Mongabay.co.id

Pengembangan Geowisata dan Ikhtiar Penyelamatan Karst Citatah

 

Kawasan perbukitan karst Citatah, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, kondisinya makin memprihatinkan. Lantaran, kawasan ini terus dieksploitasi demi kepentingan sesaat segelintir pihak, tanpa menghiraukan aspek pelestarian lingkungan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Polusi udara dan polusi suara, yang tentu saja sangat merugikan warga, menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan harian di kawasan ini. Pada saat bersamaan, seiring bertambahnya pabrik kapur dan marmer yang beroperasi di Citatah, semakin banyak warga kesulitan memperoleh air bersih, akibat rusaknya sumber-sumber air di daerah ini.

Padahal, banyak hal bermanfaat yang dapat diperoleh sekiranya seluruh perbukitan karst Citatah ini dijadikan kawasan wisata bumi [geotourism]. Wilayah akan terlindungi dan dapat dikelola baik dengan melibatkan penduduk lokal, ketimbang dijadikan pertambangan batu kapur seperti sekarang.

Selain itu, kawasan karst Citatah juga menjadi sumber peningkatan pembangunan sosial-ekonomi masyarakat setempat yang berkesinambungan. Tentunya, berfungsi sebagai wahana pendidikan dan konservasi yang tidak ternilai harganya.

Baca: Bernyali Ditengah Senjakala Tebing Kapur Rajamandala

 

Dua wisatawan menikmati panorama Taman Batu, Citatah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Taman Batu merupakan bagian dasar laut purba yang airnya surut akibat pergeseran tanah dan letusan hebat gunung api di masa silam. Foto: Djoko Subinarto

 

Relatif baru

Dalam khazanah pariwisata, wisata bumi sesungguhnya tergolong konsep yang relatif baru. Jagat pariwisata mulai mengenal istilah ini tahun 2002, tatkala National Geographic Traveler yang berbasis di Amerika Serikat melakukan sebuah kajian khusus tentang wisata bumi.

Hasil riset itu melahirkan sebuah batasan tentang wisata bumi, yaitu wisata yang mendorong atau meningkatkan karakter geografis, lingkungan, warisan pusaka, estetika, kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat dari sebuah tempat.

Karakter geografis, dalam hal ini, menjadi semacam payung yang menyatukan elemen-elemen lainnya. Makna geografis bukan hanya menyangkut sebuah tempat itu berada, namun juga terkait apa yang menjadikan sebuah tempat itu berbeda dengan tempat-tempat lainnya. Dihubungkan juga dengan aspek struktur historis, geologis, arkelogis, flora-fauna, kondisi lanskap, arsitektur, maupun hasil-hasil seni-budaya lainnya.

Para praktisi wisata bumi berpendapat, konsep ini merupakan wisata berkesinambungan [sustainable tourism]. Dalam artian, daerah tujuan wisata harus tetap dijaga dan dilestarikan untuk kepentingan generasi berikutnya. Dengan demikian, berbagai warisan budaya dan berbagai kearifan lokal ikut terlindungi dan terjaga. Adapun pendapatan dari wisata harus diarahkan untuk menjalankan program-program konservasi.

Baca juga: Eksploitasi Karst Citatah, Kegiatan Merusak yang Mengundang Bencana

 

Asap hitam menghiasi salah satu sudut kawasan Citatah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Keberadaan pabrik kapur dan marmer yang beroperasi menyumbang peningkatan polusi udara dan polusi suara di daerah ini. Foto: Djoko Subinarto

 

Cherryl M Hargrove [2007] menyebutkan, langkah awal pengembangan wisata bumi adalah mengenali terlebih dahulu aset alam, budaya maupun sejarah yang khas dan potensial dari sebuah tempat. Setelah itu, barulah dilakukan langkah-langkah mempertahankan, mengembangkan, dan memasarkan aset-aset itu.

