Mongabay.co.id

Kopi Agroforestri, Cara Merawat Hutan Lampung Barat

 

 

Banyak cara dilakukan untuk melestarikan hutan. Mulai dari mencegah perambahan, melakukan peremajaan serta menanam kembali pepohonan, dan yang tidak kalah penting adalah mengajak peran aktif masyarakat.

Bagi Ketua HKm [Hutan Kemasyarakatan] Bina Wana, Engkos Kosasih [60], melestarikan hutan dapat dilakukan dengan cara amat sederhana. Dengan menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat, otomatis masyarakat akan merawat hutan dan melestarikannya.

Di wilayah Register 45B, Pekon Tribudisyukur, Kecamatan Kebon Tebu, Lampung Barat, Lampung, lahan seluas 645 hektar itu terlihat rapi dengan pepohon kopi. Beberapa cempaka dan pohon aren juga tampak subur di lahan milik kelompok dengan jumlah anggota 478 tersebut.

Kosasih dan kelompoknya, mengelola lahan tersebut mulai tanaman bertajuk rendah, sedang, hingga tinggi. Tanaman bertajuk tinggi terdiri cempaka, mahoni, meranti, sengon semendo, serta yang dapat dimanfaatkan buahnya seperti duren, jengkol, dan petai. Untuk bertajuk sedang ada alpukat, aren, nangka, dan pinang. Sementara yang berstrata rendah adalah kopi.

Menjaga kelestarian hutan dengan metode kebun campuran atau agroforestri harus mereka lakukan, mengingat lahan tersebut berada di kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis.

Baca: Penjaga Bumi dari Lampung Barat

 

Ahmad Erfan memetik kopi di kebun agroforestri miliknya di Register 45B, Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat, Lampung. Foto: Chairul Rahman Arif/UKPM Teknokra

 

Kopi agroforestri

Kosasih menjelaskan, menanam kopi di hutan butuh perjuangan panjang. Mantan Kepala Pekon periode 1999-2005 ini menjelaskan, mayoritas masyarakat Tribudisykur memang menggantungkan hidupnya pada kopi sebagai pendapatan utama.

“Tahun 1994 kami diusir. Kebun kopi di sini semua ditebang habis oleh tentara gajah. Dari pengalaman itu kami tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada selembar kertas surat yang menerangkan bahwa kami sudah berizin,” ujarnya, pertengahan Juli 2020.

Keluarnya SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts- II/1998 memberikan angin segar kepada masyarakat Tribudisyukur. Mereka dapat kembali menanam kopi yang sempat dilarang. Tahun 2000 terbit izin sementara selama lima tahun.

Hal menggembirakan, tahun 2007, SK Permenhut No.37/Menhut-II/2007/Tentang Hutan Kemasyarakatan diterbitkan dalam bentuk izin HKm Bina Wana dengan masa kelola selam 35 tahun.

Di Hkm Bina Wana masing-masing anggota memiliki izin kelola lahan beragam. Kosasih sendiri mendapat 0,5 hektar. “Paling luas, maksimal empat hektar dan terkecil setengah hektar. Kalau dirata-rata 1,2 hektar. Untuk mewujudkan hutan lestari, tentunya peran masyarakat dan pemerintah harus berpadu.”

Dian Dinanta [40], Sekertaris HKm Bina Wana, menambahkan bahwa mengelola hutan negara ini menjawab dua sisi kepentingan, ekonomi dan kelestarian. Tentu saja, mengelola kopi dengan metode agroforestri berpengaruh pada pendapatan.

“Dari produktivitas, kopinya sedikit menurun. Namun, itu semua dapat ditutupi bahkan lebih, dari sumber tanaman pelindung lainnya seperti aren, durian, alpukat, dan lada.”

Dian menjelaskan, mengajak masyarakat mengolah lahan HKm dengan sistem agroforestri perlu strategi khusus. “Terlebih, untuk sekaligus kegiatan konservasi, harus bertahap mengenalkannya.”

Baca: Lampung Barat Sebagai Kabupaten Konservasi, Apa Tantangannya?

 

Kebun kopi agroforestri yang memberikan banyak manfaat bagi petani di Register 45B, Pekon Tribudisyukur, Kecamatan Kebon Tebu, Lampung Barat, Lampung. Foto: Chairul Rahman Arif/UKPM Teknokra

 

Tidak sembarang

Pekon Tribudisyukur bukan satu-satunya daerah yang menggunakan metode agroforestri. Ada juga lahan yang dikelola dengan metode kebun campuran, yaitu HKm Mitra Wana Lestari Sejahtera, di Register 45B, Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat, Lampung.

Ahmad Erfan [55], ketua kelompok tani ini mengatakan, di lahan seluas 262 hektar, dia bersama warga menanam pohon bertajuk tinggi, sedang, dan rendah. Erfan memanfatkan pohon bertajuk sebagai media tanaman lada yang dibiarkan merambat di batang serta ranting. Di sela kopi, dia juga menanam cabai. Dia menanam pohon-pohon itu pertama kali tahun 2003. Dalam satu hektar, jumlah pohon naungannya hingga 400 batang.

