Mongabay.co.id

Diesel 100% Hasil Olah Sawit, Energi Berkelanjutan?

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Awal Juli lalu, PT Pertamina bisa mengolah refined, bleached and deodorized palm oil (RDBPO) 100% menghasilkan produk yang kemudian disebut green diesel. Pertamina sebutkan, per hari sudah bisa produksi green diesel (D100) sampai 1.000 barel. Niatnya, capaian ini bisa menyumbang target penggunaan energi terbarukan sampai 23% pada 2025.

RDBPO adalah minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang proses lebih lanjut hingga hilang getah, impurities dan bau. Uji coba awal Juli lalu itu merupakan kali ketiga setelah sebelumnya melalui co-processing hingga 7,5% dan 12,5%.

Nicke Widyawati, Direktur Pertamina, mengatakan, produk ini menjawab tantangan energi ramah lingkungan sekaligus menyerap minyak sawit yang produksi 42-46 juta metrik ton, dengan serapan fatty acid methyl ester (fame) sekitar 11,5%.

Baca juga: Kebijakan Dorong Biofuel, Peluang Tekan Emisi atau Sebaliknya?

Saat bersamaan, kilang Plaju, Pertamina juga akan membangun unit green diesel dengan kapasitas produksi 20.000 barel per hari.

“Terbukti, kita mampu memproduksi bahan bakar renewable pertama di Indonesia dan hasil tak kalah dengan perusahaan kelas dunia,” kata Nicke dalam rilis beberapa waktu lalu.

Pengolahan RDBPO jadi D100 di kilang Dumai, katanya, dengan bantuan katalis dan gas hydrogen untuk hasilkan green diesel.

“Yang digunakan, katalis merah putih produksi putra putri terbaik bangsa di Pertamina Research and Technology Centre bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung,” katanya.

Andriah Feby Misna Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan, pemerintah terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati.

Pemerintah juga uji coba B40 dan pengembangan green fuel dengan harapan selain menghasilkan green diesel (D100), juga green gasoline (G100) dan green jet avtur (J100) berbasis CPO.

Pemerintah, katanya,  menggandeng Pertamina untuk pengembangan green fuel di kilang-kilang Pertamina di sentra produksi sawit, baik co-processing di kilang-kilang existing, maupun ke depan dengan pembangunan kilang baru (stand alone) yang didedikasikan untuk green fuel.

“Produk green fuel ini mempunyai karakterisitik mirip bahan bakar berbasis fosil, bahkan untuk beberapa parameter kualitas jauh lebih baik dari bahan bakar berbasis fosil fuel,” kata Feby di Jakarta, beberapa waktu lalu.

 

Perkebunan perusahaan sawit banyak menyumbang kebakaran hutan di Indonesia. Kalau produksi D100 dari kebun-kebun yang berelasi dengan karhutla, apakah bisa disebut  energi berkelanjutan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Green diesel atau diesel biohydrokarbon, kata Feby, memliliki keunggulan dibanding diesel berbasis fosil maupun biodiesel berbasis fame, antara lain, cetane number relatif lebih tinggi, kandungan sulfur lebih rendah, stabilitas oksidasi lebih baik serta warna lebih jernih.

Co-processing, merupakan salah satu cara untuk memproduksi green fuel melalui proses pengolahan bahan baku minyak nabati dengan minyak bumi secara bersamaan.

Guna menyamakan persepsi terhadap produk-produk bahan bakar nabati, katanya, pemerintah sedang menyusun usulan nomenklatur untuk bahan bakar nabati, yaitu biodiesel dengan kode B100, bioetanol (E100), bensin biohidrokarbon (G100), diesel biohidrokarbon (D100), avtur biohidrokarbon (J100).

 

Berkelanjutan?

Program D100 merupakan inovasi pemerintah dalam pengembangan biofuel di Indonesia. Di balik ‘kesuksesan’ itu masih banyak pekerjaan rumah guna menciptakan sumber energi bersih terbarukan ramah lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Ridwan Arif, Knowledge Management Coordinator, Koaksi Indonesia mengatakan, setidaknya pengembangan D100 wajib gunakan bahan baku 100% tersertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Dia melihat, belum ada safeguard yang memastikan bahan baku sawit untuk biofuel dari perkebunan sawit tersertifikasi.

Meskipun, katanya, melalui kebijakan, ISPO jadi mandatori bagi para pelaku usaha. “Namun belum ada peraturan yang mewajibkan industri bahan bakar nabati menyerap bahan baku tersertifikasi.”

