Mongabay.co.id

Bakau dan Rempah Pernah Jayakan Nusantara, Mampukah Kita Mengulangnya?

Indonesia memiliki keragaman jenis mangrove yang tinggi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Baca sebelumnya: LIPI : Jejak Peradaban Nusantara Ternyata Terkait Erat dengan Mangrove

**

Nusantara merupakan bagian dari sejarah peradaban besar bangsa Austronesia dan Melanesia. Yakni peradaban “amfibi” yang hidup di air dan darat. Peradaban besar itu diraih karena keberadaan bakau dan rempah. Mampukah Indonesia mengembalikan kejayaan itu?

Demikian pemikiran Ary Prihardhyanto Keim, Etnobiolog dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, yang dipetik Mongabay Indonesia dari dua makalahnya, yakni “Minangkabau di Jalur Rempah Dunia” [2019] dan “Bakau & Peradaban Besar Austronesia: Kajian Etnobiologi” [2020].

Ary menceritakan bangsa Austronesia berasal dari Asia Tengah, Denovisian, menuju ke anak benua Sundaland sekitar 25 ribu tahun sebelum masehi [SM]. Leluhur Austronesia ini terpisah dengan saudaranya Mongoloid Utara pada masa yang sama.

Di Sundaland, yang terdapat banyak pulau, bangsa Austronesia beradaptasi dengan alam, terutama dengan bakau. “Sejumlah jenis bakau yang dimanfaatkan bangsa Austronesia, mulai dari bangunan, kapal, makanan serta obat-obatan,” tutur Ary kepada Mongabay Indonesia.

Selain itu, bangsa Austronesia juga menemukan berbagai tanaman yang memiliki manfaat bagi manusia yakni rempah-rempah, seperti cengkih dan kayu manis.

Kapal, makanan, dan obat dari bakau, serta produk rempah-rempah dari daratan ini mendorong bangsa Austronesia menjelajah ke berbagai wilayah di dunia. Baik Afrika, Timur Tengah, India dan Tiongkok.

Di masa masehi, peradaban amfibi diteruskan tiga kedatuan [kerajaan] yang sukses di Nusantara, yakni Medang, Sriwijaya, dan Majapahit. Selanjutnya, jalur maritim rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, dimanfaatkan pedagang muslim Arab, lalu diteruskan Belanda, yang terbilang sukses.

Baca: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Indonesia memiliki keragaman jenis tanaman bakau yang tinggi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bakau

Dijelaskan Ary dalam webinar Perhimpunan Masyarakat Etnobiologi Indonesia [Seri 1]”, Rabu [05/8/2020], di kawasan Sundaland, evolusi bakau mencapai puncaknya, khususnya Rhizophoraceae dengan empat marga utama cohabitant dan diverse seperti Bruguiera, Ceriops, Kandelia dan Rhizophora. Termasuk marga dan suku bakau lainnya seperti Avicennia, Lumnitzea dan Sonneratia.

“Jenis Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops dimanfaatkan bangsa Austronesia untuk obat luka, mata, antibakteri dan virus. Mungkin ini juga berpotensi untuk penanganan virus COVID-19.”

Artinya, bakau sangat penting bagi peradaban Austronesia, sehingga banyak nama atau terminologi terkait bakau di segenap peradaban bakau. Misalnya, nama bakau atau bako [Indonesia], bakhaw [Cebu], bakawan atau bakaw [Filipina], makaukau [Hawaii], honko [Madagaskar], paakau [Maori], dan mako [Fiji].

“Selama ribuan tahun bakau dijadikan perwarna pakaian. Saat ini batik juga menggunakan perwarna dari bakau,” katanya.

Ary juga menjelaskan bagaimana pelayaran bangsa Austronesia terkait persebaran bakau. “Bangsa Austronesia berani berlayar di laut karena yakin adanya bakau.”

Bangsa Austronesia juga mengetahui atau memahami arus-arus laut khatulistiwa dan menggunakan dalam pelayarannya ke Pasifik dan benua Amerika. Buktinya, ada persebaran jenis-jenis tumbuhan dari benua Amerika ke Pasifik dan Nusantara seperti ubi manis [Ipomoea batatas].

Di masa sejarah, Sriwijaya merupakan kedatuan bakau pertama di Nusantara. Sebab wilayanya hampir sama dengan persebaran Rhizophora apiculata.

Baca: Pilih Mana, Restorasi Hutan Bakau Secara Bersama atau Perseorangan?

 

Rhizophora apiculata sering disebut bakau minyak atau juga bangka minyak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, Rhizophora apiculata sering disebut bakau minyak. Nama lainnya bakau tandok, bakau akik, atau bakau kacang. Bakau ini menyukai tanah berlumpur halus dan dalam, yang tergenang jika pasang serta terkena pengaruh masukan air tawar yang tetap dan kuat. Sebarannya di seluruh Indonesia, Semenanjung Malaya, Sri Lanka, Australia, serta pulau-pulau di Pasifik.

Selanjutnya, Majapahit yang merupakan kedatuan bakau kedua. Wilayahnya selain terkait persebaran Rhizophora stylosa, juga Rhizophora mucronata sebab sudah mengetahui Madagaskar.