Dia juga merekomendasikan pohon sengon semendo, gleresidi, dan lamtoro hantu sebagai naungan. “Akarnya mengikat nitrogen, membantu menyuburkan tanah,”ungkapnya.

Terkait kopi, Erfan mengatakan, satu pohon dengan 25 ranting bisa menghasilkan minimal 1,7 kilogram. Dengan jarak tanam pohon 2×2 meter, satu hektar bisa ditanam sekitar dua ribu batang. Dengan asumsi harga kopi 20 ribu Rupiah per kilogram, satu hektar bisa menghasilkan 71 juta Rupiah.

“Belum kalau dihitung dari pendapatan lain,” jelasnya.

Baca juga: Cerita Mantan Pemburu, Bakar Hutan Mudahkan Perburuan di TN Way Kambas

 

Engkos Kosasih, Ketua HKm [Hutan Kemasyarakatan] Bina Wana di Register 45B, Pekon Tribudisyukur, Kecamatan Kebon Tebu, Lampung Barat, Lampung. Foto: Chairul Rahman Arif/UKPM Teknokra

 

Konservasi

Chirstine Wulandari, Ketua Yayasan Kehutanan Masyarakat Indonesia menjelaskan, secara sederhana agroforestri bisa berarti optimalisasi lahan dengan stratifikasi tajuk. Agroforestri bisa dibagi lagi menjadi agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks.

“Kompleks kalau jenis pohonnya banyak dan tinggi, tajuknya beragam.”

Ketua Program Studi Magister Kehutanan Universitas Lampung ini menjelaskan, perlu ada hak dan kewajiban masarakat ketika mengelola hutan negara. Salah satunya, dengan memperhatikan konservasi tanah dan air.

“Ada terasering, tidak boleh gulma dibersihkan, biar tidak terjadi erosi.”

Dia juga mengimbau masyarakat yang mengola hutan negara agar tetap patuh terhadap kebijakan pemerintah. “Manfaat lestarinya hutan tentu saja sangat bagi penting bagi masyarakat.”

Warsito, tokoh perhutanan sosial yang merupakan mantan Kepala Dinas Hutan Lampung Barat, mengatakan perlu melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan. Tentunya, dapat membantu meminimalisir berbagai gangguan.

“Kebakaran, pencurian kayu, pemburuan satwa dapat dipantau, setelah kelembagaanya dibentuk. Petani yang ada selain menjaga, tentunya juga berkepentingan mengelola hasil.”

 

Tanaman lada yang dapat dikembangkan dalam kebun agroforestri. Secara sederhana agroforestri bisa berarti optimalisasi lahan dengan stratifikasi tajuk. Foto: Chairul Rahman Arif/UKPM Teknokra

 

Lampung Barat sebagai kabupaten konservasi

Lampung Barat memiliki luas wilayah 206.440 hektar. Hutannya seluas 2.786,1 hektar berada di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan hutan lindungnya sekitar 49.919,5 hektar.

Kabupaten dengan motto Beguai Jejama [Bekerja Bersama] ini merupakan catchment area, sebagai daya dukung tiga daerah aliran sungai [DAS] yaitu Way Semaka, Mesuji—Tulang Bawang, dan Musi [Danau Ranau].

Selain itu juga, memiliki peran mendukung tiga cekungan air tanah [CAT] yaitu Danau Ranau, Kotabumi—Metro, dan Kota Agung. Penelitian Watala tahun 2010 menunjukan, hutan lindung register 45B, Bukit Rigis, Lampung Barat, yang masyarakatnya petani kopi agroforestri, serapan karbonnya mencapai sekitar 8 juta ton/hektar/tahun.

Okmal, Kepala Bappeda Lampung Barat mengungkapkan, Lampung Barat merupakan kabupaten yang dalam pembangun daerahnya menempatkan konservasi sebagai visi pembangunan daerah. Hal ini telah dituangkan dalam RPJPD Lampung Barat tahun 2005-2025.

“Salah satu upaya nyatanya adalah kesepakatan kemitraan konservasi, yaitu pemulihan ekosistem dan pemberdayaan ekonomi masyarakat,” ujarnya.

Kemitraan konservasi dilaksanakan dengan dibentuknya gugus tugas multipihak di TNBBS wilayah Lampung Barat melalui Kep. Dirjen KSDAE No. SK.3/KSDAE/KK/KSA.1/1/2020, pada 10 Januari 2020. Kemitraan konservasi didorong karena terdapat areal perkebunan kopi seluas 21.912 hektar di TNBBS.

Okmal menjelaskan, seluruh peserta kemitraan dibentuk kelompok tani kemitraan konservasi [KTKK] dengan kewajiban menanam pohon-pohon hutan di area terbuka dan area kurang produktif. Juga, melakukan pengawasan TNBBS, melaporkan terjadinya konflik satwa, serta tidak menambah luas garapan.

Upaya lain adalah alokasi dana desa untuk pembelian bibit. “Harapan dari ini semua, pemerintah dapat menjadikan Lampung Barat sebagai kabupaten tangguh bencana,” pungkasnya.

 

* Chairul Rahman Arif, jurnalis Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa Teknokra [UKPM Teknokra], Universitas Lampung. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version