Mongabay.co.id

Lindungi Hutan Papua, Kebijakan Pusat dan Daerah Harus Sejalan

Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

 

 

 

 

Pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat, masih menghadapi tantangan dalam upaya perlindungan hutan. Kewenangan pengelolaan hutan dan lahan juga ada di tangan kementerian dan lembaga di Jakarta. Alhasil, pendekatan pembangunan dan perlindungan hutan di Papua seperti amanat UU Otonomi Khusus Papua Nomor 21/2001 tidak sepenuhnya berjalan. Pemerintah pusat didesak mendukung kebijakan pemerintah daerah di Papua sesuai amanat UU Otsus. Hal itu terungkap dalam diskusi Yayasan Econusa dengan tema Hutan Papua Benteng Terakhir Masa Depan Indonesia, akhir Juni lalu.

Luas hutan Papua sekitar 42,5 juta hektar. 33,75 juta hektar ada di Papua dan 8,75 juta hektar di Papua Barat. Ancaman kerusakan hutan terus terjadi karena bisnis skala besar seperti sawit, tambang, dan penebangan kayu baik yang legal maupun ilegal.

Pemerintah daerah mengambil langkah untuk perlindungan. Ada tiga hal utama dilakukan, pertama, membuat produk hukum tingkat daerah sesuai amanat UU Otsus. Kedua, menyiapkan dokumen perencanaan pembangunan, dengan mempertahankan 80% kawasan hutan di Papua dan 70% Papua Barat. Ketiga, pendekatan pembangunan berbasis wilayah adat.

Pasal 63 UU Otsus Papua khusus mengatur tentang pembangunan berkelanjutan di Papua. Papua maupun Papua Barat membuat berbagai peraturan daerah khusus (perdasus) dan peraturan daerah provinsi (perdasi) sebagai turunannya.

Di Papua Barat, pemerintah baru ada peraturan daerah provinsi (Perdasi) Nomor 10 Tahun 2019 tentang pembangunan berkelanjutan di Papua Barat. Satu poin utama dari perdasi ini yakni, konservasi jadi pusat dari seluruh rencana kegiatan pemerintah daerah.

Nataniel Mandacan, Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat mengatakan, ini sejalan dengan Deklarasi Manokwari pada Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif atau International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE) 2018. Kepentingan konservasi ini juga akan masuk dalam revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Papua Barat.

“Kita berkomitmen menjaga 70% Papua Barat tetap ada hutan,” katanya.

 

 

Komitmen sama juga dikatakan Muhammad Musaad, Asisten II Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Sekretariat Daerah Papua. Dia bilang, dokumen perencanaan Papua seperti RTRW, pencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD), rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJPD), hingga rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) sudah mengedepankan aspek lingkungan.

Dokumen-dokumen itu, katanya, dilengkapi Kajian Lingkungan hidup Stratetegis (KLHS) dan akan jadi acuan siapapun yang membangun di Papua. Papua juga sudah memiliki dokumen pertumbuhan hijau.

“Dalam tata ruang terakhir, kita akan tetap menjaga ketertutupan hutan sampai 80%. Ini komitmen Papua kepada Indonesia bahkan dunia.”

Bicara perlindungan hutan di Papua tidak lepas dari masyarakat adat. Semua tanah dan hutan yang diatur pemerintah dalam berbagai produk hukum dan dokumen perencanaan pembangunan itu adalah milik masyarakat adat. Pemerintah daerah menyadari itu.

Sejak 2013, Pemerintah Papua mengusulkan pendekatan khusus untuk pembangunan di Papua. Pembangunan kontekstual Papua berbasis wilayah adat sudah disetujui pemerintah pusat dan diadopsi dalam kebijakan pembangunan nasional.

Rencana pemberian insentif untuk masyarakat adat juga sudah diupayakan agar kawasan hutan tetap mendapat keuntungan dan terjaga. Selama ini, katanya, banyak pihak tidak bertanggungjawab memanfaatkan kesulitan ekonomi masyarakat adat di Papua dengan memberi kompensasi tak sesuai dan merusak hutan.

