Mongabay.co.id

Hutan Mangrove, Pelindung yang Terancam dan Terabaikan

 

 

 

 

Hutan mangrove mampu jadi pelindung dari bencana seperti tsunami hingga bisa mengurangi korban jiwa dan harta benda. Ketika tsunami datang, mangrove bisa menahan dan memecah gelombang pasang.

Onrizal, pakar lingkungan hidup dari Universitas Sumatera Utara mengatakan, dari sejumlah penelitian selama beberapa tahun terakhir, ekosistem mangrove jadi salah satu yang mampu menekan korban jiwa ketika tsunami terjadi di Aceh dan Sumatera Utara. Sebaliknya, korban cukup banyak di wilayah dengan hutan mangrove sudah hancur.

Ketika tsunami 26 Desember 2004, memperlihatkan mangrove itu adalah pelindung pesisir, baik dari tsunami maupun badai. Contoh di Lahewa, Nias Utara. Rumah-rumah masyarakat hanya dibangun dari tepas dan atap rumbia, aman dari terjangan tsunami. Mereka terlindung hutan mangrove yang baik.

Baca juga : Masa Depan Mangrove Bergantung kepada Kesadaran Manusia

Kondisi ini, katanya, memperlihatkan betapa penting hutan mangrove bagi manusia. Sebaliknya, di Aceh, sebelum dan sesudah tsunami mangrove di Ulele hancur jadi pemukiman. Ketika tsunami, di sana banyak korban. Di Simeulue, korban tsunami sangat kecil sekali, karena kerapatan hutan mangrove cukup baik.

“Ekosistem mangrove sangat produktif, mampu melindungi manusia, namun akan jadi sangat rentan kalau ada gangguan,” katanya, belum lama ini.

Onrizal mengatakan, sebagai tempat perkembangan biota perairan. dari berbagai riset diketahui kalau mangrove sehat, biota di perairan makin banyak. Sebaliknya, kalau mangrove rusak menyebabkan kerusakan biota perairan seperti ikan, udang dan kepiting.

 

Hutan mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading jadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Mangrove, katanya, sangat penting untuk menyerap dan menyimpan karbon. Hasil penelitian Danoto 2011 menyebutkan, hutan mangrove Indo-Pasifik memiliki kapasitas penyimpanan karbon empat sampai lima kali dari ekosistem hutan daratan, bisa hutan tropika dan lain-lain.

Data terbitan WHO, kurun 34 tahun, dunia kehilangan 30% hutan mangrove. Indonesia, penyumbang kerusakan ekosistem mangrove terbesar secara global, terparah adalah wilayah pantai timur Sumatera bagian utara.

Baca juga:  LIPI : Jejak Peradaban Nusantara Ternyata Terkait Erat dengan Mangrove

Faktor penyebab kerusakan mangrove, katanya, antara lain, alih fungsi lahan jadi perkebunan sawit, perusakan kayu bakau untuk kayu arang, tambak, dan dirambah jadi perladangan ilegal masyarakat. Parahnya, lagi belum ada keseriusan pemerintah menekan laju kerusakan ekosistem mangrove.

Pada periode itu, Indonesia adalah penyumbang terbesar. Jadi, kala dunia kehilangan 800.000 hektar ekosistem mangrove, lebih dari separuh dari Indonesia.

Untuk hutan mangrove pantai timur Sumut, pada 2018, Onrizal studi parsial, dengan membandingkan kurun 30 tahun terakhir, dengan citra satelit 1989-2018.

Dalam rentang 30 tahun, pesisir dari Aceh Timur sampai ke Deli Serdang, Sumut, sudah kehilangan tutupan mangrove 59,6%.

 

 

Untuk Sumut, berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Sumut, sampai 2014, kondisi mangrove masih tersisa sekitar 36.000 hektar.   Dari angka itu, berdasarkan riset Onrizal, kehilangan mangrove mendekati 60%.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan mangrove dunia sekitar 16, 530 juta hektar, Indonesia sekitar 3, 489 juta hektar.

