Mongabay.co.id

Sagu, Sumber Pangan Nasional yang Belum Dimaksimalkan

Sinole, makanan berbahan sagu yang baik untuk kesehatan kita. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

Selain sebagai bahan pangan, sagu adalah produk budaya, terutama di wilayah timur Indonesia. Sagu juga bermanfaat sebagai bahan baku industri, serta potensial sebagai sumber devisa. Sebab, sagu dapat menjadi bagian penting dalam upaya mengurangi ketergantungan impor, melalui diversifikasi bahan pangan.

Sebagai perbandingan, nilai impor biji gandum dan meslin tahun 2018 sebesar 10,1 juta ton dengan nilai 2,5 juta US$. Jika 10 persen bahan tersebut dapat disubstitusi sagu, akan dibutuhkansebesar 1 juta ton.

“Jika harga sagu 5.000 Rupiah, akan menghemat devisa sebesar 5 miliar Rupiah,” kata Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Bappenas RI, dalam webinar seri ke-5 “Pembangunan Industri Berbasis Sagu Terpadu dan Berkelanjutan”. Seminar ini digelar oleh Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor [IPB] dengan tema “Kebijakan dan Pengembangan Infrastruktur Industri Berbasis Sagu”, Selasa [28 Juli 2020].

Menurutnya, sagu sangat baik untuk bahan baku industri. Sementara sagu dalam konteks pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia, masih sangat kecil, yaitu 0,2 persen. Sebaran konsumsi paling banyak ada di Papua dan sebagian Sulawesi Tenggara. Konsumsi yang mendominasi masyarakat Indonesia adalah kelompok padi-padian sekitar 61 persen. Sementara, produktivitas sagu di Indonesia pada 2019, hanya 3.570 kg per hektar. Totalnya, 465.495 ton.

Kalau dilihat masing-masing wilayah, jumlahnya bervariasi. Paling tinggi di Provinsi Riau dengan total luas lahan 23,9 persen di Indonesia, dan produksinya 7,3 ton per hektar. Sementara Papua yang memiliki 50,8 persen luas sagu di Indonesia hanya memproduksi 1,7 ton per hektar. Maluku yang mempunyai 11,9 persen luas sagu, hanya menghasilkan 0,5 ton per hektar.

“Produktivitas ini penting kita tingkatkan,” ujar Rudiyanto.

Baca: Pandemi Corona: Perkuat Keragaman Pangan, Indonesia Sehat Bukan Hanya Beras

 

Sinole, makanan berbahan sagu yang baik untuk kesehatan kita. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Indonesia mengalami surplus sagu dari sisi volume ekspor yang meningkat dari tahun ke tahun, meskipun fluktuasi harga sagu dunia menyebabkan tidak ada peningkatan signifikan. Jika dilihat nilai impor, Indonesia mengalami defisit. Dibandingkan Malaysia atau Jepang; mereka mengimpor sagu, mengolahnya, kemudian mengeskpornya lagi dengan nilai tambah sangat tinggi.

“Kita perlu belajar dari mereka soal hilirisasi sagu. Kalau kita lihat sagu dalam konteks subtitusi impor pangan, kita memiliki ketergantungan terhadap impor pangan, salah satunya adalah terigu yang relatif tinggi.”

Rudiyanto menjelaskan, untuk kebijakan pengembangan sagu, pemerintah memiliki program prioritas meningkatkan ketersediaan akses dan kualitas konsumsi pangan, yaitu mengembangkan sagu sebagai pangan lokal sekaligus diversifikasi pangan di tingkat masyarakat. Selain itu ada program peningkatan nilai tambah, lapangan pekerjaan, dan investasi di sektor ril dan industrialisasi, program utamanya adalah hilirisasi produk pertanian dengan sagu sebagai komoditas utama.

“Sagu menjadi bagian pengembangan pangan lokal sebagai sistem pangan nasional berkelanjutan.”

Dia menambahkan, peluang ini berdasarkan hasil penelitian, terutama dari sisi kesehatan dan ekonomi. Sagu adalah makanan pokok masyarakat Indonesia bagian timur, seperti Maluku dan Papua. Potensinya sangat besar sebagai sumber pangan pengganti beras dan sumber energi altenatif.

Untuk tantangan pengembangan sagu adalah petani belum dapat menjual langsung ke industri ataupun konsumen, masih melalui perantara. Jumlah industri yang menggunakan bahan baku sagu juga masih terbatas. Petani juga masih kesulitan mendapatkan modal dan fasilitas bantuan kredit.