Skema ekowisata dan perdagangan karbon jadi pilihan. Untuk rencana perdagangan karbon, pemerintah daerah di Papua sudah mempromosikan sampai ke Norwegia meski hingga sekarang tidak ada kelanjutan.

Komiten pemerintah daerah ini makin diperkuat dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui gerakan penyelamatan sumber daya alam (GNPSDA) di Papua. GNPSDA memberi perhatian khusus pada korupsi pertambangan, perkebunan, dan kehutanan di Papua. Sebagai bagian dari gerakan itu, Papua dan Papua Barat, sedang meninjau kembali izin-izin perusahaan perkebunan sawit.

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Pengabaian UU Otsus oleh pusat

Beberapa kementerian dan lembaga berkomitmen mendukung upaya perlindungan hutan di Papua, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menetapkan Papua dan Papua Barat sebagai provinsi prioritas pembangunan rendah karbon. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) mengembangkan pembangunan ekonomi hijau.

Dalam implementasinya, banyak aturan yang tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan sesuai kekhususan wilayah tidak diakui.

Contoh, kebijakan tata ruang nasional. Sammi Saiba, Kabid Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Papua Barat menyatakan, tidak ada kebijakan khusus dalam RTRW nasional untuk Papua.

“Saya lihat tema diskusi ini hutan Papua Benteng Terakhir Masa Depan Indonesia. Kalau memang mau jadi benteng terakhir, saya mengajak teman-teman di kementerian, lembaga di pusat, mari merahkan Pulau Papua. Kasih itu RTRW nasional, pisahkan Papua sebagai wilayah yang punya otonomi khusus.”

Tak ada kekhususan untuk Papua menunjukkan pemerintah pusat masih mau mengendalikan tata ruang Papua. Menurut Saiba, desain ruang dan kebijakan pembangunan di Papua, seharusnya benar-benar datang dari Papua.

Musaad bilang, banyak peraturan daerah di Papua berbnturan peraturan-peraturan nasional. “Ironisnya, bisa saja peraturan menteri meniadakan aturan- dalam Undang-undang Otsus. Padahal itu bukan produk hukum yang diakui dalam sistem hukum kita. Peraturan Menteri harusnya mengatur hal administratif. (Yang terjadi) peraturan menteri meniadakan apa yang ada di dalam UU Otsus.”

Musaad mencontohkan, pengabaian terhadap pendekatan adat untuk pembangunan Papua, padahal sudah disepakati. Pemerintah pusat, tetap mengedepankan pendekatan sektoral. Dampaknya, banyak kebijakan pembangunan di Papua mengalami hambatan.

Mandacan menambahkan, pengalaman panjang menunjukkan kesalahan penglolaan hutan lebih banyak merugikan masyarakat adat. Hal itu, katanya, jadi pelajaran berharga bagi Pemerintah Papua Barat dalam menetapkan aturan-aturan baru.

“Kita di daerah sudah bicara untuk menjaga hutan, kita berharap juga kebijakan pemerintah (pusat) mendukung ini…Karena kita di daerah yang tidur, tinggal dekat hutan.”

Bustar Maitar dari Yayasan Econusa mengatakan, Papua dengan luasan tutupan hutan terbesar saat ini di Indoensia. Kerusakan hutan di Papua akan berpengaruh signifikan pada upaya mengatasi perubahan iklim. Komitmen pemerintah daerah dan rakyat Papua untuk pembangunan berkelanjutan perlu didukung.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, katanya, hutan dan lingkungan tetap terjaga dan masyarakat adat jadi penerima manfaat utama.

Pusat, katanya, harus segera menghentikan penyeragaman kebijakan di Papua. Ada otonomi khusus Papua adalah pengakuan atas kekhususan wilayah yang harus dipatuhi semua pihak.

 

 

Keterangan foto utama:  Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

Pembangunan sawmill yang sedang berlangsung di tengah hutan Papua, 2018. Foto oleh Ulet Ifansasti untuk Greenpeace

 

Exit mobile version