Mongabay.co.id

PBNU : Ekspor Benih Lobster Harus Dihentikan, karena Mengancam Keberlanjutan

Sebanyak 202 ribu benih lobster jenis mutiara dan pasir hasil sitaan dilepasliarkan di kawasan konservasi TWP Pieh, Pariaman. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Indonesia harus bisa memprioritaskan kegiatan budi daya lobster untuk bisa dilaksanakan di dalam negeri dan menghentikan kegiatan ekspor benih bening Lobster (BBL). Seluruh BBL yang ada saat ini, harus bisa dimanfaatkan untuk kegiatan budi daya di seluruh Indonesia.

Hal itu merupakan poin pertama dari kesimpulan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) yang tercantum dalam surat keputusan yang ditandatangani Ketua LBM PBNU KH M. Nadjib Hassan dan Sekretaris H.Sarmidi Husna, MA di Jakarta, pada Selasa (4/8/2020). Surat Keputusan LBM PBNU tentang Kebijakan Ekspor Benih Lobster

LBM merupakan majelis musyawarah resmi para ulama NU yang membahas persoalan agama, sosial, politik, dan semua aspek kehidupan dari perspektif fikih.

Sebelumnya LBM PBNU menggelar diskusi daring bertema “Telaah Kebijakan Ekspor Benih Lobster” pada Kamis (23/7/2020), yang menghadirkan Pengurus PBNU, praktisi, perwakilan pemerintah, peneliti, aktivis hingga Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019.

baca : Ketika Susi Pudjiastuti Ikut Bahas Polemik Ekspor Benih Lobster

 

Benih lobster mutiara ini diperkirakan nilainya Rp130 ribu per ekor dan dijual ke Vietnam. Benih tersebut berhasil digagalkan dari penyelundupan lewat Bandara Ngurah Rai Bali pada April 2017. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Hasil diskusi tersebut selanjutnya dibahas oleh LBM PBNU dengan menghasilkan empat kesimpulan mengenai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan.

Dalam poin pertama kesimpulan ditambahkan LBM PBNU meminta seluruh BBL yang ada diprioritaskan untuk dikelola di dalam negeri saja dan bukan dikirim melalui jalur ekspor ke negara lain seperti Vietnam, yang bakal menguntungkan negara kompetitor Indonesia.

Poin kedua adalah tentang pemanfaatan BBL yang berasal dari hasil tangkapan nelayan kecil. Untuk poin ini, LBM PBNU meminta agar praktik jual beli BBL yang berasal dari nelayan kecil bisa tetap difasilitasi.

Akan tetapi, seluruh BBL yang berasal dari nelayan kecil hanya boleh dibeli jika untuk dimanfaatkan sebagai bagian dari kegiatan budi daya BBL di dalam negeri. Jika itu dilakukan hanya untuk kepentingan rencana ekspor, maka pembelian BBL dari nelayan kecil tidak boleh terjadi.

Poin tersebut menjelaskan bahwa transaksi jual beli BBL dari nelayan kecil boleh untuk dilakukan hanya untuk kegiatan budi daya di dalam negeri saja. Jika ingin melaksanakan ekspor, maka pengusaha harus bersabar untuk menunggu lobster mencapai ukuran ideal sesuai standar ekspor.

“Dalam bentuk Lobster dewasa. Ekspor Lobster dewasa harus diprioritaskan, bukan ekspor benih bening Lobster. Dengan demikian, tidak ada larangan dan diskriminalisasi sebagaimana Permen KP Nomor 56 Tahun 2016,” jelas LBM PBNU.

Kemudian, untuk poin ketiga, LBM PBNU menyetujui pemanfaatan BBL untuk kegiatan budi daya di dalam negeri. Termasuk, dengan menerbitkan syarat kuota dan lokasi untuk penangkapan BBL sesuai hasil kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas KAJISKAN).

Bagi LBM PBNU, penerbitan syarat kuota dan lokasi merupakan langkah yang benar, karena itu menjadi upaya protektif agar tidak sampai terjadi penangkapan BBL secara liar tanpa batasan. Selain itu, pemberlakuan syarat agar nelayan kecil harus terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan, itu juga merupakan syarat yang tidak bertentangan.

“Itu merupakan mekanisme verifikasi untuk memastikan bahwa mereka betul-betul nelayan kecil, bukan nelayan abal-abal,” demikian tambahan poin tiga.

baca juga : Ada Indikasi Pelanggaran Hukum dalam Kegiatan Ekspor Benih Lobster

 

Bibit lobster jenis pasir yang ditangkap nelayan di Pulau Lombok, NTB. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pengawasan

Terakhir, atau poin empat, LBM PBNU menyatakan bahwa tujuan pengaturan restocking itu baik, sesuai dengan tujuan untuk menjaga ketersediaan dan keberlanjutan Lobster. Tetapi, dalam pelaksanaannya itu perlu diawasi secara bersama.

“Beberapa catatan kritis pada Permen KP 12/2020 sebagian besar terkait dengan implementasi peraturan ini,” tambah LBM PBNU.

Dalam surat keputusan LBM PBNU No.06/2020 tentang Kebijakan Ekspor Benih Lobster yang diterima Mongabay, ada lima poin secara keseluruhan yang juga menjadi hasil dari diskusi daring pada 23 Juli 2020. Dari kelimanya, ada pembahasan tentang kebijakan ekspor BBL pada poin kelima.

