Mongabay.co.id

Ini Tantangan Pembudidaya Kerang Hijau di Gresik

 

Tangan Nur Biatin tampak cekatan mengelupas satu per satu daging kerang hijau dari cangkang ke sebuah ember berbahan plastik. Matanya cermat menatap kerang yang mempunyai nama latin Perna viridis itu. Sesekali ia mengusap wajahnya di saat keringat bercucuran.

Bersama empat rekannya, perempuan 35 tahun ini mengaku kesibukan yang dilakukan ini merupakan pekerjaan sampingan, profesi utamanya yaitu menjadi tukang urut.

“Sudah rutinitas setiap hari, sedikit banyaknya tergantung pendapatan nelayan yang membudidayakan kerang, rata-rata 30 kilogram, sedikitnya 15 kilogram. Itu yang sudah dikupas jadi daging,” jelas Nur, panggilan akrabnya di sela-sela kegiatannya itu di Dusun Banyulegi, Desa Banyuurip, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Minggu (26/07/2020).

Perempuan yang mengaku baru dua tahun menjadi buruh kupas kerang hijau ini melanjutkan, untuk sekarang pendapatan nelayan pembudidaya kerang yang dikenal juga sebagai green mussels ini masih sedikit. Karena saat ini banyak yang mati karena sedang tidak musimnya. Puncak ramainya, kata dia, pada bulan September mendatang.

Nantinya, kerang hijau yang sudah di kupas itu kemudian disetorkan ke pengepul setempat. Setelah itu kemudian dikirim ke Surabaya, Bali dan Jakarta. Bagi Nur dengan adanya aktivitas sampingan ini bisa membantu meringankan beban suami mencari nafkah. Dia mendapat upah Rp3.000/kg. “Lumayan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, paling tidak cukup untuk keperluan dapur,” imbuhnya.

baca : Tak Ada Lagi Kerang di Pesisir Makassar

 

Sejumlah buruh di Desa Banyuurip, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jatim, mengelupas daging kerang hijau dari cangkangnya untuk di setorkan ke pengepul setempat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Proses Budidaya

Awalnya, budidaya kerang hijau ini ada karena para petani tambak bandeng sulit mencari benih dan biaya pakan yang cukup tinggi. Sehingga memberatkan para petani tambak. Bagi para nelayan, terkadang tidak bisa melaut disebabkan kondisi ombak yang cukup besar. Sehingga para nelayan dan petani tambak ini kemudian mempunyai inisiatif untuk mencari terobosan untuk mengingkatkan penghasilan mereka.

Pada akhirnya muncul rencana untuk budi daya kerang hijau. Mulanya, kerang hijau merupakan penghasilan sampingan. Namun, karena dirasa menguntungkan sehingga semakin banyak diantara warga setempat menjadikannya sebagai sumber penghasilan utama.

Aris Setia Rahman, pembudi daya kerang hijau menjelaskan, untuk pemeliharaan kerang yang termasuk kelas Pelecypoda ini tidak terlalu sulit. Benihnya sudah disediakan oleh alam. Selain itu, tidak membutuhkan pakan. “Pada prinsipnya usaha ini hanya pembesaran saja,” ujar pria 37 tahun ini.

baca juga : Kerang Menghilang, Nelayan Mulai Mencari Teripang

 

Saat ini pendapatan nelayan pembudidaya kerang yang dikenal juga sebagai green musseis di Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik, Jatim, ini masih sedikit. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Pembudidayaan kerang ini hanya membutuhkan bambu untuk menempel kerang, kemudian mengawasinya sampai besar, berikutnya panen.

Waktu panen juga bisa seenaknya, tidak terpatok pada jam-jam tertentu. Namun, rata-rata dari pembudi daya ini berangkat sebelum matahari terbit. Sementara proses pembuatan rumpon atau tempat untuk budi daya kerang ini mereka menggunakan bambu yang dirakit di laut, berbentuk kotak dengan ukuran 10×10 meter.

Rumpon ditempatkan pada kedalaman sekitar 6-7 meter. Bambu-bambu tersebut diikat menggunakan kali agar kerang hijau bisa menempel. Selepas itu tinggal mengawasi, dan menunggu sekitar 5 sampai 6 bulan baru bisa panen. “Pilihan tempatnya berlumpur, bukan karang,” tutur pria yang mempunyai 3 rumpon ini.

