Mongabay.co.id

Bagi-bagi Daging Kurban Bebas Plastik dengan Pakai Besek

Setelah hewan kurban dibersihkan dan dipilah antara daging, tulang dan kulit, baru daging dikemas pakai besek, untuk dibagikan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hari Raya Idul Adha, tiba. Berarti akan ada hewan kurban dan bagi-bagi daging. Bakal banyak penggunaan kantong plastik sekali pakai untuk bungkus. Bagaimana mengurangi penggunaan kantong plastik untuk wadah daging kurban? Besek, antara lain wadah pilihan untuk menghindari penggunaan kantong plastik sekali pakai.

“Jika satu mesjid menyembelih lima sapi dan lima kambing, 875 wadah kantong plastik. Bayangkan, berapa kebutuhan plastik satu kota?”

Kalimat ini jadi pembuka dalam kampanye #patunganbesek dalam upaya mengurangi sampah plastik saat Idul Adha. Kampanye ini konsisten berlangsung selama dua tahun oleh Studio Dapur dan Pahlawan Bencana Yayasan Sadagori Indonesia.

Tahun ini, mereka memperluas jaringan dengan menggandeng Komunitas Ranah Bhumi (Yogyakarta) dan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Harapannya, kampanye ini bisa berdampak luas pada tingkat nasional.

Melalui kampanye #patunganbesek, mereka menargetkan kumpulkan dana Rp35 juta untuk menyediakan besek sebagai wadah pengganti kantong plastik daging kurban yang lebih ramah lingkungan dan bermanfaat bagi penerima kurban.

“Jika diasumsikan dalam satu kota terdapat 500 mesjid, berati bisa berjuta-juta plastik digunakan dan dibuang dalam satu hari,” kata Mega Pitriani Puspita, pendiri Studio Dapur.

Awalnya, permintaan bermula di satu mesjid di Tebet, Jakarta. Mereka meminta bantuan kepada Studio Dapur untuk membantu penyediaan besek sebagai pilihan tak pakai kantong kresek.

Karena permintaan ini melebihi kemampuan mereka, Studio Dapur pun berinisiatif menggalang dana dengan target Rp4 juta. Tak disangka antusiasme tinggi hingga terkumpul Rp38 juta tahun lalu.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019, kurban saat Idul Adha mencapai 1,560 juta terdiri 460.000 sapi atau kerbau dan 1, 1 juta kambing atau domba.

Data satu sapi menghasilkan 350 paket daging kurban. Sedang, kambing atau domba 50 paket daging . Untuk membungkus perlu satu kantong kresek untuk wadah sekitar 216 juta lembar sehari atau dua hari saja. Kalau satu lapis, ada juga dua lapis.

“Bayangkan jika dua lapis itu bisa mencapai setengah miliar lembar dalam satu hari. Saya yakin itu akan langsung jadi sampah karena kotor,” kata Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah, Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sejak 2015, KLHK terus kampanye “Rayakan Idul Adha Tanpa Kantong Plastik” guna mengurangi sampah plastik.

Kampanye ini, melalui surat edaran kepada pemerintah kabupaten/wali kota dan provinsi. Adapun pilihan pembungkus makanan lebih alami, seperti besek bambu, besek daun pandan, daun kelapa, jati dan daun pisang.

Sejak 2009, BPOM melarang penggunaan kantong plastik kresek berwana hitam untuk wadah makanan. Pasalnya, kantong plastik berwarna hitam berasal dari proses daur ulang yang tidak diketahui asal usul yang mungkin bisa beracun. Bisa dari pestisida, limbah rumah sakit, kotoran hewan atau manusia, sapai limbah logam berat.

 

Besek, sebagai pembungkus daging kurban, menggantikan plastik kresek. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Rahmawati, Kepala Seksi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Jakarta menyebutkan, tahun lalu penyembelihan 60.000 hewan kurban, dengan kambing 41.720 dan 18.280 sapi. Dia perkirakan, dari sapi akan ada 2.741.927 kantong plastik , dan kambing dan 1.043.012 lembar.

“Kita coba menimbang. Dengan berat kantong plastik yang biasa, 12,76 gram. Perkiraan potensi timbulan 48 ton bisa dikurangi jika plastik diganti wadah yang ramah lingkungan atau membawa sendiri wadah.”

Mega mengatakan, tahun ini kampanye #patunganbesek akan menambah satu wilayah produksi besek dan penyebaran, yakni Kota Yogyakarta. Sebelumnya, penyebaran di Bandung, Jakarta, dan Tasikmalaya berasal dari produksi Tasikmalaya.

