Mongabay.co.id

Saat Warga Menyoal Pembangunan Bendungan Lau Simeme di Deli Serdang

Hutan dan kebun-kebun warga yang terbelah untuk proyek Bendungan Lau Simeme. Foto: Adinda Zahra Novianty/ Mongabay Indonesia

 

 

Ada aren, mindi, petai, durian, duku, karet, pinang, asam glugur, coklat, kemiri dan banyak lagi. Tamanan- tanaman itu merupakan sumber hidup warga Kecamatan Sibiru-biru, Deli Serdang, Sumatera Utara. Miris, kebun-kebun kelola warga dengan berbagai macam tanaman itu bakal jadi Bendungan Lau Simeme. Hingga kini, masalah ganti rugi lahan dengan warga belum selesai.

Bendungan Lau Simeme, Kecamatan Sibiru-biru, Deli Serdang, sudah mulai pembangunan. Jalan-jalan menuju bendungan mulai terbuka.

Pembangunan bendungan ini masuk proyek strategis nasional dan sudah mulai sejak 2017. Kini, progres pembangunan konstruksi sudah sekitar 11%.

Baca juga: Mulai Bangun Jalan, Proyek Bendungan Lau Simeme Masih Bersengketa Lahan

Niatan pemerintah membangun bendungan berkapasitas tampung 28 juta meter kubik ini bagian dari upaya mendukung pengembangan sektor pertanian dan pemenuhan kebutuhan air baku di Sumut.

Pekerjaan masih fokus pada paket I dan paket II. Paket I adalah pembangunan jalan masuk sepanjang 2,9 kilometer dan jalan dari bendungan ke penggalian (quarry) sepanjang 18 kilometer.

Pekerjaan paket II meliputi pembangunan jalan relokasi sepanjang 800 meter, terowongan pengelak 700 meter, serta pekerjaan spillway—struktur di bendungan untuk kendalikan pelepasan air dari tanggul ke hilir— dan bangunan fasilitas. Panjang terowongan dibangun 700 meter terdiri dari tiga saluran dengan sistem pressure flow dan sudah 400 meter, tinggal 280 meter.

Basuki Hadimulyono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mengatakan,  kehadiran bendungan berpotensi memberikan manfaat bagi penyediaan air baku PDAM Tirtanadi, Sumut sebesar 3.000 liter perdetik.

Waduk itu, akan memberikan sumber irigasi bagi lahan pertanian di Bandar Sidoras seluas 3.082 hektar dan daerah irigasi Lantasan seluas 185 hektar.

Dia bilang, ada lima desa terdampak, yaitu, Desa Mardinding Julu, Penen, Rumah Gerat, Sipiria-ria, dan Kuala Dekah dengan 250 keluarga berada dalam wilayah proyek bendungan.

Data pemerintah, wilayah pembangunan bendungan merupakan kawasan hutan atau hutan produksi, tetapi warga sudah tinggal di sana sejak lama.

 

Pembukaan jalan untuk Bendungan Lau Simeme, Deli Serdang. Foto: Adinda Zahra Novianty/ Mongabay Indonesia

 

Binsar Sitanggang, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang mengatakan, pemerintah kabupaten berupaya memfasilitasi pertemuan antar warga dengan Balai Wilayah Sungai di bawah koordinasi KPUPR.

Marwansyah, Kepala Satuan Kerja Pembangunan Bendungan Balai Wilayah Sungai Sumatera II mengatakan, pekerjaan jalan masuk sudah 80%. Untuk terowongan dari 700 meter, penggalian baru 320 meter.

Detail peruntukan lahan meliputi tubuh bendungan memakan 16,48 hektar, wadah genangan 116,82 hektar, area vegetasi 175,83 hektar, borrow area (areal pendukung) 69,94 hektar, jalan masuk 6,7 hektar, dan relokasi pemukiman seluas 11,10 hektar.

Menurut dia, pembangunan bendungan perlu lahan seluas 420 hektar. Ada lima desa di atas lahan. Dia bilang, lahan itu sudah dikelola masyarakat sejak zaman Belanda.

“Progres bendungan masih 7,5% dari keseluruhan proyek. Pembebasan lahan faktor penghambat proyek. Tapi itu kawasan hutan produksi yang notabene milik negara.”

Secara geografis, lokasi bendungan atau area reservoar Bendungan Lau Simeme ada sekitar sembilan desa dilintasi yaitu Desa Rumah Gerat, Sarilaba, Sarilaba Julu, Sarilaba Jahe, Kualadekah, Buluh Gading, Sarilaba Trumbuh, Pertumbukan dan Desa Kualasabah.

Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Sumatera Utara (Bakumsu) menyebutkan, masyarakat resah dengan pembangunan bendungan ini. Penyelesaian sengketa lahan belum jelas, namun proyek sudah berjalan.

Bakumsu menilai, pembangunan bendungan sudah ada sejak 1991-1992. Mereka menyatakan itu setelah verifikasi lapangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung. Pada 2003-2004, ada tim penelitian untuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari Universitas Sumatera Utara.

 

Hutan dan kebun warga yang sudah terbuka untuk bangun Bendungan Lau Simeme. Foto: Foto: Adinda Zahra Novianty/ Mongabay Indonesia

 

Tempat hidup terancam, ganti rugi tak jelas

Budi Tarigan, warga Dusun V Pertumbukan Desa Kuala Dekah merasa dirugikan proyek bendungan. Tanaman pertanian mereka malah jadi waduk. Tawaran ganti rugi dari penyedia jasa proyek tak masuk akal, misal, saja pohon duku lebih murah ketimbang pohon pinang karena dianggap tanaman hutan. Padahal, katanya, duku tumbuh di ladang mereka itu hasil pembibitan sejak lama.

Dia bilang, pemerintah mengklaim itu hutan produksi. Warga, katanya, sudah menempati lahan sejak lama, bahkan sejak era Belanda. Ia diperkuat peta milik Belanda, Tabaksondernemingen Op De Oostkust (perusahaan tembakau di pantai Timur Sumatera). Peta ini membagi empat wilayah utama pantai Timur Sumatera yaitu Langkat, Deli, Serdang, Padang, dan Batoe Bahara.

Dulu, katanya, Kesultanan Deli memberikan pinjam pakai lahan. Sebagai bukti, Belanda mendirikan anak perusahaan tembakau Senembah Maatsschappi di lahan sekitar bendungan.

“Lahan itu warisan dari orangtua kami. Saya punya bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Kami gak tahu kenapa bisa jadi hutan produksi, ” katanya.

Pada Maret 2019, para pihak rapat dengar pendapat di Komisi A DPRD Sumut antara perwakilan masyarakat terdampak dengan pemerintah setempat dan pelaksana proyek. Aparatur kecamatan setempat hadir yaitu, Kecamatan Biru-biru, STM Hilir, STM Hulu dan Kecamatan Sibolangit. Perwakilan Pemerintah Deli Serdang dari Balai Wilayah Sungai Sumatera II.

Pada rapat itu, warga merasa mendapat sedikit angin segar. Jamilah, anggota Komisi A DPRD Sumut mengunjungi lokasi dan mendapati hutan produksi yang diklaim negara adalah pemukiman, ladang, bahkan kantor pemerintahan desa. Hasilnya pemerintah yakni camat, Dinas Kehutanan Sumut dan BPN menyanggupi untuk mengeluarkan lahan dari hutan produksi dan memberi ganti rugi kepada masyarakat.

Abraham, Pendeta Gereja Batak Karo Protestan Pertumbuken, juga ikut mendampingi warga. Dia mengatakan janji yang disampaikan Jamilah sewaktu menduduki kusi DPRD belum ada kejelasan. Kini periodenya sudah berganti.

Pendeta yang juga tinggal di desa itu mendampingi masyarakat dalam menuntuk hak ganti rugi bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat.

Selama ini, dia menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat dengan LSM pendamping seperti Bakumsu (Bantuan Hukum dan Advokasi HAM Sumatera Utara) dan Walhi Sumut.

“Orang gereja sangat awam soal masalah hukum, kami hanya jadi jembatan bagi masyarakat dengan lembaga yang lebih paham,” katanya.

Dia bilang, perjuangan menuntut hak sudah mengerucut pada masyarakat Desa Kuala Dekah. Empat desa terdampak lain, yaitu Mardinding Julu, Rumah Gerat, Penen, dan Piria-ria, mulai menerima konpensasi. Warga Kuala Dekah belum mendapatkan ganti rugi.

Pada April 2020, mereka membentuk satu perkumpulan yaitu Kuala Dekah Bersatu. Kuala Dekah Bersatu, perlu kejelasan dari pemerintah karena selama ini tidak pernah ada sosialisasi soal peta bendungan, analisis mengenai dampak lingkungan, konsep pembebasan lahan maupun proses ganti rugi.

Warga, katanya, menginginkan keterbukaan informasi dari pemerintahan desa, pemerintah pusat maupun pelaksana proyek.

“Sosialisasi yang baik dan pembebasan lahan harus dilakukan dengan adil.”