Awet tidaknya rumpon, lanjut dia, tergantung pada keadaan cuaca dan kualitas bambu. Saat musim angin barat bambu yang ditancap itu bisa rusak total diterjang ombak. Datangnya pada bulan November sampai dengan bulan Maret. Ketika musim ini banyak bambu yang tidak kuat.

Sementara, untuk pembuatan rumpon satu unitnya bisa menghabiskan biaya Rp4 juta. sekita 8 bulan harus siap diganti. Jika musim angin barat, banyak pembudi daya yang menganggur sampai 3 bulan baru memulai lagi.

menarik dibaca : Melestarikan Kerang Laut Abalon yang Sangat Mahal di Meja Makan Restoran

 

Nelayan pembudidaya membawa karung berisi kerang hijau. Untuk pemeliharaan kerang yang termasuk kelas Pelecypoda ini tidak terlalu sulit. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Limbah Jadi Masalah

Kerang merupakan sumber daya hayati laut yang banyak tersedia di perairan pesisir kabupaten yang terletak di sebelah barat laut Kota Surabaya ini. Kerang hijau mudah dibudidayakan.

Selain itu juga ramah lingkungan dan murah karena dalam proses budidayanya tidak membutuhkan pakan. Kerang hijau merupakan salah satu jenis kerang yang banyak digemari masyarakat. kerang jenis ini juga mempunyai nilai ekonomis baik untuk kebutuhan dalam negeri ataupun ekspor.

Sahri Alfi, pembudidaya lain bercerita, dulu jika dirupiahkan satu rumponnya bisa menghasilkan Rp30-40 juta. Namun, mulai tahun 2015 penghasilan mereka mulai menurun drastis hingga 50 persen, bahkan bisa lebih.

Menurut dia perubahan terjadi semenjak adanya pencucian kapal tongkang di area budidaya mereka. Sehingga limbahnya mencemari air laut. Dampaknya, kerang banyak yang mati. Penyakit lain, kerang dengan kondisi masih kecil tiba-tiba merosot sendiri, tidak lagi menempel di bambu.

“Ada kulit tapi tidak ada isinya. Warnanya juga ada yang berubah hitam, kalau sudah begitu tidak tahan lama. Nelayan kecil kerja di laut tantangannya semakin berat,” keluh pria 38 tahun ini. Sahri yang mengaku membudidayakan kerang hijau sejak 2008 ini berharap pemilik kapal-kapal tongkang itu lebih memperhatikan limbahnya.

Selain itu juga bertanggung jawab atas limbah yang sudah dihasilkan. Permasalahan lain yang dihadapi saat ini juga semakin banyaknya pembangunan pengeboran minyak di area mereka. “Kalau harganya bagus, tapi barang sudah mulai susah,” tutupnya.

baca juga : Bagaimana Menjaga Kerang Mutiara Lombok dari Kepunahan?

 

Nelayan melintas di kawasan rumpon yang digunakan untuk budidaya kerang hijau di Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik, Jatim. Rumpon-rumpon ini terbuat dari bahan bambu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Gresik, Choirul Anam saat dihubungi Selasa (04/08/2020) menjelaskan sudah ada satuan tugas (Satgas) yang menangani pemanfaatan ruang laut dan juga pemanfaatan terhadap pesisir pantai, termasuk timnya. Terkait dengan limbah tersebut, menurutnya, itu merupakan tanggung jawab dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemkab Gresik.

Namun demikian, katanya, selama ini dari nelayan belum ada yang mengadukan terkait adanya limbah yang mencemari wilayah mereka. “Biasannya, jika ada pengaduan dari nelayan, besoknya langsung saya tugaskan kawan-kawan di lapangan. Minimal dua orang,” kata pria yang pernah menjabat camat Ujung Pangkah, Gresik ini. Sehingga, lanjutnya, jika ada permasalahan baiknya para pembudi daya kerang melaporkan ke pihak-pihak terkait.

Sedangkan produksi kerang di Kabupaten berjuluk kota santri ini, lanjut Choirul, setiap tahun mengalami peningkatan. Pada 2018, produksi kerang sekitar 7 ribu ton per tahun, kemudian pada tahun 2019 naik kurang lebih 8 ribu ton. Berdasarkan laporan tim di lapangan, katanya, untuk tahun 2020 ini juga akan mengalami kenaikan hingga 9 ribu ton.

 

Untuk memanen kerang hijau (Perna viridis), nelayan menggunakan perahu sebagai alat transportasi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version