Mongabay.co.id

Persoalan Pariwisata, Air, dan Gender: Kaitan dan Urgensinya

Pariwisata adalah industri yang menggunakan air dalam skala besar. Studi menunjukan bahwa penggunaan air per kapita untuk keperluan pariwisata melebihi penggunaan untuk kebutuhan domestik. Perkembangan pariwisata yang tidak terkendali dapat memengaruhi kuantitas dan kualitas air di suatu destinasi wisata seperti: pencemaran air, penyusutan ketersedian air, hingga konflik akses terhadap air.

Pertumbuhan pariwisata global serta berbagai aktivitasnya, yang semakin banyak menggunakan air, terjadi bersamaan dengan perubahan dalam sistem iklim global yang mengarah pada menurunnya sumber daya air di banyak destinasi wisata.

Hasil penelitian yang dilansir ITP (2018) menunjukan bahwa 12 destinasi di 6 negara memiliki resiko kerentanan air yang sangat tinggi (extremely high water stress). Besarnya permintaan air selama musim wisata (yang kerap kali bersamaan dengan musim kemarau) memaksa pengelola destinasi dan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan air bagi keperluan pariwisata dan tidak menjadi masalah bagi penduduk lokal.

Konsumsi air di suatu destinasi wisata turut dipengaruhi faktor iklim, musim wisata, norma setempat, serta jenis, ukuran, dan lama operasi dari berbagai fasilitas akomodasi (hotel dan sejenisnya). Pada sebagian besar negara di mana sektor pariwisata adalah pengguna air yang signifikan, perubahan iklim diproyeksikan akan memperburuk kelangkaan air.

Baca juga: Era Kenormalan Baru dan Prinsip Fundamental Ekowisata

 

Mural karya André Bazán’s yang menggambarkan konflik air antara warga dan industri pariwisata di Playa Potrero, Guanacaste, Costa Rica. Dok: Ernest Cañada.

 

Potret Indonesia

Merujuk pada lansir resmi Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif, hubungan pariwisata dan air tampak lebih diarahkan kepada pengembangannya sebagai daya tarik sembari dijaga kelestariannya. Sementara itu, penelusuran melalui Google Cendekia dengan kata kunci pariwisata dan air menunjukan bahwa pokok bahasan terhadap kedua tema tersebut didominasi oleh pengembangan dan promosi daya tarik wisata air.

Terdapat sedikit pembahasan tentang dampak terhadap kuantitas dan kualitas air di suatu destinasi, dan tidak ada sama sekali yang membahas dari sisi gender dan perubahan iklim.

Dalam kasus Bali, penggunaan air tanah yang berlebihan oleh industri pariwisata berdampak terhadap menurunnya permukaan air tanah, intrusi air asin, penurunan permukaan tanah, dan kualitas air yang memburuk. Merujuk pada data Kajian Lingkungan Hidup Strategis Bali, beberapa wilayah seperti Jembrana, Buleleng, dan Bangli telah mengalami eksploitasi air tanah yang membahayakan.

Selain itu wilayah seperti Nusa Penida dan Karang Asem teridentifikasi memiliki jumlah ketersediaan air yang kritis. Sedangkan akuifer di wilayah Badung dan Klungkung telah mengalami intrusi air asin.

Saat ini, sebagaimana dilansir dalam ITP-Destination Water Risk Index, Bali telah menempati peringkat pertama sebagai destinasi yang paling rentan (extremely high) terhadap tekanan air (water stress). Selain itu, tiga destinasi di Indonesia (Surabaya, Jakarta, dan Bandung) juga termasuk dalam kategori sangat rentan terhadap tekanan air di masa depan (future water stress), suatu peringkat yang tidak dapat dibanggakan.

Lebih lanjut, relasi antara pariwisata dan air kerap menimbulkan masalah serius terhadap hak/akses atas air bagi masyarakat lokal. Di Yogyakarta, misalnya, sejak tahun 2014 gerakan dari berbagai elemen masyarakat telah menyerukan agenda tata kelola air yang berkeadilan yang berbasis pada partisipasi warga di tengah-tengah masifnya pengembangan pariwisata.

Sementara itu di Labuan Bajo, pesatnya perkembangan pariwisata menjadikan perempuan sebagai korban dan penanggung beban terbesar akibat kerasnya perjuangan akses atas air. Hal tersebut disebabkan urusan air paling banyak dibebankan kepada perempuan. Tekanan untuk mengelola kebutuhan air yang semakin sulit—akibat meningkatnya kebutuhan air sektor pariwisata—pun berdampak terhadap kesejahteraan emosional, fisik, dan finansial perempuan.

Baca juga: Begini Tren Pariwisata di Labuan Bajo Pasca Pandemi

 

Pemandangan gugusan pulau di wilayah Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto: Kusnanto/WWF Indonesia

 

Urgensi Pembahasan Pariwisata, Air, dan Gender

Studi akademis dan sistematis terhadap persoalan gender di sektor pariwisata baru mulai mengemuka sekitar tahun 1990, dan tiga puluh tahun kemudian, perempuan masih mengalami ketidakadilan.

Sebagaimana dilaporkan oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO), perempuan didapati menerima bayaran yang lebih rendah daripada laki-laki dan lebih banyak melakukan pekerjaan tanpa keahlian khusus, walau secara jumlah perempuan mencakup kisaran 54 persen dari total tenaga kerja pariwisata.

