Mongabay.co.id

Ketika Susi Pudjiastuti Ikut Bahas Polemik Ekspor Benih Lobster

 

Terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan masih menjadi topik hangat. Untuk itu Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU) menggelar diskusi online bertema “Telaah Kebijakan Ekspor Benih Lobster” pada Kamis (23/7/2020)

Pembicara dalam diskusi itu terdiri dari Pengurus PBNU, praktisi, perwakilan pemerintah, peneliti, aktivis hingga Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019.

Dalam kesempatan itu, Susi Pudjiastuti menyatakan, larangan ekspor benih lobster ketika dia menjabat Menteri KKP, dilandasi pertimbangan belum adanya teknologi untuk budidaya lobster, serta keberlanjutan sumberdaya. Sehingga, pembatasan penangkapan lobster dipercaya dapat menjaga ketersediaan sumberdaya ini di wilayah perairan Indonesia.

Menurutnya, nelayan boleh mengambil ukuran tertentu tapi membiarkan benih untuk tumbuh dan bertambah banyak. Dengan kata lain, tanpa mengambil benih lobster, masyarakat tetap bisa mendapat untung hingga jutaan rupiah.

“Ada banyak di laut, ribuan lobster. Bukan hanya bibit, kan ada ‘emaknya’, ada ‘bapaknya’. Itulah yang harusnya diambil. Anaknya biar tumbuh, supaya menjaga keberlanjutan. Paling tidak, ada yang tersisakan di alam untuk meneruskan keberlanjutan spesies,” terang Susi.

baca : Ada Indikasi Pelanggaran Hukum dalam Kegiatan Ekspor Benih Lobster

 

Ilustrasi. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melepasliarkan benih lobster sebanyak 174.000 ekor hasil sitaan dari Lampung, di Perairan Pulau Nusa Penida dan Kawasan Nusa Dua, Bali, pada Sabtu (13/7/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Persoalan lain, ekspor benih lobster (BL) dipandang hanya menempatkan nelayan sebagai buruh, karena keuntungan yang didapat kecil. Contohnya BL jenis mutiara dan hijau pasir, yang memang menjadi produk incaran Vietnam.

Di masa kepemimpinannya, kata Susi, harga lobster berkisar Rp.30-60ribu dari nelayan. Sekarang hanya Rp.7-15ribu. Namun, lobster hasil pembesaran di negara tujuan ekspor dijual dengan harga yang jauh lebih mahal.

Baginya, makna keberlanjutan sumberdaya berbanding lurus dengan kesejahteraan lintas generasi, sehingga Negara harus melindunginya. Apalagi nelayan dapat memanfaatkan sumber daya perikanan seperti ikan dan udang dengan berkelanjutan.

“Saya percaya, udang dan ikan inilah renewable resources, bukan tambang, bukan minyak yang kalau diambil lama-lama habis. Kita hanya perlu jaga dan mencintai laut, Tuhan akan merawat untuk kita semua.”

“Saya tidak punya wewenang, tapi saya punya suara dan akal sehat. Semampu saya, saya akan bicara, hal ini (ekspor benih lobster) tidak benar. Kelola sumberdaya untuk kesejahteraan yang sebesar-besarnya untuk masyarakat,” tegas Susi.

baca juga : Edhy Prabowo: Kebijakan Ekspor Benih Lobster Sudah Benar

 

Ilustrasi. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melihat barang bukti penyelundupan benih lobster yang berhasil digagalkan di Bandara Soekarno-Hatta pada Kamis (22/2/2018). Foto : BKIPM KKP/Mongabay Indonesia

 

 

Kesenjangan Ekonomi

Ekspor benih lobster dikhawatirkan menimbulkan kesenjangan pendapatan antara nelayan penangkap dan pengusaha eksportir. Apalagi, pendapatan negara dari ekspor benih bening lobster terbilang minim.

Seperti dikatakan Susan Herawati, Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Dia khawatir, penerapan sistem plasma akan memposisikan nelayan sebatas buruh yang menjual benih tangkapan pada perusahaan.

