Mongabay.co.id

Konflik Tak Berujung Si Macan Tutul

 

Pasca konflik dengan manusia, macan tutul jawa acapkali bernasib tak jelas. Nasibnya terkatung-katung di kandang rehabilitasi atau di lembaga konservasi. Jika mujur, satwa penunggu sisa hutan Jawa ini bisa kembali ke habitat. Asalkan kuat menunggu kajian habitat baru hingga sederet seremonial persiapan pelepasliaran yang kerap berjalan alot.

***

Menetasnya dua telur kura-kura ceper air tawar (Cyclemys denata) menambah koleksi satwa di Kebun Binatang Bandung. Dari 125 spesies yang ada di sana, kura-kura jenis ini memang tak banyak diperhatikan. Mungkin karena lembaga konservasi dunia, IUCN, mengkategorikan statusnya beresiko rendah.

Kendati demikian, Marcomm Bandung Zoological Garden, Sulhan Syafi’i, menaruh perhatian terhadap koleksi satwa di sana. Kata Sulhan, bagaimanapun proses pengembangbiakan di eks-situ merupakan keberhasilan yang patut dibanggakan.

Perkembangbiakan menuntut kebun binatang berhitung. Apalagi, pandemi wabah korona memaksa lembaga konservasi eks-situ ini berkompromi. Merawat menyesuaikan dengan kapasitas dan daya.

Untuk itu, Kebun Binatang Bandung menjalankan program pelepasliaran satwa. Setidaknya, tiga tahun lalu mereka melepaskan 40 ekor Jalak kebo ke alam. Di samping menjalankan program edukasi satwa liar dan perilaku satwa liar kepada masyarakat. Diharapkan kehidupan satwa di alam bebas tidak lagi ditangkap oleh masyarakat.

Sudah lama, Kebun binatang seluas 14 hektare ini menerima satwa-satwa yang “kalah” setelah berkonflik dengan manusia. Yang paling sering adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Mereka acapkali dititiprawatkan untuk direhabilitasi.

Dalam tiga tahun terakhir, misalnya, Kebun Binatang Bandung telah merehabilitasi tiga karnivora terakhir di hutan Jawa ini. Dan saat ini, mereka juga sedang merehabilitasi “Abah”, macan tutul jantan yang ditangkap warga di Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pada akhir Juni lalu.

baca : Ironi Kematian Macan Tutul Jawa di Kampung Sudajaya

 

Kondisi si Abah, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) yang direhabilitasi di Kebun Binatang Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat. Macan jantan berusia 12 tahun itu ditangkap di Suaka Margasatwa Kabupaten Ciamis, Juli lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Abah usianya ditaksir 12 tahun. Pejantan yang malang itu ditangkap karena jelajahnya melewati batas adminitrasi negara. Menyeberang dari hutan konservasi ke hutan produksi. Sial betul, insting mereka tak didisain untuk mengenal itu.

Sulhan enggan menunjukan kandang rehabilitasi bagi si Abah. Katanya, kandang harus steril dari manusia. Tujuannya agar kucing besar itu tetap liar ketika dilepasliarkan nantinya.

Ia hanya bercerita tentang kondisi kesehatannya saja. Berada di dalam kandang seluas 4 x 2,7 meter, “Kondisi sangat bugar. Dilihat dari gerak-geriknya yang sudah mulai nampak agresif saat dikasih makan,’’ Sulhan menjelaskan setiap hari petugas memberikan pakan ayam hidup satu ekor dan juga kombinasi dengan daging sapi.

Totalnya, tak kurang dari dua kilogram ayam dan daging sapi disantap si Abah. Semenjak dirawat sepekan, Abah berbobot 37,7 kilogram. Menurut tim dokter memang sudah saatnya Abah dilepasliarkan.

“Kami berharap ada langkah untuk segera melepasliarkan macan tutul ini. Karena bagaimanapun bila terlalu lama dalam kandang dikhawatirkan instingnya akan tumpul,” ujar Sulhan.

baca juga : Penyelamatan Macan Tutul Jawa Masih Terkendala Data

 

Kondisi si Abah, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) yang direhabilitasi di Kebun Binatang Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat. Macan jantan berusia 12 tahun itu ditangkap di Suaka Margasatwa Kabupaten Ciamis, Juli lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Belum Konsisten

Hasil pencatatan Forum Macan Tutul Jawa (Formata), perkiraan populasi di alam kurang dari 600 individu pada kantong-kantong habitat tersisa di hutan Jawa. Tiap individu mendiami 500-2.000 hektare hutan alam yang kini tersisa kurang dari 10 persen. Tak heran, jika IUCN menyebut macan tutul selangkah lagi menuju tubir kepunahan.

Sebenarnya satwa karnivora ini telah diperhatikan keberadaannya. Acuan langkahnya berpedoman kepada Peraturan Menteri Nomor P.56/Menlhk/Kum.1/2016 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa Tahun 2016 – 2026.

Namun, tak semua tertuang di sana. Semisal, perkara penanganan konflik belum secara bengras dibahas di Permen yang dibuat empat tahun lalu itu.

Perihal evakuasi maupun rehabilitasi seringkali tak merunut. Kakunya birokrasi acapkali menghambat proses evakuasi. Di beberapa kasus malah menunjukan sisi gelap konservasi.

Kasus kematian anakan macan tutul di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, April lalu adalah contohnya. Pemeriksaan baru dilakukan 18 jam kemudian karena alasan birokrasi. Setelah itu baru diketahui jika macan tutul memakan plastik sepatu karena kelaparan.

Agaknya, birokrasi begitu kentara dalam lingkup konservasi. Meski bukan urusan genting, nyatanya birokrasi memang dianggap penting. Terutama saat pelepasliaran.

