Mongabay.co.id

Urban Farming dan Kontribusinya bagi Pengurangan Jejak Karbon

Ada hikmah di balik wabah pandemi COVID-19 yang diikuti oleh pemberlakuan pembatasan sosial skala besar (PSBB) di negeri ini. Ia ternyata telah mendorong masyarakat mengadopsi gaya hidup lebih sehat dan sekaligus melakukan sejumlah aktivitas yang ramah lingkungan.

Ambil salah satu satu contohnya yaitu dalam soal bersepeda. Menyusul diberlakukannya PSBB, penggunaan sepeda, baik untuk kegiatan olahraga maupun untuk aktivitas lainnya, di seluruh Indonesia, ternyata mengalami peningkatan signifikan. Pada saat yang sama, permintaan sepeda dan suku cadangnya juga ikut terkerek.

Aktivitas lain yang juga turut meningkat sejak diberlakukannya PSBB yaitu bercocok-tanam di wilayah perkotaan (urban farming). Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP) Provinsi DKI Jakarta, misalnya, menyebut telah terjadi peningkatan tren kegiatan urban farming masyarakat ibu kota selama masa PSBB.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP) Provinsi DKI Jakarta, Darjamuni, seperti dikutip portal merdeka.com, mengatakan, indikasi terjadinya peningkatan aktivitas urban farming antara lain dapat dilihat dari meningkatnya permintaan terhadap benih dan pupuk.

Baca juga: Hidroponik, Solusi Pertanian Lahan Sempit di Perkotaan

 

Hiroponik, salah satu solusi untuk memanfaatkan lahan sempit di perkotaan untuk pertanian. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pertanyaannya adalah, seberapa penting aktivitas urban farming bagi ketahanan pangan wilayah perkotaan, dan apa kontribusinya bagi peningkatan kualitas lingkungan perkotaan?

United Nations Development Programme (UNDP) memberi batasan urban farming sebagai aktivitas memproduksi, memproses dan juga memasarkan bahan pangan, untuk memenuhi kebutuhan konsumen di kawasan perkotaan atau kawasan metropolitan dengan cara memanfaatkan lahan dan perairan yang ada di wilayah perkotaan atau pinggiran kota.

Adapun penerapannya melalui metode produksi secara intensif, dan dengan menggunakan sumber-sumber daya alam yang tersedia maupun sampah perkotaan, untuk menghasilkan beragam hasil pertanian dan peternakan.

Sementara itu, Luc Mougeot (2001) menyebutkan antara lain bahwa urban farming adalah industri pertanian yang berlokasi di dalam kawasan perkotaan atau di pinggiran perkotaan, maupun di kawasan metropolitan, dengan fokus memproduksi, memproses, dan mendistribusikan beragam produk bahan makanan dengan menggunakan sumber daya dan material yang tersedia di dalam dan di sekitar wilayah perkotaan.

Tak bisa kita pungkiri, kawasan perkotaan dewasa ini semakin padat. Jumlah penduduk yang mendiami wilayah perkotaan diperkirakan akan semakin meningkat. Buntutnya,  kawasan perkotaan menghadapi berbagai persoalan yang tidak ringan. Salah satunya yaitu soal bagaimana menjamin aspek ketahanan pangannya.

Kota sendiri selama ini lebih banyak bergantung pada pasokan bahan pangan dari daerah perdesaan (rural). Jika ini terus dibiarkan, maka cepat atau lambat,  sebenarnya akan bisa menimbulkan persoalan yang lebih pelik. Ketika pasokan terganggu atau ada kekeringan panjang di perdesaan, misalnya, maka krisis pangan dapat dengan mudah merundung kawasan perkotaan.

Oleh sebab itu, urban farming menjadi salah satu solusi dalam ikut menjamin ketahanan pangan wilayah perkotaan. Meski demikian, ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa aktivitas urban farming membutuhkan lahan yang relatif luas dan juga modal besar sehingga tidak semua orang dapat melakukannya. Anggapan tersebut sama sekali tidak benar.

