yang tidak pernah berhenti diburu untuk diperdagangkan secara ilegal. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Daniek Hendarto, Direktur COP, dalam keterangannya menyebutkan untuk menghasilkan 1 kg sisik trenggiling dibutuhkan 4 ekor trenggiling. Dalam kasus ini setidaknya 10 ekor trenggiling mati.

“Pedagang makin pintar membaca cara kerja penegak hukum,” ungkapnya.

Mereka enggan bertemu langsung calon pembeli. Mereka mengirim barang melalui jasa ekspedisi, uangnya ditransfer. Mereka juga berjualan melalui media sosial di grup tertutup, hanya orang-orang terpercaya yang bisa bergabung.

“Harusnya pelaku dihukum maksimal, agar menimbulkan efek jera. Berdasarkan pengalaman, pedagang yang tertangkap dan dihukum ringan, mereka akan jualan lagi,” paparnya.

Trenggiling termasuk satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 106 Tahun 2018. Disebutkan, barang siapa yang memperdagangkan satwa dilindungi diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda sebesar 100 juta Rupiah.

Baca: Riset: 26 Ribu Trenggiling Diselundupkan ke Tiongkok dalam Sepuluh Tahun

 

Barang bukti sisik trenggiling seberat 2,5 kilogram yang disita dari pelaku HP di Gunung Kidul, Yogyakarta. Foto: Dok. Centre for Orangutan Protection

 

Angka penyelundupan

Wildlife Conservation Society [WCS] Indonesia melansir data yang dapatkan sepuluh tahun terakhir. Diketahui, jumlah trenggiling yang diselundupkan ke China dari Indonesia mencapai 26 ribu ekor. Seperti diberitakan Mongabay Indonesia sebelumnya, Yunita Dwi Setyorini, Database and Analysis Officer WCS Indonesia menyebutkan, penyelundupan dilakukan dengan berbagai cara baik melalui jalur laut, kargo, maupun pelabuhan-pelabuhan kecil.

“Mayoritas ke China. Kebanyakan transitnya di Malaysia, kemudian lanjut ke negara pengguna yaitu di Hong Kong, daratan Tiongkok, dan Vietnam,” katanya, Februari lalu.

Meski populasi satwa ini di Indonesia belum diketahui pasti, namun untuk status perdagangan, trenggiling adalah mamalia yang paling banyak diperdagangkan dari Indonesia. Tahun lalu, WCS Indonesia mencatat ada tujuh kasus perdagangan ilegal, melibatkan 200 ekor trenggiling, dengan tujuan akhir diduga kuat negara tirai bambu itu.

Pada Juni tahun lalu, tim gabungan Balai Gakkum Jawa Bali dan Nusa Tenggara, Polres Semarang dan BKSDA Jawa Tengah membekuk pedagang satwa dilindungi di Semarang. Dalam operasi itu, disita dari tangan pelaku berupa seekor trenggiling hidup, sisik trenggiling sebanyak 28,6 kilogram, awetan trenggiling, awetan kepala kijang, dan 898 kerapas labi-labi. Nilainya sekitar Rp1,5 miliar. Namun kerugian ekologi yang diakibatkannya tidak terhitung jumlahnya.

Sementara itu, akhir 2018, Kejaksaan Negeri Gunungkidul memusnahkan empat ekor trenggiling mati dengan cara dibakar. Ini merupakan sitaan dari warga yang menangkap dan memelihara hewan dilindungi tersebut. Pelaku yang merupakan warga Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul dihukum 5 bulan dan denda Rp5 juta.

Pemburu kerap menggunakan anjing terlatih untuk mencari trenggiling. Cara lain yang umum digunakan adalah mengasapi lubang atau sarang trenggiling, atau memakai jaring serta jerat.

Baca: Ingat! Trenggiling Itu Bukan Satwa Buruan

 

Perburuan dan perdagangan ilegal trenggiling tidak ada istilah berhenti meski sekarang dalam kondisi pandemi corona. Foto: Dok. Centre for Orangutan Protection

 

Mengguling

Trenggiling merupakan hewan yang dari kepala sampai kuku tertutup sisik keratin. Pada manusia keratin adalah materi dasar penyusun kulit, rambut, dan kuku. Di Malaysia, hewan ini dikenal dengan sebutan tenggiling. Dalam bahasa Inggris disebut pangolin, berasal dari kata pengguling dari bahasa Melayu yang berarti suka mengguling. Di Filipina satwa ini dinamai tanggiling, atau goling.

Salah satu perilaku khas trenggiling adalah menggulung badannya mirip bola, saat terancam. Di alam liar predator trenggiling adalah kucing besar seperti macan, harimau, dan singa. Namun saat predator ini tidak ada di habitatnya, justru manusia yang menjadi ancaman terbesarnya.

Trenggiling bersarang di lubang pohon, di tanah, atau menempati bekas sarang binatang lain. Makanan utamanya adalah semut, rayap, dan larva. Trenggiling tidak memiliki gigi. Dia mendapatkan makanan dengan lidahnya, yang panjangnya bisa melebihi panjang badannya. Ekornya sangat kuat, kerap dipakai untuk menggelayut di dahan pohon. Saat terancam, ekornya juga dipakai untuk mengusir lawan dengan cara mengibaskannya.

Trenggiling mencerna makanan dengan cara unik. Seperti sebagian burung, dia sengaja makan batu-batu kecil untuk membantu menghancurkan makanan dalam perutnya. Cakarnya dipakai untuk membuka sarang semut dan rayap, menggali tanah, atau mengoyak pohon. Sementara lidahnya yang lengket dipakai untuk menangkap semut, rayap, atau larva.

Baca juga: Nasib Trenggiling yang Tidak Pernah Sepi dari Perburuan

 

Anatomi trenggiling (Manis javanica), virtual dictionary. Sumber: Artemiscrow.deviantart.com

 

Manis Javanica seperti yang diperdagangkan di Gunungkidul merupakan satu dari delapan jenis trenggiling yang dikenal di dunia. Manis berasal dari kata Manes, bentuk jamak maskulin dalam bahasa latin yang berarti hantu. Ini karena waktu itu bentuknya masih dianggap aneh dan menyeramkan. Javanica merujuk asal Pulau Jawa. Meski begitu penyebarannya meliputi Brunei, Kamboja, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, Myanmar, dan Vietnam.

International Union for Conservation of Nature [IUCN] menetapkan statusnya Kritis [Critically Endangered/CR], atau selangkah menuju kepunahan di alam liar.

Di pasar gelap, sisik satwa yang aktif di malam hari ini bernilai tinggi. Per keping bisa dihargai $5, sementara trenggiling utuh bisa mencapai $600. Kebanyakan sisik dipakai untuk pengobatan tradisional atau Traditional Chinese Medicine [TCM]. Dagingnya disajikan sebagai menu eksotik.

Awal Juni lalu, Pemerintah China mencoret trenggiling dari daftar resmi TCM. Namun tim dari Environmental Investigation Agency [EIA] menemukan data bahwa sisik trenggiling masih ada dalam daftar beberapa obat paten. Laporan yang ditulis Mongabay.com itu menyebutkan, dalam katalog obat-obat paten di China edisi 2020, Pharmacopoeia ditemukan delapan obat paten yang mengandung sisik trenggiling.

Cris Hamley, juru kampanye senior untuk trenggiling di EIA mengatakan kepada Mongabay.com, masih ada 72 produk TCM lain yang mengandung sisik trenggiling yang tidak ada dalam katalog Pharmacopoeia 2020. Namun, masih bisa diperjualbelikan secara legal di China.

 

 

Exit mobile version