“Nelayan tetap jadi subordinat. Lobsternya dibeli, kemudian dimasukkan dalam keramba milik perusahaan. Ini adalah pola, kalau tidak ada sistem dan monitoring yang benar akan kecolongan. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) harus berdiri dan berposisi sebagai pemegang mandat atas dasar kedaulatan dan kesejahteraan,” ujarnya.

Susan menilai seharusnya KKP memperkuat koperasi nelayan untuk menunjukkan kedaulatan bangsa di mata dunia. Sesuai mandat UU No.7/2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, bisa dilakukan dengan mendukung budidaya.

Apalagi belum genap setahun, dia menemukan fenomena perusahaan yang sudah melakukan ekspor tanpa mempertimbangkan mandat pasal 5 Permen 12 tahun 2020, yaitu terlebih dahulu melakukan satu hingga tiga kali siklus budidaya lobster sebelum mendapat izin.

Sementara, satu siklus disebut memerlukan waktu minimal 8 bulan. Sehingga, perusahaan baru bisa melakukan ekspor satu atau dua tahun kedepan.

“Menariknya dari 31 perusahaan yang menerima izin, 25%-nya itu perusahaan baru. Berarti perusahaan itu belum teruji pernah melakukan budidaya. Beberapa waktu lalu Ombudsman juga sudah menyebutkan beberapa potensi kecurangan yang kemungkinan bisa hadir dalam mekanisme ekspor benih lobster. Tapi, Permen dikeluarkan tanpa mempertimbangkan banyak aspek,” tambah Susan.

baca juga : Menyelamatkan Benih Lobster dari Eksploitasi Eksportir

 

Aksi yang dilakukan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Senin (13/7/2020). Dalam aksi tersebut KIARA mengkritisi kebijakan Menteri Edhy Prabowo seperti perubahan peraturan yang mengizinkan ekspor benih lobster dan diizinkan kembali penggunaan alat tangkap merusak, seperti cantrang, di perairan Indonesia. Foto : KIARA

 

Sedangkan Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim dan Kemanusiaan menduga adanya praktik monopoli dan oligopoli dalam ekspor benih lobster. Penilaian itu beranjak dari temuan bahwa, benih di tingkat nelayan harganya Rp.3.000 hingga Rp.4.500, di tingkat penampung bisa 5 hingga 6 kali dari nelayan penangkap. Angka itu semakin membentang jauh jika telah masuk ke industri Vietnam.

Sementara, pemasukan negara dari ekspor benih lobster terbilang kecil. Dicontohkan, pada 12 Juli lalu, PT. ASSR yang melakukan ekspor sebanyak 37.500benih lobster, hanya berkontribusi Rp.9.375. Kemudian, PT. TAM yang mengekspor 60.000 ekor benih lobster, nilai PNBP-nya sebesar Rp.15.000.

“Karena, jasa pemeriksaan kesehatan dan seterusnya, per 1000 ekor dihargai Rp.250. Apakah ini yang kita mau dengan maksud meningkatkan devisa negara?” tanya Halim.

Dia juga memperingatkan, Vietnam merupakan salah satu negara yang pernah mendapat peringatan Uni Eropa atas keterlibatan mereka dalam IUU Fishing, Oktober 2017 silam. Apalagi, belum lama ini, mereka kedepatan melakukan penjarahan ikan di laut Natuna bagian utara.

“Dalam konteks itu, yang perlu kita lakukan adalah menghadirkan tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab. Tidak hanya ekspor, produksi atau PNBP,” paparnya.

perlu dibaca : Benih Lobster Dieksploitasi, Berbahayakah Secara Ekologi?

 

Nelayan menunjukkan lobster jenis mutiara hasil tangkapannya di perairan Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tidak Mengancam Kepunahan

Sedangkan Bayu Priyambodo, peneliti lobster yang ikut diskusi tersebut mengatakanpenggunaan alat tangkap sederhana tidak mungkin membuat populasi lobster punah. Malahan, terbitnya Permen KP No.12/2020 bakal meningkatkan populasi lobster di perairan Indonesia.