Dengan tidak menafikan bahwa terdapat potensi penguatan kapasitas dan partisipasi perempuan di dalam dan melalui kepariwisataan, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pariwisata masih dihegemoni oleh logika ekonomi maskulin.

Hal tersebut kemudian menarik berbagai komentar kritis terhadap konsep penguatan kapasitas perempuan yang pertama kali tidak diarahkan kepada semata-mata partisipasi dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, melainkan kepada seluruh proses sosial-politik di mana inti perjuangannya adalah tentang memberikan kekuatan pada perempuan untuk berpartisipasi secara setara dan adil.

Singkatnya, kesetaraan gender adalah tentang kesetaraan terhadap berbagai pengambilan keputusan, kekuasaan politis, sumber daya, serta hak dan kewajiban baik pada ranah privat dan publik.

Namun ironisnya, dalam urusan air secara global, perempuan dan anak perempuan adalah pengelola dan penanggung jawab air di 80% rumah tangga, dan mereka adalah kelompok yang paling menderita ketika air salah dikelola. Perempuan juga menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan yang lebih besar ketika sistem air dan sanitasi mengalami kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim..

Selain itu, salah satu dampak dari kelangkaan air pada rumah tangga adalah meningkatnya kekerasan berbasis gender, sedangkan perubahan iklim juga akan meningkatkan kerentanan kelompok yang terpinggirkan dan memengaruhi relasi gender serta hubungan sosial.

Lebih lanjut, dalam hal kepariwisataan dan air, perempuan kerap kali terabaikan dari perencanaan pariwisata atau distribusi air, dan pengembangan pariwisata secara dramatis meningkatkan biaya hidup (termasuk biaya air).

Meningkatnya biaya hidup pada akhirnya mendorong perempuan untuk melakukan pekerjaan yang eksploitatif dan memberikan beban ganda karena tanggung jawab atas seluruh pekerjaan rumah tangga. Tanggung jawab atas air juga mencegah perempuan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan di luar rumah yang pada akhirnya melanggengkan ketidakadilan gender.

Dengan demikian, persoalan gender dalam kaitannya dengan pariwisata dan air sudah sepatutnya mendapatkan perhatian serius.

Baca juga: Pengetahuan Perempuan Sangat Dibutuhkan untuk Menyelamatkan Situs Warisan Dunia

 

Warga Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat, melakukan Ngemban Taun.Pariwisata. Pariwisata selain memiliki dampak baik untuk peningkatan sosial ekonomi masyarakat, jika tidak diantisipasi akan terjadi degradasi lingkungan, secara khusus sumber daya air.  Foto: Djoko Subinarto

 

Apa Selanjutnya?

Seiring dengan dinamika pariwisata global dan kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan berbagai destinasi baru, beberapa agenda penting untuk diajukan dalam kaitannya dengan relasi pariwisata, air, dan gender.

Pertama, mempromosikan hubungan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 5 (Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum Perempuan) dan 6 (Menjamin Ketersediaan serta Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi yang Berkelanjutan untuk Semua) di setiap destinasi.

Secara geografis, prioritas terhadap agenda pertama ini perlu diberikan kepada berbagai destinasi pesisir. Destinasi pesisir memiliki kerentanan akibat perubahan iklim yang dapat berdampak terhadap dinamika kelangkaan air dan problem relasi gender. Dengan demikian, promosi agenda pertama terkait juga dengan SDG 13 (Mengambil Tindakan Cepat untuk Mengatasi Perubahan Iklim dan Dampaknya).

Kedua, memperbanyak eksplorasi tentang irisan berbagai pengalaman perempuan terkait pariwisata dan air. Hal ini diperlukan karena pengalaman perempuan yang tidak monolitik, melainkan bersinggungan dengan kategori identitas seperti etnis, jenjang kehidupan (life stages), dan pekerjaan. Eksplorasi semacam ini juga perlu menelisik tambahan beban kerja yang tidak berbayar manakala perempuan harus bersaing dengan industri pariwisata untuk mendapatkan pasokan air.

Ketiga, penting juga diungkapkan tentang kerawanan air (water insecurity) dan kekerasan berbasis gender yang terjadi akibat beban pengelolaan air. Keempat, mendorong keterlibatan perempuan dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan pariwisata dan air. Pada titik ini, peran kolaboratif dan sinergi dari berbagai kelompok gerakan (perempuan, hak asasi manusia, dan organisasi kepariwisataan) menjadi penting untuk mendorong partisipasi perempuan yang lebih besar di luar keterlibatan ekonomi semata.

 

Referensi:

Cole, S. K. G. et al. (2020) ‘“Tourism, water, and gender”—An international review of an unexplored nexus’, WIREs Water, (January), pp. 1–16. doi: 10.1002/wat2.1442.

 

* Penulis:

1) Stroma Cole, Co-Director Equality in Tourism dan Dosen di University of the West of England, Bristol. Editor buku Gender Equality and Tourism: Beyond Empowerment (CABI, 2018). 
2) Ernest Cañada, Peneliti dan komunikator sosial. Bergiat di Alba Sud, Spanyol. 
3) Yue Ma, Dosen di University of Tasmania. Bidang pendalaman: Pariwisata dan Masyarakat. 
4) Yesaya Sandang, Dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Bidang pendalaman: Pariwisata dan Hak Asasi Manusia. 

 

 

Exit mobile version