Menurut Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), katanya, sejauh ini petani swadaya tidak mendapatkan keuntungan dari program biodiesel karena dana dari pemerintah lebih banyak mengalir untuk subsidi biodiesel bukan untuk peningkatan kapasitas petani swadaya. Tidak hanya itu, program replanting dari pemerintah terhadap petani swadaya juga masih kurang.

“Ditambah lagi, apakah rantai pasok bahan baku sawit untuk industri D100 langsung dari petani? Keberpihakan inilah yang perlu didorong bersama agar pengembangan industri bahan bakar nabati memperhatikan kesejahteraan petani.”

 

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Banyak kebun sawit terbangun di kawasan lindung dan konservasi, dan kalau sumber sawit D100 dari kebun-kebun model ini, energi ramah lingkungan? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Bahan baku green diesel, katanya, berasal dari lahan yang sama dengan bahan baku biodiesel, hingga keramahan ataupun ketidakramahan terhadap lingkungan punya implikasi sama. Untuk mengukur ini, katanya, perlu alat yang bisa menilai kebijakan ini bagi lingkungan. “Standar sertifikasi akan jadi alat yang tepat untuk itu.”

Secara umum, perusahaan yang tersertifikasi ISPO di Indonesia masih sangat rendah, baru 30%. Kondisi ini menandakan, masih ada 70% perusahaan yang belum memiliki standar dan mempunyai risiko lingkungan dan sosial yang tinggi.

Dengan memastikan bahan baku green diesel berasal dari kebun tersertifikasi akan mereduksi berbagai risiko lingkungan yang mungkin timbul.

Dari segi ekonomi, D100 memerlukan investasi pembangunan kilang khusus sebagai bagian proses hydrotreating minyak nabati, teknologi lebih advance dari proses transesterifikasi biodiesel.

Saat ini, proses produksi green diesel di kilang Pertamina adalah hydrotreating co-processing. Proses ini, mencampurkan minyak sawit dengan crude oil (minyak diesel mentah). Teknologi, kata Ridwan, bisa dikembangkan dengan hydrotreating standalone dengan bahan baku hanya dari minyak nabati.

Pada industri biodiesel ada denda kepada perusahaan yang tak memenuhi komitmen alokasi produksi Rp6.000 perliter kekurangan. Namun, katanya, tetap saja dari mekanisme denda itu, ada kemungkinan ketidakpatuhan. Jadi, buat pasar lokal yang besar seperti sekarang perlu mekanisme domestic market obligation, baik pada industri biodiesel dan green diesel.

Secara kebijakan memang belum ada kewajiban spesifik mengatur penggunaan D100 baik pada (public service obligation/PSO) atau minyak solar bersubsidi maupun tidak. Berbeda dengan penggunaan biodiesel yang sudah memiliki kewajiban pencampuran hingga B30 melalui Permen ESDM Nomor 12/2015.

Dari semua itu, kata Ridwan, perlu kajian lebih mendalam baik sisi lingkungan, ekonomi, maupun sosial terkait D100.

“Peta jalan transportasi penting, karena dapat membantu perencanaan industri biofuel di Indonesia ke depan.”

Peta jalan, katanya, berkaitan erat dengan pengembangan kendaraan listrik hingga jelas porsi pembagian sumber energi dari listrik dengan biofuel di kendaraan.

Peta jalan transportasi, akan mengharmonisasi penggunaan bahan bakar, sampai kapan Indonesia gunakan biofuel dan di titik mana mulai pakai kendaraan listrik. Sayangnya, hingga kini peta jalan belum ada.

Dwi Sawung, Juru Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Nasional, mengingatkan, soal industri sawit yang jadi salah satu penyebab utama deforestasi.

Kalau sawit-sawit buat produksi D100 dari kebun penyumbang deforestasi, jelas bukan energi berlenajutan atau ramah lingkungan.

“Kalau sawit hasil dari desforestasi sama saja bohong sih.”

Sawung menilai, kebijakan menyerap minyak sawit di dalam negeri ini cenderung karena terhambat pasar ekspor padahal banyak perusahaan sawit terlanjur menanam dengan membuka lahan.

Dia bilang, kalau keran ekspor kembali dibuka, kebijakan seperti apa yang akan diambil pemerintah, tetap untuk kebutuhan D100 atau ekspor.

 

Keterangan foto utama: Kalau produksi D100 dari kebun sawit perusahaan dari membersihkan hutan warga, apakah bisa disebut energi berkelanjutan? Foto: Save Our Borneo

 

Lahan ulayat masyarakat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan. Kalau sumber sawit dari lahan berkonflik dengan masyarakat, bahkan sampai terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM, energi berkelanjutan? Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version