Dia bilang, tentu warga resah atas pembangunan bendungan karena selama ini mereka memanfatkan lahan untuk menopang kehidupan.

Untuk itu, katanya, sebaiknya pemerintah memperhatikan dan mengawasi proses ganti rugi terhadap masyarakat. Misal, tanaman duku milik masyarakat di Kuala Dekah, bisa memberikan penghasilan paling sedikit Rp200 jutaan setiap panen, setahun sekali.

“Ladang saya ada sekitar satu hektar, tanaman duku tetangga pernah mencapai satu miliar,” kata Darma Sembiring, warga terdampak.

Menurut warga Desa Gerat, lahan itu mereka tempati turun menurun, Di sana, ada peninggalan sejak masa kolonial Belanda.

 

Desa yang bakal dilewati proyek Bendungan lau Simeme. Foto: Adinda Zahra Novianty/ Mongabay Indonesia

 

Bagi masyarakat Desa Kuala Dekah, lokasi bendungan itu tempat sakral. Dulu, tinggal masyarakat adat Pamena yang jadikan area itu pemujaan atau tempat doa bagi leluhur.

Petrus Sembiring, Ketua Serikat Tani Maju Bersama menceritakan, ada bukti seperti pepohonan tua sebagai bentuk keberadaan leluhur mereka. Pohon durian lembo dan pohon yang berukuran sekitar tiga pelukan orang dewasa masih ada hingga sekarang. Pohon-pohon itu bukti, warga sudah ada d sana sejak lama.

Cerita di masyarakat, dulu ada pos siaga untuk mengintai dan memberitahukan kedatangan musuh era kolonial Belanda. Warga sudah tinggal di sana dan ikut berjuang mempertahankan wilayah dari Belanda.

“Itu bukti sejarah kontribusi masyarakat setempat pada masa perang melawan Belanda. Desa Sari Laba Jahe, masih ada jejak sejarah lain seperti pilar bekas bangunan Belanda. Ada juga bekas tempat pemandian putri Belanda,” katanya.

Kalau proyek bendungan ini lanjut, tentu semua peninggalan di daerah itu akan tenggelam. Padahal, ia bernilai penting bagi mereka dan bisa bermanfaat sebagai obyek wisata.

Sebelum ada bendungan, masyarakat mengelola lahan secara mandiri dengan bercocok tanam dengan beragam tanaman. Satu keluarga minimal mengelola satu hektar. Mereka tanam aren, durian, duku sampai nenas.

Sejak ada pembabatan lahan untuk pembangunan jalan menuju bendungan, kini lahan warga menyusut. Dulu, merupakan tanaman primadona masyarakat karena mampu memberikan penghasilan hingga ratusan juta rupiah per tahun.

Sembiring bilang, bukan mau menghalangi pembangunan Bendungan Lau Simeme. Mereka hanya memastikan tanggung jawab negara dalam memenuhi kesejahteraan warga setelah pembebasan lahan.

“Kalau saja ganti rugi sesuai, kami tak jadi masalah. Jangan sampai kami sengsara karena proyek itu.”

Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai Sumatera II SNVT Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Sumatera II Provinsi Sumatera Utara, Sungai dan Pantai II sosialiasi pemasangan patok kepada warga terdampak. Sosialiasi di Kantor Kepala Desa Kwala Dekah, Kecamatan Sibiru-biru, Deli Serdang pada 19 Oktober 2013 dan ditandatangani Pengawas Jenjang IV, Sahala Sidabutar.

Sesuai Surat Camat Sibiru-biru No.005/359, tertanggal Juni 2015, mengundang warga beserta kepala dusun masing-masing di Aula Kantor Camat Sibiru-biru.

“Kami diundang untuk sosialiasi, belum bicara ganti rugi. Surat ditandantangani Bebas Sembiring, Pj. Kepala Desa Kuala Dekah Kecamatan Sibiru-biru,” kata Nampati Sembiring, warga setempat.

Ada juga warga yang menandatangani semacam surat kesepakatan, seperti Prita Budi Ginting. Pada Januari 2018, dia pernah menandatangani surat, bahwa sebagai pengelola lahan menyepakati dan tak keberatan lahan masuk proyek yang akan dikerjakan Wika Bumi Karsa dan PP-Andesmont.

Keterangan dari surat itu telah menyepakati tiga hal. Pertama, pengelola lahan memberikan persetujuan dan menyatakan tidak keberatan lahan dikelola atau digunakan untuk pekerjaan Bendungan Lau Simeme.

