Mongabay.co.id

Cetak Sawah Baru di Kalteng, Babak Baru Bencana Ekologi?

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng pada tahun 2012. Foto: Greenpeace

 

 

Pada masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Pemerintahan Presiden Joko Widodo berencana buka proyek cetak sawah (food estate), mirip proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar untuk pertanian padi di rezim Soeharto. Dengan narasi sama soal ketahanan pangan, pemerintah mengumumkan rencana buka lahan 900.000 hektar untuk mencetak sawah raksasa. Rencana ini menimbulkan banyak perdebatan.

Pemerintah sebut proyek ini sebagai wujud kepedulian mereka atas ancaman krisis pangan di tengah pandemi. Peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tentang ancaman krisis pangan global selama menghadapi Corona jadi rujukan.

Ada yang menyebutkan kalau proyek ini sudah rencana sebelum pandemi dengan target dukungan dari beberapa investasi asing. Walaupun niat mungkin terdengar mulia, kami mempelajari, sebagian besar akuisisi tanah berskala besar dengan retorika pembangunan ekonomi terbukti kontraproduktif, hanya melayani kepentingan elit. Sedang masyarakat setempat harus menanggung dampak ekologi dan sosial berkepanjangan.

Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

Rencana ini juga dapat menghambat komitmen penurunan emisi pemerintah Indonesia (Nationally Determined Contributions) dalam Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi hingga 29% pada 2030 dari business as usual (BAU), hingga 41% dengan bantuan internasional. Ini adalah paradoks berkepanjangan dalam pembangunan berbasis lahan di Indonesia.

Dalam 23 tahun terakhir, kebakaran dan asap pada musim kemarau dan banjir pada masa penghujan jadi new normal di area bekas proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Proyek gagal ini adalah proyek ambisius pada era Orde Baru dimulai dengan penetapan Keputusan Presiden Nomor 82/1995 untuk mengembangkan sawah di satu juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah.

Tanpa studi lingkungan, sosial dan teknologi memadai, dalam dua tahun proyek ini menggali 187 km kanal utama yang menghubungkan tiga sungai utama: Kahayan, Kapuas dan Barito. Juga, membangun 1.129 km kanal primer, 964 km kanal sekunder, 900 km kanal tersier serta 515 km kanal kecil pada area 1,4 juta hektar. Proyek ini juga membawa sekitar 15.500 transmigran dari Jawa untuk jadi petani di daerah itu (Mawardi, 2006: Notohadiprawiro, 1998).

Baca juga: Bertani di Lahan Gambut, Jangan Mengulang Kesalahan Masa Lalu

Kanal-kanal ini dibangun untuk jadi jaring irigasi yang mengalirkan air dari Sungai Kahayan, Kapuas dan Barito ke sawah-sawah raksasa. Sebaliknya, kanal-kanal ini jadi drainase yang mengalirkan air keluar dari lahan gambut.

Baru kemudian disadari, wilayah gambut dalam bentuk kubah ini memainkan peran hidrologis sangat penting sebagai tempat penampungan air antara dua sungai besar.

Proyek ini setop melalui Keputusan Presiden No. 80/1999. Kerusakan besar telah terjadi, kawasan hutan yang asri dan habitat satwa liar luluh lantak. Gambut yang dikeringkan terus mengalami oksidasi, hidrofobikasi, pemadatan, dan subsidensi sampai kini.

Lahan gambut terdegradasi tak lagi berfungsi sebagai tempat penyimpanan air dan pengatur hidrologis untuk daerah itu. Ia menyebabkan, fluktuasi tingkat air tanah tinggi menyebabkan sering banjir pada musim hujan dan kebakaran hebat saat kemarau.

 

Lahan gambut sisa terbakar tahun 2015, terletak di eks PLG Sejuta Hektar Kalteng. Foto: Ridzki R. Sigit

 

Daerah ini terus mengeluarkan emisi karbon dalam jumlah besar, ketika terbakar mengeluarkan asap yang mengandung partikel halus dan bahan kimia beracun yang dihirup warga. Pada 2015, 200.000 hektar lahan gambut terbakar dan mengeluarkan sekitar satu juta ton karbon yang berkontribusi terhadap pemanasan global (Setyawati dan Suwarsono, 2018).

Saat ini, ada puluhan konsesi sawit di area bekas PLG yang mengharuskan gambut dikeringkan sampai kedalaman 60-70 cm agar sawit bisa tumbuh. Titik api acap kali ada dalam konsesi perkebunan sawit, namun hukum sangat sulit tegak, walaupun beberapa perusahaan dinyatakan bersalah di pengadilan. Hanya 2% denda dibayarkan hingga kini. Pada 2016, beberapa organisasi masyarakat spil melayangkan gugatan hukum (citizen lawsuit) atas kerusakan kelalaian pemerintah ke Mahkamah Agung dan berhasil.

Baca juga: Lahan Gambut Eks PLG Satu Juta Hektar, Bagaimana Kabarnya Saat ini?