Baca: Tak Terserap Pasar, Produksi Sagu Sungai Tohor Lesu di Masa Pandemi

 

Makanan dari sagu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Dukungan Infrastruktur

Hadi Sucahyono, Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian PUPR, menjelaskan tantangan pengembangan kawasan industri berbasis sagu. Salah satunya adalah, daerah penghasil sagu umumnya berada di kawasan hutan lindung sehingga diperlukan izin pinjam pakai kawasan hutan atau berada di wilayah adat.

Strategi yang dilakukan adalah mengutamakan infrastruktur untuk kawasan strategis nasional, industri, atau kawasan ekonomi khusus, pelabuhan, dan lainnya. Acuan lainnya adalah sasaran infrastruktur RPJMN 2020-2024 yang mendukung ketahanan pangan, yaitu pengembangan jaringan irigasi baru dan penyediaan air baku pertanian.

“Pada prinspinya, Kementerian PUPR mendukung pembangunan infrastruktur kawasan produksi, termasuk sagu. Untuk itu diperlukan dukungan kementerian atau lembaga lain dan pemerintah daerah, mengingat terkait tupoksi dari kementerian, lembaga lain, dan juga pemerintah daerah,” ungkapnya.

Selain itu menurut dia, diperlukan dukungan data lebih lengkap semua stakeholder atau pemangku kepentingan terkait sagu, termasuk dari pihak swasta. Dengan begitu, Kementerian PUPR dapat mendukung infrastruktur lebih lengkap.

Baca: Sagu Bukan Hanya Pangan, Tapi Juga Identitas Budaya

 

Keranjang berisi sagu. Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia di masa lalu yang saat ini masih bertahan di Maluku dan Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Karakteristik hutan sagu

Sebelumnya Profesor Elias, Guru Besar Departemen Manajeman Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, menjelaskan bahwa tempat tumbuh hutan sagu berada di lahan tergenang air permanen, tergenang tidak permanen, dan lahan kering. Untuk bentuk hutan sagu adalah hutan campuran, hutan sagu murni, tegakan berstrata, tanaman berumpun atau tumbuh bersama dalam satu kelompok.

Untuk ciri khas pohon sagu yang ditebang atau yang sudah masak, diameternya lebih dari 35 cm dengan panjang tinggi batang antara 8 hingga 15 meter. Lokasi tumbuhnya biasa di dataran rendah, areal rawa, gambut, dan sepanjang tepi sungai. Topografinya datar, landai, hingga bergelombang. Tumbuh dengan curah hujan 2.500-3.000 mm per tahun.

“Sagu hingga kini belum dimanfaatkan dengan baik karena minimnya infrastruktur dan akses yang sangat sulit,” ungkap Elias.

Menurut dia, rancangan pemanfaatan kawasan hutan sagu didasarkan pada prinsip berkelanjutan yaitu adanya perencanaan pemanenan berdasarkan unit-unit kelestarian. Untuk pengembangan jaringan didasarkan pada pembukaan wilayah dan pengelolaan lestari yang dimulai dari transportasi batang sagu ke industri atau pabrik hingga distribusi tepung yang dihasilkan.

Baca juga: Masa Pandemi Corona, Pemerintah Mesti Serius Serap Sagu Papua

 

Seorang warga di Kampung Asei, pesisir Danau Sentani, Jayapura, Papua, berdiri dengan latar hutan sagu milik masyarakat adat Asei. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Sementara Profesor Tajuddin Bantacut dari Dewan Guru Besar IPB, sebagai pembahas menegaskan kembali, potensi sagu Indonesia harus dimanfaatkan dengan baik. Menurutnya, semua pihak sudah memahami potensi dan manfaat sagu, namun permasalahannya adalah pendekatan masing-masing sektoral yang parsial dan sendiri-sendiri.

Misalkan, Kehutanan melindungi sagu, Pertanian mengajari pembibitan, dan Perindustrian mengajari pengolahan. Tapi, semuanya dilakukan sendiri-sendiri, tersebar, dan tidak terpadu.

“Semua memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang sagu, tapi fokus dan cara bertindaknyabeda.”

Yang harus dilakukan, katanya, adalah identifikasi dan pemetaan wilayah dengan luasan memadai, analisis topografi dan hidrologi. Lalu, perancangan zonasi kawasan berdasarkan karakteristik lahan atau tanah, serta dan faktor sosial untuk memenuhi kebutuhan ruang kebun, produksi, dan infrastruktur.

Lainnya adalah penentuan kapasitas industri pengolahan dan pergerakan bahan, perhitungan kebutuhan prasarana, sarana transportasi dan logistik, serta perhitungan investasi publik, BUMN, swasta dan masyarakat.

“Harus ada perencanaan yang diinisiasi salah satu kementerian. Tentunya, dengan kegiatan yang terpadu dan adanya grand design berbasis kawasan yang harus dimulai dari sekarang,” tegas Tajuddin.

 

 

Exit mobile version