Budi mengatakan lobster dalam daftar IUCN lobster dikategorikan risiko rendah (LC). Perdagangannya juga tidak masuk Apendix. Malahan ibu-ibu pembuat alat tangkap bisa mendapat tambahan sebesar Rp.150ribu.

“Jadi tidak betul kalau ada yang bilang terancam atau memutus mata rantai. Bahwa di situ ada pengaturan, pengelolaan, wajib. Sehingga, tidak menyangsikan spesies lobster diperdagangkan puluhan ribu tiap tahun,” jelasnya.

Meski dalam pemanfaatan yang minim, katanya, populasi lobster yang bertahan hingga dewasa di alam sangat sedikit, sekitar 0,01%. Artinya dari 10 ribu lobster yang lahir hanya 1 yang bisa bertahan hidup.

Bayu menjelaskan sisi positif dari ekspor benih lobster ini justru akan mendukung kelestarian populasi lobster. Sebab, dalam Permen No.12/2020 diatur bahwa tiap puerulus (lobster yang belum berpigmen) yang diambil, 2 persennya dikembalikan ke alam.

“Di Permen mengatakan 2%. Jadi tiap 10.000 puerulus yang kita ‘pinjam’, dikembalikan 200 ekor. Tapi dikembalikannya bukan masih bayi, nanti sudah berbobot 50 gram. Jadi justru membantu (menjaga populasi lobster di) alam,” katanya.

Bayu menerangkan, dalam budidaya lobster, yang diperlukan adalah edukasi kemampuan teknis pada nelayan misalnya, serta penyediaan pangan. Dalam artian, mustahil memproduksi 1000 ton lobster tanpa memperhitungkan kebutuhan pakannya.

Karena itu, dia mengajak berbagai pihak untuk bersama-sama fokus pada hal-hal yang lebih produktif, dan menyudahi debat berkepanjangan. “Peraturan ini memang harus dikawal untuk implementasi yang konsisten untuk mencapai pemanfaatan yang berkeadilan, bukan penyelundupan yang berkelanjutan,” tegasnya.

baca juga : Menjaga Prinsip Keberlanjutan dalam Pemanfaatan Lobster

 

Ilustrasi. Sebanyak 202 ribu lobster sitaan polisi dari Pekanbaru, Riau, pada Agustus 2018. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Sementara, Tebe Ardi Yanuar, Staf Khusus Menteri KKP bidang Komunikasi Publik, menyangkal tuduhan bahwa Permen No.12/2020 merupakan kebijakan yang tidak berpihak pada nelayan. Menurutnya, Permen ini justru lahir dari keluhan nelayan yang meminta pencabutan larangan menangkap benih lobster.

Sejak menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, ujar Tebe, Presiden menugaskan Edhy Prabowo untuk membuka komunikasi seluas-luasnya dengan publik. Selain itu, Permen No.12/2020 disebut menitikberatkan pada nilai untuk nelayan, keuntungan untuk negara dan menjaga kelestarian lobster.

“Permen ini justru lahir dari keluhan nelayan, bukan pengusaha. Karena banyak yang bergantung pada benih bening lobster. Dengan dibukanya Permen No.12/2020 ini, semua pihak mendapat keuntungan. Nelayan penangkap benih, pembudidaya, eksportir, nelayan juga mendapat pemasukan,” terangnya.

Tebe juga mengklarifikasi tudingan mengenai perusahaan yang telah melakukan ekspor, padahal Permen belum setahun diterbikan. Sebab, Permen No.12/2020, mewajibkan perusahaan eksportir untuk melakukan budidaya lobster terlebih dahulu, sebelum mendapat izin Menteri. Menurutnya, beberapa perusahaan memang telah melakukan ekspor benih lobster sejak lama.