Rhizophora stylosa dikenal sebagai bakau kecil. Disebut kecil karena tingginya hanya sekitar 10 meter. Habitat bakau ini beragam. Mulai dari lumpur, pasir, pecahan batu atau karang. Atau pula dari tepi pantai hingga daratan kering, seperti tepian pulau yang berkarang. Di Indonesia, tersebar di Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Sulawesi, Maluku dan Papua. Juga tersebar di Filipina, Papua Nugini, Australia, Malaysia dan Taiwan.

“Kesimpulannya, bakau memiliki pusat keragaman jenis di kawasan tropika Nusantara dan memengaruhi peradaban bangsa yang tinggal bersamanya yakni Austronesia. Bangsa di Nusantara yakni Austronesia dan Melanesia memanfaatkan bakau utk berbagai keperluan dari makanan, bangunan, pembuatan kapal, pewarna hingga obat. Bakau juga menjadi benteng dari badai, menjaga ketersediaan logistik dan air tawar.”

 

Bakau merupakan awal pembentukan peradaban bangsa Austronesia yang berasal dari Asia Tengah, saat menetap di anak benua Sundaland [Nusantara]. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rempah-rempah

Selain ditunjang teknologi perkapalan, pengetahuan mengenai manfaat tanaman juga menjadi keunggulan bangsa Austronesia. Misalnya cengkih dan kayu manis. Rempahan ini yang kemudian membuat bangsa Austronesia menyebar ke berbagai wilayah di dunia.

“Komoditas rempah-rempah ini bukan hasil permintaan orang luar. Tapi leluhur kita yang menemukan manfaatnya, terutama cengkih, pala, kemiri, kayu manis, gambir, kapur barus dan kemenyan,” kata Ary kepada Mongabay Indonesia.

Kedatuan yang pertama mengoptimalkan perdagangan rempah ini yakni Kedatuan Medang yang jelajahnya hingga ke Filipina.

Selanjutnya Kedatuan Sriwijaya yang menerapkan poros maritim. Berdagang rempah [termasuk kemenyan] hingga ke Tiongkok, India, Yunani, Romawi dan Arab. Buktinya adanya prasasti di Ligor [Prasasti Ligor]. Ligor merupakan salah satu pusat perdagangan rempah. “Kedatuan Sriwijaya merupakan kedatuan kapitalisme Nusantara yang pertama.”

Kedatuan Majapahit melanjutkan tradisi berdagang Kedatuan Sriwijaya. Bahkan diperluas hingga ke Australia. Pada masa Majapahit, perdagangan rempah mencapai puncaknya. Bahkan Majapahit punya kontak dengan Byzantine. “Kedatuan Majapahit merupakan kedatuan kapitalisme asli Nusantara yang terbesar”.

Selanjutnya perdagangan rempah-rempah dan lainnya dikuasai para pedagang muslim Arab. Lalu dikuasai Belanda, yang mampu mengembangkan poros maritim dengan sukses.

 

Cengkih atau cengkeh kita sebut, merupakan tanaman rempah yang biasanya digunakan untuk membuat pedas masakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mengembalikan kebesaran

Apakah hari ini Indonesia dapat mengulang kejayaan peradaban amfibi tersebut? Sangat mungkin, sebab masih banyak kekayaan alam Indonesia yang dapat dioptimalkan, baik di laut, pesisir, hingga daratan.

Khusus daratan, masih banyak potensi tanaman di Indonesia, baik sebagai obat, energi terbarukan, maupun pangan. “Di daratan kita memiliki potensi cengkih, kayu manis, pala, kemiri, dan gambir. Ini semua dapat tumbuh baik, dan tersebar di hampir wilayah Indonesia, khususnya di Sumatera dan Indonesia timur,” kata Ary.

Sementara terkait hutan mangrove sebagai habitat bakau, yang saat ini terus terancam, Ary menilai hal tersebut disebabkan sebagian besar orang Indonesia sudah menurun pemahaman tentang mangrove. “Coba saja tanya, sebagian besar bangsa kita tidak mampu membedakan Rhizophora dan Bruguiera?” katanya.

 

Kayu manis, tanaman rempah yang banyak manfaat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rhizophora adalah bakau sementara Bruguiera adalah salah satu jenis tanaman mangrove. Nama lokalnya kendeka, putut, berus, tongke atau tumu.

Ketidakpahaman tersebut, kata Ary, karena sebagian besar orang Indonesia pada saat ini sudah tidak peduli dengan mangrove yang disebabkan budaya ekonomi praktis.

Guna mengulang sejarah kebesaran bangsa Austronesia dan Melenesia di Nusantara, Ary setuju adanya “gerakan kebudayaan” yang berakar pada nilai-nilai bahari atau peradaban amfibi tersebut.

“Bisa tentu saja harus ada dukungan dan keseriusan pemerintah. Tentu saja semua elemen politik, terutama DPR, serta tokoh masyarakat seperti alim ulama. Persoalannya tidak ada keseriusan,” tegasnya.

Agar serius, katanya, bangsa Indonesia harus tahu, memahami dan bangga akan kebesaran sejarah bangsa ini, bersama kebudayaan baharinya, yang mampu mengoptimalkan kemaritiman dan rempah-rempah.

 

 

Exit mobile version