Mongabay.co.id

Sagu, Sumber Pangan Ramah Gambut yang Minim Perhatian

Petani sedang tebang sagu. Foto: Asrida Elisabeht/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sagu, salah satu tumbuhan cocok lahan gambut. Karakter gambut menyimpan banyak air jadi tempat hidup cocok bagi sagu. Gambut berfungsi menyimpan air dan menyerap karbon. Sagu sebagai makanan dan memiliki banyak manfaat lain. Menanam sagu jadi salah satu cara mempertahankan ekosistem gambut.

Luas lahan sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta hektar. Sekitar 4,5 juta hektar ada Papua dan 0,5 juta hektar di Papua Barat. Sayangnya, pemanfaatan sagu di Indonesia belum mencapai 10%. Padahal, memanfaatkan sagu bisa mengurangi impor beras, gandum, dan gula. Untuk itu, perlu kerja sama banyak pihak jadikan sagu sebagai tanaman strategis.

Demikian benang merah dalam kuliah umum Mochamad Hasjim Bintoro, Guru Besar Departemen Agronomi dan Holtikultura Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ketua Umum Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI).

Dia bilang, gambut adalah lahan organik yang bisa menyimpan air dalam jumlah sangat besar. Satu ton gambut bisa menyimpan 10 ton air. Gambut memiliki kedalaman beragam antara dari satu sampai 10 meter. Gambut kedalaman lebih tiga meter sebagai area konservasi.

Sebagai lahan organik, gambut bisa untuk pertanian dengan tanaman yang sesuai. Salah satu tanaman paling cocok adalah sagu. Sagu perlu tanah lembab untuk tumbuh. Dengan menanam sagu, kandungan air pada lahan gambut tidak perlu dikeluarkan. Mengeluarkan air dari gambut berdampak pada penurunan muka gambut hingga lahan kering dan mudah terbakar.

“Kalau sagu dipertahankan di gambut, kita akan mengkonservasi, kita akan mengawetkan tanah itu dan mencegah kerusakan,” katanya, dalam kuliah umum bertema Menanam Sagu di Lahan Gambut, Potensi dan Tantangan Pengembangannya, yang diadakan  Badan Restorasi Gambut (BRG).

Meski sagu bisa tumbuh dalam keadaan tergenang, namun produksi lebih bagus kalau lahan kadang terendam kadang kering. Di Kepulauaan Meranti, Riau, dibangun kanal-kanal yang diberi sekat untuk menjaga kestabilan kandungan air di gambut. Kanal-kanal ini sekaligus sebagai alur tranportasi mengangkut panen batang-batang sagu.

Luas gambut di Indonesia sekitar 14,9 juta hektar, terluas ke empat di dunia setelah Kanada (170 juta hektar), Rusia (150 juta hektar) , dan Amerika (40 juta hektar).

“Ini kekayaan kita sebenarnya. Karena sagu banyak tumbuh di gambut. Gambut harus dipelihara jangan sampai rusak. Karena kalau gambut rusak, sagu ikut hilang. Kalau sagu hilang, kita akan kehilangan bahan pangan.”

 

Penjemuran lembaran sagu dalam proses pembuatan mie rumbia di Bengkel Kerja milik Abdul Manan. Foto: dari website Pesantren Ekologi Ath-Taariq

 

Sagu tumpuan pangan dan beragam manfaatnya

Bintoro bilang, sejak lama sagu jadi makanan pokok di nusantara. Satu bukti, tampak dari relief Candi Borobudur di Yogyakarta, bukan padi di sana. Yang ada hanya jenis palem seperti kelapa, sagu, dan lontar. Bukti lain, ada sebutan untuk sagu dan hasil olahan di tiap tempat.

Luas sagu di Indonesia adalah 85% dari luas lahan sagu dunia dan mayoritas di Papua. Di Papua, sagu paling banyak menyebar di pesisir selatan seperti Merauke, Asmat, Mappi, Timika dan Kaimana. Di Utara juga ada seperti Jayapura, Membrambo, Nabire.

Produksi tepung sagu berkisar antara 50 kg-950 kg per pohon. Di Papua, ada banyak jenis sagu. Sagu dengan produksi tepung paling tinggi ditemukan di Sentani, Jayapura. Warga menyebut, sagu para. Satu batang sagu para siap panen bisa hasilkan 975 kg tepung.

“Waktu saya bertemu seorang ahli sagu di Jepang, dia berpesan, nanti kalau dunia ini kesulitan pangan, dunia akan melirik Indonesia. Hanya Indonesia yang dapat menolong dari kelaparan, karena Indoensia punya sagu.”

Di Papua, dengan suku sangat beragam, sagu dan hasil olahan memiliki sebutan masing-masing. Di Suku Namblong, Kabupaten Jayapura, sebutan untuk sagu adalah mo. Salah satu makanan olahan disebut swamening, tepung sagu basah dicampur parutan kelapa dan serat tanaman lilin dibungkus daun gedi lalu direbus dalam kuah berbumbu.