Sayangnya, hingga kini masyarakat Kalimantan Tengah masih menunggu pemenuhan hak-hak mereka yang telah putus oleh pengadilan.

Pada Mei 2020, Pemerintah Kalimantan Tengah mengajukan peninjauan kembali terhadap kasus itu (sebelumnya pemerintah pusat juga peninjauan kembali).

Pada tahun sama, angin segar sempat berhembus, Badan Restorasi Lahan Gambut (BRG) dibentuk untuk melakukan tugas besar memulihkan gambut terdegradasi. Meskipun dianggap terlambat, ia menumbuhkan harapan bagi banyak orang bahwa lahan gambut, masyarakat, dan kehidupan liar di dalamnya, dapat menikmati kehidupan lebih baik.

Sayangnya, harapan itu harus terhenti segera sebelum lahan gambut berhasil terestorasi saat presiden memutuskan cetak sawah baru di gambut Kalimantan Tengah.

Belajar dari PLG dan proyek-proyek perkebunan pangan nasional di Sulawesi dan Papua, tidak ada satupun berakhir dengan kisah sukses. Kebenaran yang menyedihkan adalah, proyek-proyek ini menggoreskan luka sosio-ekologis bagi masyarakat adat atau lokal yang belum sembuh selama beberapa dekade.

Proyek semacam ini biasa digerogoti berbagai kepentingan kompleks termasuk menciptakan lapangan kerja, menyediakan komoditas dan ketahanan pangan nasional (juga untuk negara lain) serta menambah lumbung kekayaan bagi banyak aktor terutama investor, dan elit lokal. Mejawab berbagai kepentingan dalam satu proyek bukan perkara mudah.

Jaminan tenurial lemah bagi masyarakat adat/lokal di Indonesia khusus di Kalimantan, pengembangan lahan disponsori negara seperti cetak sawah mengancam hak, kesejahteraan, mata pencaharian, dan identitas masyarakat lokal/adat.

Dalam proyek PLG, banyak pelanggaran hak karena regulasi mengenai mekanisme akuisisi tanah oleh swasta ataupun BUMN minim. Kondisi makin parah oleh korupsi birokrasi tingkat lokal.

Tidak ada persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (free, prior and informed consent/FPIC) dalam proses perencanaan pembangunan untuk pembebasan lahan jadi penyebab banyak masalah, seperti sengketa tanah, pengucilan partisipasi lokal dalam kegiatan ekonomi. Juga membunuh praktik tradisional yang sangat erat hubungan dengan ketahanan pangan lokal dan mata pencaharian seperti kebutuhan dasar yang bergantung pada hutan dan pertanian tradisional (berladang).

 

Kanal primer eks PLG di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang ditutup secara permanen. Nantinya ditengah hanya disisakan salurah air untuk jalur transportasi warga. Foto: Indra Nugraha

 

Dalam konteks sengketa tanah, masalah utama termasuk relokasi paksa, kurang atau tidak ada kompensasi adil dan pemenuhan hak-hak petani kecil, kriminalisasi anggota masyarakat dan aktivis HAM dan tanah, kehilangan lahan dan pemiskinan sistemis. Hak atas tanah adalah hak asasi manusia mendasar terutama bagi masyarakat adat dan tradisional yang penghidupan dasar bergantung pada hasil tanah. Untuk itu, merampas hak ini bisa berarti genosida secara perlahan.

Sayangnya, kompleksitas kepentingan pribadi, korupsi, dan tata kelola lemah telah melanggengkan pola penggunaan lahan yang bersifat eksploitatif. Ia bertentangan dengan kepentingan masyarakat lokal terutama masyarakat adat dan petani kecil (Miranda, 2018; Lucas & Warren, 2013).

Kenyataan pahit ini sedang dihadapi masyarakat Dayak di Kalimantan, mereka perlahan-lahan tergusur dari tanah sendiri sejak Orde Baru. Ada untuk buka jalan bagi perusahaan kayu, pertambangan dan perkebunan, seolah-olah mereka hanya penyewa di tanah mereka sendiri.

Hanya segelintir orang Dayak yang mendapatkan kesempatan kerja di perusahaan-perusahaan ini, kebanyakan hanya jadi penonton pasif, menyaksikan kekayaan mereka terkuras habis.

Lebih buruk lagi, mereka selalu ditelantarkan dengan bencana ekologis dan sosial-ekonomi setelah proyek-proyek selesai.

Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945, Negara memiliki kekuasaan untuk mengendalikan semua lahan dan sumber daya alam tetapi juga mengakui hukum masyarakat Adat.

Tujuan tersurat UU Pokok Agraria 1960 yang menjamin tanah untuk kesejahteraan masyarakat secara adil, hingga kini belum dapat mewujudkan reforma agraria dengan refistribusi lahan untuk memberi manfaat kepada petani yang tidak memiliki tanah dan miskin karena ekonomi politik rumit.