“Yang masih bertahan 40%, sisanya 24% jadi semak belukar karena ada perambahan kayu bakau untuk dapur arang. Jadi pertanyaan, adakah operasi penegakan hukum atau tidak? Sampai sekarang, kerusakan mangrove terus terjadi,” kata Onrizal.

Dari penelitiannya, sekitar 27% kehilangan mangrove di Sumatera bagian utara karena tambak udang, ikan juga pertanian maupun perkebunan sawit.

Perkebunan sawit, katanya, jadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di timur Sumatera bagian utara. Di Pangkalan Susu, hingga ke Pulau Kampai, terus ke jalur perbatasan Sumut-Aceh, sejak 1989-2018 , sudah kehilangan 65% hutan mangrove. Mangrove-mangrove ini rusak karena penebangan buat kayu dan arang, dan alih fungsi lahan jadi perkebunan sawit. Penebang begitu serampangan. Pohon-pohon kecil pun terlibas.

Untuk mangrove hutan konservasi, dia mengambil contoh di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut.

Dia membandingkan kondisi hutan mangrove konservasi pada 1989, 2009 dan 2018. Data Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumut, sampai 2014, hutan Karang Gading seluas 15.965 hektar.

 

Kawasan mangrove jadi ladang. Foto: Ayat S Karkaro/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan riset Onrizal, dalam 30 tahun terakhir kehilangan hutan mangrove Karang Gading 25,6%. “Mestinya, kawasan konservasi makin baik bukan hancur.”

Menurut Onrizal, setelah bencana tsunami ada program rehabilitasi mangrove tetapi belum bisa menutupi kehilangan. Berarti, kehilangan mangrove lebih besar daripada kemampuan memulihkan.

“Kalau rehabilitasi, belum tentu sukses. Kalau dirusak, sudah pasti terjadi. Perbaikan belum tentu.”

Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut mengatakan, mangrove di pantai timur Sumut membentang sepanjang 314 km mulai dari Langkat sampai Labuhan Batu Selatan. Dalam kurun 13 tahun terakhir, keadaan rusak parah. Setidaknya, ada 12.565 hektar hutan mangrove sudah turun status jadi area peruntukan lain (APL). Parahnya, kerusakan pada 2019 mencapai 9.461 hektar.

Penyumbang utama kerusakan mangrove, katanya, perkebunan sawit 40% (turun status kawasan), tambak 35%, pertanian 25%, dan lain-lain 5%, baik itu abrasi karena reklamasi tambang pasir dan lain-lain.

Kalau lihat website KLHK, hanya ada empat perusahaan perkebunan sawit di pantai timur Sumatera bagian utara yang mengantongi izin. Selebihnya, perkebunan sawit tumbuh subur diduga ilegal.

Pemiliknya, kata Dana, mulai dari oknum aparat keamanan, oknum anggota dewan, sampai oknum pemerintahan.

Dia mendesak, aparat penegak hukum harus bertindak menyidik masalah ini demi menyelamatkan mangrove di kawasan itu.

Pantai timur Sumatera bagian utara, katanya, kantong kemiskinan tinggi tetapi perbaikan taraf hidup maupun lingkungan belum jadi prioritas pemerintah Sumut.

Kondisi ini kalau terus terjadi, tak hanya kemiskinan bertambah, tetapi bencana ekologis mengintai.

Dana bilang, Pemerintah Sumut sama sekali belum melihat masalah ini penting. Padahal, alih fungsi makin lama makin luar biasa. Pemerintah daerah, katanya, harus melihat pesisir pantai untuk perbaikan, rehabilitasi dan penegakan hukum.

 

Keterangan foto utama:  Hutan mangrove terjaga sebagai benteng dari bencana. FotoL Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Tambak, salah penyebab kerusakan hutan mangrove. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version