Hasil olahan sagu paling dikenal di Papua adalah papeda. Papeda biasa terhidang bersama kuah ikan dan sayuran hingga kandungan gizi jadi lengkap.

“Gizi sagu cukup baik. Bahkan, tidak mengandung gluten. Glikemiknya rendah. Itu sangat baik untuk kesehatan. Kalau kita mau sehat, makanlah sagu.”

Pengembangan sagu sebagai bahan pangan terus dilakukan. Saat ini, sudah produksi sagu jadi beragam pangan, antara lain, mie, kue, pempek, lontong, beras, dan gula dengan bahan dasar sagu. Bahkan sudah ada papeda instan dan kapurung instan. Semua masih skala usaha kecil menengah (UMKM) dan industri rumah tangga.

“Teknologinya sudah ada. Tinggal diperbesar skala usahanya.”

Produk-produk makanan ini juga belum dikenal luas hingga belum merakyat sebagaimana produk makanan lain.

Menurut Bintoro, pengembangan produk makanan ini bisa membantu Indonesia lepas dari ketergantungan impor pangan. Saat ini, Indonesia masih mengimpor beras, gandum, gula. Di masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), negara-negara produsen beras, gandum, dan gula ini mulai mengurangi penjualan demi menjaga ketersediaan pangan mereka tetap stabil. Indonesia, katanya, sudah saatnya melihat potensi sagu.

Dengan perhitungan satu tanaman sagu bisa menghasilkan tepung 50-950 kg, maka satu hektar bisa hasilkan 20-40 ton. Dengan tanaman campur, memanfaatkan lahan satu juta hektar saja sagu sudah bisa memenuhi kebutuhan pangan rakyat.

“Indonesia tidak harus impor pangan kalau mau makan sagu.”

Selain sebagai bahan pangan, sagu juga memiliki banyak manfaat lain. Ampas sagu bisa jadi pupuk, pakan ternak, atau olah lagi jadi briket sebagai bahan bakar. Kandungan protein, glukosa, dan dextrin pada sagu bisa untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kertas, kayu, kosmetik, hingga pestisida.

 

Sagu produksi warga Kota Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Perlu upaya bersama

Kepulauan Meranti, salah satu kabupaten di Indonesia yang terbilang maju dalam mengembangkan sagu. Luas lahan sagu di Meranti mencapai 50.000 hektar. Ada kelola langsung petani, ada juga perusahaan. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Meranti memang sudah jadi wilayah yang memperdagangkan sagu.

Di Papua, meski lahan sagu luas, harga justru dua kali lebih mahal dari Kepualuan Meranti. Penyebabnya, kata Bintoro, karena pemanfaatan sagu baru sebatas keperluan pangan individu dan keluarga hingga produksi terbatas.

Dia mengidentifikas berbagai kendala dalam pengembangan sagu. Di hilir, sagu belum jadi pangan utama. Malah ada fenomena meninggalkan kebiasaan makan sagu beralih ke beras seperti di Papua. Meski penelitian sagu terus berkembang, hanya sedikit pengusaha berinvestasi pada pengembangan sagu. Letak lahan sagu di wilayah terpencil juga menuntut persiapan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan.

Untuk itu, perlu keterlibatan semua pihak baik pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi dan lembaga penelitian, pemilik lahan, pengusaha, hingga media guna mendukung pengembangan sagu.

Di Papua, pengembangan sagu sekaligus mengatasi masalah marjinalisasi ekonomi orang asli Papua. Sagu adalah tanaman yang ada dan sudah jadi bagian dari kehidupan orang asli Papua. Pengembangannya, tidak mengharuskan modal dan tenaga kerja baru dari luar sebagaimana pada industri sawit.

Bahkan, sagu bisa lebih untung dibanding sawit. Satu hektar lahan sagu menghasil tepung 20-40 ton. Dengan kisaran harga sagu di Papua Rp10.000/kg, bisa menghasilkan uang dua jauh lebih besar dari sawit yang hanya menghasilkan US$1.000 per hektar per tahun.

“Mau jadi penonton atau mau jadi tuan rumah? Kalau mau jadi tuan rumah, usahakanlah sagu, tapi yang menguntungkan. Kalau sagu itu diusahakan dengan baik, sebetulnya tidak rugi.”

Ada 3,2 juta hektar lahan gambut di Papua. Data Jaring Pantau Gambut Papua menunjukkan, pada 2018 ada 80.000 hektar gambut Papua rusak akibat izin usaha perkebunan, pertambangan dan aktivitas lain di kawasan gambut.

Badan Restorasi Gambut (BRG) mendorong pemulihan lahan gambut di Papua dengan program menanam sagu. Selain menyimpan air, gambut berperan penting dalam menyimpan karbon. Rusaknya lahan gambut akan melepas karbon ke atmoster dan berdampak besar pada masalah perubahan iklim.

 

 

 

Keterangan foto utama:  Petani sedang tebang sagu. Foto: Asrida Elisabeht/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version