Dia bilang, tak semua mesjid terbuka memilih besek jadi wadah pilihan pembungkus daging. Alasannya, tidak seperti kantong kresek lebih cepat, efisien dan mudah dalam mengemas.

Bagi Mega, langkah ini bisa jadi pemantik bagi setiap daerah untuk mampu mengeksplorasi kekhasan dari tiap daerah dalam membungkus makanan dari kearifan lokal.

“Kalau dari sisi ekonomi, ini sangat bisa membantu masyarakat desa dan peningkatan ekonomi desa. Dengan ada kegiatan ekonomi di desa pun bisa mengurangi urbanisasi dan lingkungan lebih lestari.”

Harapannya, ada perubahan pola pikir dan tindakan nyata bagi para penerima daging kurban yang tahun ini mendapatkan besek, tahun depan bisa membeli sendiri. Kalau saat ini pendekatan baru pada panitia kurban, ke depan melalui penjual sapi atau kambing dengan membuat paket sekaligus bersama dengan wadah ramah lingkungan.

Tak hanya berhenti pada pembagian daging kurban besek, mereka pun edukasi baik lisan (kotbah di mesjid) maupun non lisan untuk memberikan informasi alasan pakai besek.

 

Para peserta dari Jepang memperhatikan wadah makan terbuat dari anyaman bambu (besek). Jepang mulai mencontoh praktik yang dilakukan Singgih, memanfaatkan sumber-sumber alami dan lokal seperti sepeda bambu maupun produk kerajinan dari bambu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Nilai budaya, ekonomi dan lingkungan

Di balik bentuk yang sederhana, besek menyimpan banyak tradisi dan cerita. Karya budaya dari masa pra-modern Indonesia, besek jadi wadah yang menyimpan budaya ‘hantaran’ atau mengantarkan makanan kepada tetangga atau kerabat.

Nissa Wargadipura, pendiri pesantren ekologi Ath Thaariq, Garut mengatakan, besek bambu lahir dari budaya hantaran masyarakat Sunda yang terbiasa membagikan pangan mereka saat merayakan atau hendak syukuran. Isinya, adalah nasi, lauk pauk dengan 10 macam.

Bambu, katanya, mulai pemanenan sudah ada tradisi khusus, misal, tidak saat bulan purnama, pengeringan alami tetapi tidak langsung terkena sinar matahari.

“Kami tidak mengenal plastik, biasa dalam daging kurban, kami gunakan daun jati atau ketapang. Karena makin susah ditemui dan jauh, kami memilih besek karena mudah didapatkan di pasar,” katanya.

Besek ramah lingkungan. Pasca sebagai hantaran makanan, bisa untuk menyimpan bumbu dapur, pupuk organik, wadah semai dan lain-lain.

Nissa bilang, dibanding kantong kresek, harga besek bambu terbilang mahal, namun daya kebertahanan tinggi.

Bagi-bagi daging kurban di pesantren memakai besek. Budaya ini, kata Nissa, baru antar tetangga dan melalui sosial media miliknya. Pesantren yang menerapkan agroekologi ini memang belum kampanye kolaborasi dengan pihak lain. “Kita mulai dari lingkungan terkecil kami dahulu.”

Dengan memanfaatkan bambu, katanya, bisa menolong petani dan perajin bambu.

Mega bilang, dalam satu dekade ini, perajin bambu mulai tergerus dengan keberadaan plastik, terutama di Rajapolah, sentra perajin bambu di Tasikmalaya. Padahal, usaha bambu ini sangat padat karya dan inklusif yang melibatkan banyak orang tua-tua dan perempuan.

Seringkali, perajin bambu terhimpit oleh permintaan pasar yang menuntut produk murah, jumlah besar dan produksi cepat. Dibandingkan industri lain, usaha ini jadi tidak berkembang karena banyak yang memilih plastik.

“Banyak orang memilih cara praktis, plastik, menyebabkan aktivitas perajin bambu ini makin berkurang,” katanya.

Jadi, perajin hanya tinggal orangtua dengan usia lanjut, anak muda setempat enggan untuk melanjutkan karena dibayar dengan harga murah dan lebih memilih ke kota.

Kalau permintaan bambu kontinu, akan berdampak pada kebun bambu itu sendiri. “Jika tidak ada kerajinan, bambu tidak ada, maka kebun bambu dianggap tidak bernilai lagi. Akhirnya, sering ada penawaran penjualan lahan untuk tambang pasir atau lain-lain. Penting untuk terus gunakan produk-produk kerajinan.”

 

 

Keterangan foto utama: Setelah hewan kurban dibersihkan dan dipilah antara daging, tulang dan kulit, baru daging dikemas pakai besek, untuk dibagikan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version