Mongabay.co.id

Reklamasi Ancol yang Penuh Masalah dan Kecacatan

 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didesak harus membatalkan rencana proyek reklamasi yang akan dilaksanakan di kawasan wisata Ancol, Jakarta Utara. Pembatalan itu harus dilakukan, karena proyek reklamasi tersebut dinilai sarat dengan masalah dan juga pelanggaran hukum.

Kesatuan Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menyebutkan, ada empat alasan kenapa reklamasi harus dibatalkan, karena Pemprov DKI sepertinya berupaya mengelabui publik dengan menerbitkan izin secara diam-diam pada Februari 2020 lalu.

“Dan menyatakan proyek tersebut bukan merupakan reklamasi,” demikian bunyi pernyataan resmi dari KSTJ yang dikirim kepada Mongabay, Selasa (14/7/2020).

Menurut KSTJ, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan persetujuan proyek reklamasi secara diam-diam melalui penerbitan Keputusan Gubernu DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Ancol Timur dan Dunia Fantasi seluas total ± 155 Hektar.

Selain akan melaksanakan reklamasi di Ancol, proyek reklamasi merujuk kepada Kepgub di atas juga termasuk adalah proyek perluasan Ancol hingga 20 hektare yang pembangunannya sudah dilakukan. Seluruh proyek tersebut, diketahui sudah diberikan izin prinsip pada 24 Mei 2019.

Sesuai dengan izin yang sudah diterbitkan itu, PT Pembangunan Jaya Ancol selaku perusahaan yang melaksanakan reklamasi, diminta untuk melengkapi kajian teknis sebelum reklamasi dimulai. Kajian itu mencakup analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), penanggulangan banjir, pengambilan material, dan beberapa kajian lainnya.

baca : Janji Reklamasi Gubernur DKI Jakarta

 

Ilustrasi. Proyek pembangunan pada pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta pada Februari 2016. Foto : Andika Wahyu/Antara Foto/Geotimes

 

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, perluasan wilayah Ancol dengan melaksanakan konversi wilayah laut pesisir menjadi daratan, merupakan kegiatan yang diatur dalam UU tersebut.

Nelson Nikodemus Simamora dari LBH Jakarta menjelaskan, merujuk pada UU di atas, maka Pemprov DKI dengan sengaja sudah melanggar ketentuan yang ada di dalamnya dan juga Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Pelanggaran yang dilakukan Pemprov, selain karena tidak menjadikan regulasi hukum yang disebut di atas sebagai dasar hukum saat menimbang penerbitan izin, juga karena Pemprov DKI tidak merujuk pada Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

“Karena kesesuaian dengan Perda RZWP3K merupakan syarat untuk diterbitkan izin pelaksanaan reklamasi,” jelas dia.

Mengingat tidak ada landasan hukum yang kuat, Nelson menyebut kalau izin pelaksanaan reklamasi Ancol patut dicurigai ada pelanggaran pidana tata ruang. Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 73 UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang.

baca juga : Anies Terbitkan IMB: Kemunduran Penyelesaian Persoalan Reklamasi Jakarta?

 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (7/6/2018) melihat Pulau D hasil reklamasi Teluk Jakarta. Foto : Andrey Gromico/tirto.id

 

Pelanggaran

Sanksi yang ada akibat pelanggaran tersebut, adalah penjara maksimal lima tahun dan juga denda maksimal Rp500 juta. Selain itu, ada juga pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.

Pelanggaran ketiga menurut KSTJ, adalah penerbitan izin diduga kuat tidak memenuhi syarat administrasi formal serta substansial terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Adapun, persyaratan yang diatur adalah kajian lingkungan hidup strategis, dan dokumen Amdal.

“Juga, surat kelayakan lingkungan hidup, izin lingkungan, dan rencana induk reklamasi. Semua itu harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan reklamasi,” jelas dia.

Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke Iwan Sarmidi menambahkan, beberapa kewajiban yang harus dipenuhi justru baru diamanatkan dalam Kepgub 237/2020 atau setelah izin prinsip diterbitkan Gubernur DKI pada 2019.

Untuk itu, patut untuk ditindaklanjuti dengan menegakkan hukum pidana atas dugaan ketiadaan izin lingkungan dalam kegiatan penimbunan tanah yang sudah berjalan sejak 2009, sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU 32/2009 tentang Lingkungan Hidup.

Selain perlindungan terhadap lingkungan, masih ada pelanggaran keempat yang muncul dalam proyek reklamasi Ancol. Pelanggaran itu tidak adalah karena reklamasi Ancol adalah bentuk perampasan laut berupa konversi kawasan perairan milik pubik dan diubah menjadi bentuk ruang pesisir yang komersil.

“Itu akan merugikan nelayan tradisional dan merusak lingkungan hidup,” tutur dia.

baca juga : Walhi Desak Anies Cabut IMB di Pulau Reklamasi Jakarta

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Bagi KSTJ sendiri, penerbitan izin reklamasi untuk Ancol menjadi penegas kembali bahwa Gubernur DKI Anies Baswedan sudah melanggar janji kampanyenya untuk membatalkan reklamasi di Teluk Jakarta. Saat berkampanye sebagai calon Gubernur DKI dulu, Anies menolak reklamasi karena itu merugikan nelayan dan merusak lingkungan.