Dalam pandangan LBM PBNU, kebijakan ekspor jika dilaksanakan dalam skala masif akan mempercepat kepunahan, bukan hanya benihnya saja, namun juga lobsternya. Dampak negatif itu akan dirasakan juga oleh para nelayan yang terbiasa memanfaatkan BBL untuk mendapatkan penghasilan.

“Karena kebijakan demikian berdampak buruk bagi para nelayan yang hidup pada generasi setelahnya yang tidak dapat menikmati Lobster. Begitu juga akan berdampak pada pendapatan mereka,” demikian bunyi tambahan poin lima.

Selain itu, kebijakan ekspor juga akan bertentangan dengan salah satu poin dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Poin yang dimaksud, adalah melestarikan dan menggunakan samudera, lautan, serta sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan.

LBM PBNU berpandanganan, kebijakan ekspor BBL yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia harus mempertimbangkan aspek bermanfaat dan tidak.

perlu dibaca : Menyelamatkan Benih Lobster dari Eksploitasi Eksportir

 

Nelayan menunjukkan lobster jenis mutiara hasil tangkapannya di di Pelabuhan Perikanan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri KKP Agung Tri Prasetyo langsung memberikan tanggapan terkait hasil diskusi yang diterbitkan LBM PBNU. Menurut dia, KKP memprioritaskan BBL untuk dijadikan komoditas budi daya di dalam negeri.

“Soal ekspor itu langkah sementara sambil menunggu kesiapan sarana dan prasarana budidaya di tanah air,” kata Agung dalam keterangan tertulis Rabu, 5 Agustus 2020, seperti dilansir tempo.co.

Agung menjelaskan, kebijakan ekspor BBL ditetapkan oleh KKP, karena stok di alam berlebih dan BBL yang sudah ditangkap oleh nelayan belum bisa ditampung di pembudi daya.

Di sisi lain, katanya, kemampuan budidaya di dalam negeri memiliki keterbatasan dalam penyerapan benih lobster tersebut. Pemanfaatan sumber daya itu, menurutnya, menjadi peluang bagi nelayan di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi covid-19, tanpa membahayakan kelestariannya

“Permen KP 12/2020 diharapkan memacu roda ekonomi,  terutama nelayan penangkap benih. Juga budidaya perikanan untuk membuka lapangan kerja baru,” ujarnya.

baca juga : Edhy Prabowo: Kebijakan Ekspor Benih Lobster Sudah Benar

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo panen lobster saat berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Monopoli

Sebelumnya, dalam diskusi daring yang digelar LBM PBNU, Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim dan Kemanusiaan menyebutkan ada dugaan praktik monopoli dan oligopoli dalam kegiatan ekspor BBL yang berlangsung setelah Permen KP 12/2020 diterbitkan. Dugaan itu muncul, karena harga BBL di tingkat nelayan mencapai kisaran Rp3.000-Rp4.500 dan kemudian naik 5-6 kali lipa di tingkat penampung.

“Harga tersebut akan semakin jauh melambung jika BBL sudah masuk ke Vietnam dan dibesarkan oleh perusahaan budi daya di sana,” jelas dia.

Di sisi lain, Halim mengingatkan bahwa Vietnam adalah salah satu negara yang pernah mendapat peringatan dari Uni Eropa karena terbukti sudah terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, tak terlaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF) pada 2017 lalu.

“Dalam konteks itu, yang perlu kita lakukan adalah menghadirkan tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab. Tidak hanya ekspor, produksi atau PNBP (pendapatan Negara bukan pajak),” paparnya.

Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menerangkan, berlakunya kebijakan ekspor BBL dikhawatirkan akan memicu kesenjangan pendapatan antara nelayan penangkap dengan pengusaha yang menjadi eksportir BBL.

Selain karena pendapatan Negara dari ekspor BBL sampai sekarang masih terbilang kecil, kesenjangan bisa muncul, karena nelayan kecil yang berperan sebagai penangkap BBL akan diposisikan sebagai buruh saja yang menjual hasil tangkapan kepada perusahaan.

menarik dibaca : Benih Lobster Dieksploitasi, Berbahayakah Secara Ekologi?

 

Lobster hasil penangkapan di laut. Foto : KKP

 

Di mata dia, nelayan tetap menjadi subordinat, karena BBL hasil tangkapan mereka akan dibeli oleh pengusaha dan kemudian dimasukkan ke dalam keramba jaring apung keramba jaring apung (KJA) milik mereka.

“Ini adalah pola, kalau tidak ada sistem dan monitoring yang benar, akan kecolongan. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) harus berdiri dan berposisi sebagai pemegang mandat atas dasar kedaulatan dan kesejahteraan,” ujarnya.

Susan menilai, dalam kondisi seperti itu seharusnya KKP bisa berperan sebagai penguat koperasi nelayan dan menegakkan kedaulatan bangsa di mata dunia. Hal itu sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Terlebih, setelah Permen KP 12/2020 diterbitkan, kegiatan ekspor BBL langsung dilaksanakan tanpa menunggu pelaksanaan budi daya hingga berhasil panen hingga tiga kali. Padahal, untuk bisa sekali panen diperlukan waktu minimal delapan bulan.

“Itu artinya perusahaan baru bisa melaksanakan ekspor itu minimal dua atau tiga tahun mendatang,” tegasnya.

 

***

 

Keterangan foto utama : Sebanyak 202 ribu benih lobster jenis mutiara dan pasir hasil sitaan dilepasliarkan di kawasan konservasi TWP Pieh, Pariaman. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version