“Ternyata beberapa pengusaha sudah ada yang melakukan ekspor sejak lama. Ilegal menurut Permen lama, tapi legal bagi Permen kita. Karena sejak menjabat menteri KKP, pak Edhy memberi maklumat untuk tidak ada penangkapan pada nelayan yang membudidaya lobster,” terangnya.

Terkait sedikitnya PNBP dari ekspor benih lobster, dia membenarkan bahwa dalam Peraturan Pemerintah No.75/2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku bagi KKP, ekspor lobster per 1000 ekor benihnya dihargai Rp.250. Namun, saat ini, pihaknya tengah melakukan harmonisasi PP baru dan membuka bank garansi.

“Jadi ekspor lobster ini sudah menggunakan aturan baru, tapi karena PP-nya belum ada kita menggunakan bank garansi. Sekarang pemasukan untuk negara sudah Rp.4miliar lebih. Kalau dalam PP sebelumnya, per 1000 ekor Rp.250, sekarang pajak PNBP per ekor, minimal di angka 1000. Kita bisa awasi sama-sama,” katanya.

“KKP juga sudah bertemu Ombudsman RI dan clear, ombudsman mendukung Permen KKP. KKP sangat terbuka, karena isu lobster ini banyak yang tidak teredukasi dan sepotong-potong. Jangan-jangan sebagian kekhawatiran tidak terbukti,” tambah Tebe.

menarik dibaca : Ini Respon Pedagang Lobster di Lamongan Tentang Aturan Ekspor Benih Lobster

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memegang Lobster hasil budi daya di hatchery milik Institut Studi Kelautan dan Antartika (IMAS) dari Universitas Tasmania, Australia Australia. IMAS telah mengembangkan budi daya lobster sejak tahun 1980. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Dua Perspektif Berbeda

Bagi Pengurus PBNU, polemik ekspor benih lobster merupakan konsekuensi dari bertemunya dua perspektif yang berbeda. Satu perspektif menekankan ekologi, satu lagi kesejahteraan masyarakat. Menurut mereka, perbedaan sudut pandang ini perlu dicarikan solusi.

Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU menerangkan, pihaknya tidak ingin terjebak dalam polemik dua sudut pandang itu. Namun mendorong masyarakat untuk membuat rekomendasi yang menyempurnakan dua perspektif.

“Dua-duanya bisa benar, memiliki alasan logis, mungkin ada titik kelemahannya. Kewajiban kita membuat rekomendasi yang menyempurnakan kekurangan keduabelah pihak. Dan kita perlu mendukung hal positif dari peraturan menteri yang dulu dan sekarang,” terangnya.

Meski demikian, dia menekankan, poin penting dari kebijakan pemerintah adalah memangkas ketimpangan sosial, dan tidak menguntungkan segelintir pihak saja. Ahmad juga menambahkan, penting bagi pihaknya mengusulkan pesan-pesan diskusi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.

“Tidak boleh yang miskin, terutama nelayan, tidak disejahterakan. PBNU dalam hal ini melalui LBM, perlu mengusulkan segala hal terkait kebijakan KKP, berdasarkan data-data yang akurat sebagaimana yang tadi sudah disampaikan,” ujarnya dalam diskusi itu.

Imam Aziz, Ketua PBNU menambahkan, pentingnya memikirkan upaya-upaya konkrit, terutama dalam edukasi dan pendampingan nelayan, juga pengembangan fasilitas budidaya lobster. Setelah itu, disusul kebijakan yang lebih konkrit agar tidak terjadi hubungan plasma inti yang seringkali dipandang tidak memiliki asas keadilan.

“Mungkin sekarang ada sisi manfaatnya, tidak bisa kita pungkiri, tapi ada sesuatu yang perlu kita pikirkan lebih serius lagi, dengan cara memberi perhatian lebih serius pada riset, pendampingan nelayan maupun fasilitas-fasilitas untuk membesarkan lobster. Sehingga nilai tambahnya dapat dirasakan baik oleh nelayan, juga oleh negara,” pungkas Imam Aziz.

 

Exit mobile version