Akan lebih baik dalam pengembangan wisata bumi ini melibatkan sebuah dewan khusus gabungan pemerintah dan swasta yang anggotanya mewakili daerah tujuan wisata potensial. Tentunya, daerah yang memiliki berbagai kekhasan dalam soal panorama, budaya, masakan, alam bebas, rekreasi, cerita rakyat, musik, teater dan sejarah, maupun sistem tata pemerintahan serta sistem usaha [Tourtellot, 2008].

Menurut National Geographic Society, dalam mengembangkan dan mengelola wisata bumi, paling tidak kita harus bersandar pada beberapa prinsip yang harus diperhatikan.

Pertama, meningkatkan karakter geografis dengan jalan mengembangkan dan meningkatkannya, sehingga benar-benar khas serta mencerminkan warisan pusaka budaya dan alam, yang pada gilirannya menciptakan diferensiasi pasar dan kebanggaan kultural.

Kedua, mematuhi prinsip-prinsip kode etik Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-bangsa [United Nations World Tourism Organization] dan menjunjung tinggi charta dari Dewan Monumen dan Situs Internasional [International Council on Monuments and Sites].

Ketiga, menciptakan segmentasi dan keberagaman pasar serta menjamin kepuasan wisatawan, sehingga menjaga kesinambungan permintaan pada daerah tujuan wista.

Keempat, melibatkan masyarakat dalam bentuk usaha kecil dan kemitraan yang mendorong berkembangnya usaha masyarakat seperti dalam bidang makanan-minuman, kerajinan, seni pertunjukan dan sebagainya sehingga menguntungkan masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial.

 

Kelompok pencinta alam beraktivitas di Tebing 125, Citatah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Pelestarian kawasan karst Citatah penting dilakukan demi pengembangan keilmuan. Foto: Djoko Subinarto

 

Kelima, perlindungan dan pembatasan penggunaan lahan untuk mempertahankan habitat alami, situs budaya, estetika dan budaya lokal sehingga menghindari pembangunan yang tidak diharapkan dan menghindari terjadinya degradasi lingkungan.

Keenam, konservasi sumber alam untuk meminimalisir terjadinya polusi udara, penimbunan sampah, konsumsi energi berlebihan, penumpukan zat-zat kimia dan polusi cahaya.

Ketujuh, perencanaan dan interaksi. Upayakan menciptakan diversifikasi perekonomian. Terapkan strategi untuk memperkecil kemungkinan praktik-praktik yang yang tidak selaras dengan konsep wisata bumi dan merusak citra daerah tujuan wisata.

Di sisi lain, intensifkan interaksi antara pengunjung [wisatawan] dan tuan rumah daerah tujuan wisata. Dorong warga agar mampu menunjukkan warisan pusaka alam dan budayanya sehingga wisatawan mendapatkan pengalaman lebih kaya dan warga mendapatkan kebanggaan terhadap berbagai pengetahuan lokalnya.

Kedelapan, evaluasi. Lakukan proses evaluasi dengan teratur, sinambung dan mandiri yang mewakili semua pemangku kepentingan yang terlibat.

 

Sebuah truk membawa bongkahan batu gamping melintas di Jalan Raya Citatah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Masifnya penambangan batu gamping di Citatah dikhawatirkan bakal semakin menimbulkan kerusakan lingkungan di kawasan ini. Foto: Djoko Subinarto

 

Sebelum terlambat

Menilik karakter geografis, struktur historis, geologis, arkelogis, flora-fauna, kondisi lanskap, arsitektur maupun hasil-hasil seni-budaya lainnya, kawasan perbukitan karst Citatah saat ini sesungguhnya memiliki cukup peluang untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bumi.

Tinggal sekarang, sebelum semakin terlambat dan kawasan ini semakin rusak dan akhirnya hancur tanpa sisa, segenap pemangku kepentingan harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan, mengembangkan dan mengelola potensi wisata bumi ini dengan sebaik-baiknya.

Dengan begitu, keindahan alam, warisan budaya dan kearifan lokal yang ada di kawasan karst Citatah, tetap terpelihara.

 

*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis. 

 

 

Exit mobile version