Janji yang kemudian dilanggar itu, menjelaskan bahwa Anies tahu dampak buruk dari reklamasi. Termasuk, hasil penelitian yang menyebutkan dampak buruknya bagi ekosisten Teluk Jakarta dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi 3/2010 karena mengorbankan kepentingan nelayan untuk tujuan komersil di wilayah pesisir.

Agar tidak semakin memburuk kondisi Teluk Jakarta, KSTJ mendesak kepada Pemprov DKI untuk menghentikan reklamasi Ancol dengan mencabut Kepgub 237/2020. Kemudian, meminta kepada Gubernur untuk bisa konsisten melaksanakan seluruh janji politik yang sudah dikampanyekan.

 

Proyek Lanjutan

Terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, proyek reklamasi Ancol merupakan bagian dari proyek reklamasi untuk pembangunan 17 pulau di Teluk Jakarta.

Menurut dia, rencana itu bisa dilihat dari keterkaitan PT Pembangunan Jaya Ancol yang sempat ditunjuk menjadi salah satu perusahaan yang mendapatkan konsesi untuk membangun pulau K. Dengan kata lain, reklamasi Ancol adalah kelanjutan dari pulau K yang menjadi bagian dari pembangunan 17 pulau.

“Bedanya, kalau pulau K itu luasnya 35 hektare. Sementara, reklamasi sekarang itu 32 hektare saja. Ini kecacatan pertama,” ucap dia menyebut proyek reklamasi untuk perluasan taman wisata Dunia Fantasi Ancol.

Secara resmi, Susan menyebut kalau proyek reklamasi di Ancol yang mendapatkan izin melalui Kepgub 237/2020 adalah proyek yang tak memiliki payung hukum, baik itu dari sisi perspektif darat, khususnya dalam penggunaan rencana detail tata ruang (RDTR). Dengan kata lain, reklamasi Ancol tidak ada dalam RDTR DKI Jakarta.

Tak cukup di situ, dia menyebut kalau proyek reklamasi Ancol juga tidak sesuai dengan UU yang sangat detail mengatur ruang pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. UU yang dimaksud adalah UU 27/2007 jo UU 1/2014. Ketidaksesuaian tersebut menjadi bentuk kecatatan berikutnya dari reklamasi Ancol.

 

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Diketahui, pada 24 Februari lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan Kepgub 237/2020. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa PT Pembangunan Jaya Ancol mendapatkan izin untuk melaksanakan reklamasi untuk perluasan kawasan rekreasi Dunia Fantasi (DUFAN) dan Taman Impian Ancol Timur.

Bersamaan dengan pemberian izin tersebut, disebutkan juga sejumlah kajian teknis yang harus dilengkapi untuk mendukung pelaksanaan reklamasi di kawasan rekreasi Ancol tersebut. Kajian tersebut diantaranya adalah penanggulangan banjir yang terintegrasi, dan dampak pemanasan global.

Kemudian, kajian perencanaan pengambilan material perluasan kawasan, perencanaan infrastruktur/prasarana dasar, analisa mengenai dampak lingkungan, dan kajian lain yang diperlukan.

Masih dalam dokumen Kepgub 237/2020, disebutkan bahwa perluasan kawasan Taman Impian Ancol Timur dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Pembangunan Jaya Ancol yang disepakati pada 13 April 2009.

Dalam PKS, disepakati tentang pembuangan lumpur dari hasil pengerukan 13 sungai dan lima waduk pada area perairan Ancol bagian Barat sebelah Timur dengan luas sekitar 120 ha. Lokasi tersebut secara administrasi terletak di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Kota Administrasi Jakarta Utara.

Selain mengatur kesepakatan hasil PKS, Kepgub 237/2020 juga mengatur sejumlah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol, seperti penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang dibutuhkan, mencakup jaringan jalan, angkutan umum, infrastruktur pengendali banjir, dan ruang terbuka hijau (RTH).

Sedangkan Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan izin reklamasi Ancol berbeda dengan reklamasi 17 pulau di utara Jakarta. Jakarta terancam banjir salah satu sebabanya karena ada waduk, sungai yang mengalami pendangkalan atau sedimentasi.

“Lumpur hasil kerukan itu ditaruh di kawasan Ancol, dan telah menghasilkan lumpur yang sangat banyak yaitu 3,4 juta meter kubik yang dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan Ancol. Sehingga kegiatan itu untuk melindungi warga Jakarta dari bencana banjir,” kata Anies dalam rekaman video di akun Youtube Pemprov DKI yang diunggah pada Sabtu (11/7/2020).

“Penambahan lahan itu isitilah teknisnya adalah reklamasi, Tapi beda sebabnya beda, beda maksudnya, beda caranya, beda pemanfaatannya dengan kegiatan yang selama ini kita tentang reklamasi 17 pulau. Dan (yang terjadi di kawasan Ancol) ini bukan bagian dari kegiatan reklamasi 17 pulau itu. Ini adalah bagian dari usaha menyelamatkan Jakarta dari bencana banjir,” kata Anies.

 

Exit mobile version