Pelaksanaan urban farming tidak melulu harus selalu membutuhkan lahan yang luas dan juga modal yang besar. Faktanya, urban farming dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk rumahtangga maupun perseorangan, dengan lahan yang tidak terlalu luas dan modal yang tidak besar.

Di teras rumah, bahkan di atas atas atap rumah, kita bisa dengan mudah melakukan urban farming. Apalagi terdapat lahan yang lebih luas yang dapat kita manfaatkan.

Selain turut menjamin aspek ketahanan pangan kawasan perkotaan, urban farming juga ikut menciptakan ruang-ruang terbuka hijau, yang memang sangat dibutuhkan bagi kesehatan lingkungan kawasan perkotaan.

Baca juga: Mau Tetap Hijau di Lahan Sempit? Begini Caranya…

 

Berkebun di atap, sebagai salah satu solusi tetap hijau dengan minim lahan. Foto: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia

 

Sebagaimana diketahui, salah satu indikator yang ikut menentukan apakah sebuah kawasan perkotaan itu sehat atau tidak adalah luas ruang terbuka hijau yang dimilikinya dibandingkan dengan luas lahan kota secara keseluruhan.

Idealnya, 30-40 persen luas kawasan perkotaan semestinya berupa ruang terbuka hijau. Realitanya, sebagian besar kota-kota di negara kita sekarang ini justru mengalami defisit ruang terbuka hijau. Ambil contoh, Jakarta. Dari luas wilayah Jakarta sekira 661,52 kilometer persegi, baru 9,98 persen saja yang merupakan ruang terbuka hijau

Oleh karena itu, jika dilakukan dengan masif dan berkesinambungan, urban farming dapat ikut menambal defisit ruang terbuka hijau yang selama ini dialami oleh kota-kota-kita.

Yang juga mungkin tidak kita sadari bahwa dengan melakukan urban farming, kita turut pula berkontribusi dalam upaya mengurangi jejak karbon (carbon footprint). Hal ini dimungkinkan karena urban farming memangkas konsumsi bahan bakar fosil yang  selama ini dibutuhkan dalam pendistribusian bahan makanan.

Secara sederhana, jejak karbon adalah jumlah gas rumah kaca atau karbon dioksida, dan senyawa karbon lainnya, yang dihasilkan karena antara lain konsumsi bahan bakar fosil. Jejak karbon yang kita hasilkan ikut bertanggungjawab bagi terjadinya perubahan iklim, kekeringan, banjir dan pandemi penyakit menular.

Sejauh ini, makanan yang terhidang di meja makan warga perkotaan rata-rata mesti menempuh perjalanan belasan hingga puluhan kilometer. Bahkan, ada yang perlu menempuh ratusan kilometer. Perjalanan sejauh itu tentu saja membutuhkan konsumsi bahan bakar yang tidak sedikit dan gas buang yang tidak kecil.

Bayangkan jika bahan pangan yang mesti kita datangkan dari tempat-tempat lain itu bisa kita hasilkan sendiri dari lingkungan kita, tanpa harus menempuh perjalanan yang jauh, dan tanpa membutuhkan bahan bakar fosil untuk mengangkutnya.

Dengan demikian, kita akan ikut mereduksi emisi karbon yang dilepaskan ke udara. Dan ini berarti kita ikut pula menjadikan kualitas udara lebih bersih dan juga membikin suhu sekitar lebih stabil.

Aktivitas urban farming juga  membantu merestorasi lingkungan perkotaan lewat pemanfaatan lahan-lahan  yang tidak terawat maupun pemanfaatan sampah/limbah sebagai kompos tanaman. Adapun manfaat urban farming lainnya yaitu terkait dengan aspek ekonomi, sosial, rekreasi, dan pendidikan.

Mengingat manfaatnya yang tidak kecil, sudah selayaknya urban farming menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pertanian nasional maupun bagian dari perencanaan kota secara keseluruhan. Dengan demikian, manfaat yang akan dihasilkannya pun akan bertambah besar dan dirasakan oleh lebih banyak kalangan.

 

* Rejeki Wulandari, penulis lepas, peminat masalah lingkungan. Artikel ini merupakan opini penulis

 

Exit mobile version