Kedua, pengelola lahan berhak mengambil dan memanfaatkan benda-benda di atas lahan, termasuk tanaman sebelum mulai pekerjaan proyek. Apabila barang lahan tidak dimanfaatkan oleh pengelola lahan, setelah peninjauan bersama, pelaksana proyek bisa memanfaatkan atau membuang barang tanpa menuntut ganti rugi.

Ketiga, pengelola lahan menjamin tidak akan menuntut, gugatan atau upaya hukum apapun kepada dalam pelaksanaan pekerjaan. Surat itu ditandatangani Kepala Desa Sari Laba dan Camat Sibiru-biru sebagai saksi.

Nampati bilang, seluruh kepala desa wilayah terdampak pernah rapat di Jambur Lau Sigembura, Sibiru-biru. Hasilnya, masyarakat sepakat ada proyek pembangunan bendungan setelah semua lahan kelola mendapat ganti rugi.

“Sampai saat ini belum terealisasi dan alasan mereka ini adalah hutan produksi, milik negara, ”kata Nampati.

Pada Februari 2018, masyarakat memberi tanggapan atas sosialiasi mau mulai konstruksi di lahan mereka. Rapat dihadiri Kepala SNVT Pembangunan Bendungan BWS Sumatera Utara II, Marwansyah dan Anthoni Siahaan selaku PPK Bendungan.

Hasil pembahasan di Jambur Lau Sigera itu mendapatkan delapan poin kesepakatan. Intinya, masyarakat pada prinsipnya tidak menolak pembangunan bendungan dan meminta pemerintah mengganti obyek tanah di lahan warga, baik fisik maupun tanaman.

Masyarakat juga meminta ada keterbukaan informasi mengenai anggaran untuk pembebasan lahan sesuai UU Nomor 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi. Kalau penetapan hutan produksi merugikan, masyarakat akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut Berita Acara Rapat Pembangunan Bendungan Lau Simeme tertanggal 4 Maret 2019, hanya beberapa warga pemilik lahan yang hadir. Pejabat kecamatan yang hadir dan menandatangani adalah Binsar TH Sitanggang, Kabag Pemerintahan & Otonomi Daerah Deli Serdang, Iptu Aidil Ginting selaku Wakapolsek Sibiru-biru, Anthoni S Siahaan selaku PPK Bendungan Lau Simeme. Juga hadir, Wahyu Rismiana selaku Camat Sibiru-biru, dan Masa Barus, Kasi Trantip Sibiru-biru.

Agenda rapat membahas pekerjaan pembangunan Bendungan Lau Simeme sudah berjalan setahun lebih tetapi masih terkendala masalah lahan. Warga mempertanyakan kapan menerima pembayaran tegakan. Hasil pertemuan, ada tiga hal disepakati bersama, pertama, masyarakat mendukung dan menyetujui proyek pembangunan Bendungan Lau Simeme.

Kedua, masyarakat meminta kepada pemerintah pembayaran ‘ganti untung’ tegakan sesuai UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Sesuai keputusan rapat, proses pembayaran ‘ganti untung’ pada Proyek Pembangunan Bendungan Lau Simeme disepakati bersama selambat-lambatnya 30 November 2019. Kalau tidak, proyek akan mereka setop.

Ketiga, sejak ditandatangani berita acara 4 Maret 2019 pihak kontraktor dapat melaksanakan pekerjaan tanpa ada hambatan dari pemilik lahan.

Darma mengatakan, lahan di sekitar bendungan Lau Simeme tumbuh berbagai jenis tanaman seperti aren, coklat, pete, durian, jengkol, bambu, dan pisang. Budaya menanam secara tumpang sari diturunkan oleh orangtua mereka. Tanaman produksi itu telah menyelamatkan dan memberi penghidupan bagi keluarga.

Satu contoh ringkasan penilaian properti milik warga Desa Penen, Penungkunen Barus. Dia memiliki tanaman di atas lahan proyek, 130 karet, 80 pinang, 83 duku, 40 petai, tiga asam glugur, 32 durian, 74 coklat, tujuh pohon kemiri, tiga aren, lima mindi, 115 asam rias, dan 60 pisang. Dari jumlah itu, ganti rugi Rp14 juta.

“Karena tak masuk akal. Penungkunen menolak ganti rugi,” kata Darma.

Hingga kini, proses ganti rugi lahan warga belum ada kejelasan.

 

 

Keterangan foto utama: Hutan dan kebun-kebun warga yang terbelah untuk proyek Bendungan Lau Simeme. Foto: Adinda Zahra Novianty/ Mongabay Indonesia

Pengerjaan proyek Bendungan lau Simeme. Foto: Adinda Zahra Novianty/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version