Pertengahan tahun 2019 lalu, seremonial pelepasliaran sempat memicu kemarahan Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Indra Exploitasia. Ia kesal lantaran proses lepas liar satu individu macan kumbang yang kelimbung di habitat barunya di Gunung Ciremai Kabupaten Majalengka molor hingga berjam-jam hanya untuk menunggu dirinya datang dari Jakarta.

perlu dibaca : Akhir Cerita Si Macan Tutul Jawa di Kandang Peraga

 

Devi, seekor macan tutul jawa di kandang karantina Taman Satwa Cikembulan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lembaga konservasi yang didirikan tahun 2009, kerap menampung satwa hasil konflik dengan manusia. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di kantornya, Sulhan gusar. Ia bukan ingin buru-buru si Abah dilepasliarkan. Akan tetapi, lama-lama di kebun binatang peluang jinaknya akan lebih besar ketimbang liarnya.

Sebenarnya, macan tutul jantan itu sudah bisa dilepalirakan sejak dua hari pasca dievakuasi. Hanya saja, taring kiri bawah yang patah menjadi pertimbangannya. Kemudian, usia Abah yang dinilai sudah tua sebagai penguasa wilayah mengganggu penentuan keputusan.

Terhitung awal Agustus ini, Abah sudah sebulan dititiprawatkan di kebun binatang. “Kami hanya menjalankan prosedur saja, pelepasliaran adalah keputusan pemerintah,” ucap Sulhan. Katanya, merawat Abah adalah tanggungjawab sosial kebun binatang.

Abah bukan tidak mungkin akan bernasib sama dengan Kupa, satwa yang kini jadi koleksi Taman Satwa Cikembulan Kabupaten Garut, sejak tahun 2009. Latarbelakang mereka juga mirip. Sama-sama penghuni asli Gunung Sawal yang ditangkap karena konflik.

Ada juga, Devi, macan betina yang sejak 5 tahun lalu tetap berada di dalam kandang karantina karena katarak. Pengelola Cikembulan Rudy Arifin bilang, satwa dari Gunung Sawal itu statusnya masih dititiprawatkan hingga kini.

Dari data yang dihimpun, Mongabay mencoba merunut data macan tutul yang berkonflik di Gunung Sawal. Hasilnya kebanyakan tak pernah kembali ke habitat alaminya itu. Kebanyakan nasibnya berakhir di lembaga konservasi.

Hanya Abah yang pernah tercatat kembali pasca ditangkap karena memangsa ternak kambing tahun 2018. Betapa sialnya bagi Abah. Pada Juli lalu, ia kembali ditangkap lagi di desa yang sama.

Peneliti ahli utama Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Lingkungan Hidup dan Hutan, Hendra Gunawan sedikit meragu. Ironisnya, atau mujurnya, meski sains selalu memakai skeptisisme sebagai senjata utamanya, ia perlu perhitungan matang.

“Mengembalikan satwa sitaan ke habitat asalnya, lebih menguntungkan. Namun dengan catatan. Satu diantaranya mendapat dukungan politik,” ujarnya, “Jika layak dilepaskan, maka keputusan berikutnya adalah dimanakah si Abah akan ditempatkan?”

baca : Hendra Gunawan, Penjaga Asa Keberadaan Macan Tutul Jawa

 

Macan tutul jawa. Foto: Conservation International/BBKSDA Jawa Barat/Rawayan

 

Sebagai Profesor, perhitungannya memang harus mampu meredam konflik. Hasil penelitiannya menyimpulkan raport merah. Konflik antara manusia dengan macan tutul sudah tercatat sejak tahun 2001. Dari tahun ke tahun konflik cenderung meningkat. Setidaknya, ada 58 kasus per April tahun 2020 kemarin. Jumlah macan tutul yang tertangkap pun terus bertambah. Hingga kini sudah 10 ekor macan tutul diselamatkan ke lembaga konservasi dari konflik, “Termasuk si Abah,” katanya.

Berdasarkan analisis kerawanan habitat di Suaka Margasatwa (SM) Gunung Sawal seluas 5.580 hektare (53% dari luas total kawasan)  termasuk kategori aman. Sedangkan hutan produksi di sekitarnya seluas 3.309 hektare masuk kategori sedang. Sementara di pinggiran kawasan hutan sisi selatan dan tenggara masuk kategori rawat terhadap konflik dengan manusia.

Saat ini luasan hutan konservasi SM Gunung Sawal yang terlindungi hanya 54 km persegi yang hanya mampu menampung 8 individu macan tutul. Hal itu sesuai hasil investigasi tim kolaboratif BBKSDA Jabar, Formata, Taman Safari Indonesia, Pemkab Ciamis dan Kader Konservasi Ciamis pada tahun 2017.

“Di sana seekor macan tutul rata-rata membutuhkan ruang jelajah 6,4 km persegi,” tutur Hendra. Jika dihitung dengan hutan diluar konservasi, “Kemungkinan estimasi populasinya bisa mencapai 17 individu.”

Menilik pertumbuhan populasi macan tutul di Gunung Sawal, sementara daya dukung tak mungkin bertambah, malahan menurun. Hendra memprediksi konflik masih akan terus berlanjut hingga salah satunya benar-benar “kalah”.

Di kebun binatang yang didirikan 1930 di Bandung itu sudah memiliki koleksi 1 jantan dan 2 betina macan tutul yang umurnya diatas 15 tahun. Apakah si Abah akan berakhir di sana untuk kawin dan beranak? Entahlah. Sejauh ini hanya di kebun binatang Tierpark Berlin, Jerman, yang berhasilkan membiakan dua anak macan tutul Jawa.

***

 

Catatan redaksi : berita ini telah diperbaharui pada 31 Agustus 2020

 

Exit mobile version