Banyak penelitian membuktikan hubungan kuat antara keadilan distribusi lahan dan pembangunan ekonomi. Di mana negara-negara dengan distribusi lahan lebih adil mencapai pertumbuhan dua sampai tig kali lipat lebih maju dibandingkan negara yang tidak.

Ironisnya, sejak zaman Orde Baru, politik lahan dan hutan di Indonesia jelas-jelas jadi kawan perusahaan-perusahaan berskala besar dalam logging, perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur perkotaan, seraya mengucilkan masyarakat lokal.

Meskipun ada resistensi masyarakat terhadap sistem tidak adil yang didukung kelompok aktivis, namun narasi itu tergaung lantang hanya di lingkaran aktivisme, tidak pada realita penegakan hukum. Ini jelas, pemerintah mendukung kelompok elit dan melanggar ketentuan UU Dasar Pokok Agraria (NL Peluso, Afiff, & Rachman, 2008).

Permasalahan lain dalam proyek seperti ini adalah konflik antar etnis dan perampasan hak-hak komunitas lokal. Belajar dari kegagalan Proyek PLG di zaman Orde Baru, proyek itu menyebabkan konflik etnis antara transmigran dan orang Dayak serta perampasan hak tanah masyarakat setempat.

Konflik ini berakar pada kecemburuan sosial antara penduduk setempat dan transmigran atas perlakuan atau dukungan pemerintah yang tak adil dan perlibatan penduduk setempat nihil.

Dengan narasi pembangunan ekonomi melalui lahan produktif di Kalimantan, proyek ini membawa petani dan pekerja dari Jawa dan memberi mereka sertifikat tanah dan perumahan gratis. Orang Dayak yang telah mendiami dan menjaga tanah Kalimantan selama puluhan tahun tidak diberi jaminan tenurial, apalagi sertifikat tanah atau perumahan gratis.

Kondisi tambah buruk oleh stigma bahwa orang Dayak masih primitif atau terbelakang, hingga tidak melibatkan mereka dalam agenda pembangunan di tanah mereka sendiri. Pembangunan yang sangat Kejawaan (Java centric).

Tak kalah penting, komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris dalam mengurangi emisi. Sangat penting dalam konteks food estate berpotensi berkontribusi pada perubahan penggunaan lahan dan deforestasi lebih lanjut yang menyumbangkan 62% emisi nasional. Food estate baru berpotensi memperburuk emisi Indonesia dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF).

Basis data emisi kebakaran global (2016) melaporkan, emisi Indonesia dari kebakaran gambut dan hutan melebihi emisi ekonomi Amerika Serikat sehari-hari, ekonomi Amerika Serikat 20 kali lebih besar dari Indonesia.

 

Kabut asap yang menyelimuti Palangkaraya, Kalteng, baru-baru ini. Hingga kini, asap tak berlalu, kualitas udara masih berbahaya. Kapankah derita warga dampak asap ini usai? Foto: Jenito

 

 

Bagaimana dengan kepemimpinan Indonesia dalam implementasi REDD + (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan?

Di lokasi proyek usulan, ada potensi tumpang tindih dengan proyek restorasi dan konservasi lahan gambut yang didanai donor internasional termasuk Norwegia, Belanda, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara donor yang masih memiliki nota kesepakatan dengan Indonesia perlu meninjau ulang dan mengevaluasi potensi dampak terhadap proyek yang telah atau sedang berjalan.

Berikut beberapa pertanyaan perlu kita ajukan sebelum membiarkan proyek ini terjadi, pertama, apakah ada kajian dampak holistik pada proyek ini? Kedua, apakah masyarakat setempat memiliki suara dalam menentukan skema pengembangan lahan yang diusulkan untuk wilayah itu? Apakah hak-hak masyarakat adat dan hak-hak perempuan dan minoritas etnis dijamin dengan perlindungan dari negara secara efektif? Apakah FPIC dilakukan?

Ketiga, apakah kepentingan pengguna lahan dan, atau pemelihara saat ini dilindungi untuk memastikan mereka tidak dirugikan oleh proyek ini? Keempat, apakah ada penggunaan lahan atau tenurial yang tumpang tindih di lokasi yang dituntut? Minta peta penggunaan lahan yang jelas!

Kelima, apakah lembaga negara dan hukum cukup kuat untuk melindungi hak properti masyarakat dan hak-hak lain yang terkait hak atas tanah, air, mata pencaharian, kesehatan, dan identitas budaya?

Pembangunan berbasis lahan seperti cetak sawah selalu digunakan untuk mengekalkan sistem pemerintahan terpusat, di mana pihak-pihak yang kuat mendominasi arah kebijakan pembangunan dan membatasi pengembalian kepemilikan dan kekuasaan lahan kepada masyarakat lokal. Status quo ini secara gamblang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan pemimpin negara dan swasta untuk menguasai lahan dan sumber daya hutan buat agenda politik dan ekonomi para elit yang ditutupi dengan retorika populis seperti pemberdayaan dan keberlanjutan.

 

Penulis:

Exit mobile version