Mongabay.co.id

75 Tahun Indonesia Merdeka, Masyarakat Adat Menanti Perlindungan Hak

Warga Kinipan menanam pohon di lokasi land clearing PT SML. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Tujuhbelas Agustus 2020, merupakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75. Apakah semua rakyat Indonesia sudah merdeka? Sayangnya, belum semua merasakan kemerdekaan, antara lain jutaan masyarakat adat di negeri ini. Banyak dari mereka masih hidup dalam was-was.

Masyarakat adat ada sebelum Indonesia, terbentuk, tetapi hingga kini sebagian besar belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak. Konflik antara masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidup yang jadi konsesi perusahaan, masih terjadi. Yang hidup turun menurun bergantung hutan dan alam dengan kearifan lokal dan beragam tradisi pun tak merasa aman karena bukan mustahil sewaktu-waktu wilayah hidup mereka berubah status, jadi ‘milik’ investasi skala besar.

Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), masyarakat adat di Indonesia yang sudah tergabung dalam AMAN sekitar 18 juta dari 2.366 komunitas adat. Mereka seringkali berhadapan negara, maupun investasi skala besar, baik pertambangan, dan perkebunan. Perampasan lahan, kriminalisasi masyarakat adat terus terjadi.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, realisasi perhutanan sosial sampai 17 Desember 2019, sekitar 3.877.079,49 hektar, dari luasan itu 925.505,08 hektar hutan adat termasuk masih wilayah indikatif hutan adat. Hutan adat sudah ditetapkan baru 24.624,34 hektar.

Sandra Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat masih minim walau aturan ada.

Untuk itu, katanya, perlu ada terobosan cepat dan efektif dalam memulihkan hak-hak masyarakat adat, termasuk remedi. Remedi, lebih luas dari restitusi. Ia mencakup akses peradilan setara dan efektif, ganti kerugian memadai, efektif, cepat atas kerusakan yang diderita dan akses informasi relevan mengenai pelanggaran ganti kerugian.

“Saya rasa perbaikan perundang-undangan tidak cukup. Kita perlu langkah serius dalam melihat birokrasi. Problemnya berada pada tataran birokrasi dan problem dari masyarakat sipil, lembaga negara yang harus dilihat secara kritis dan bersama-sama,” katanya dalam diskusi daring Restitusi Tanah Masyarakat Adat dalam HGU di Perkebunan Sawit, pekan lalu.

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta  di hutan aat mereka yang sudah bersih karena jadi konsesi perkebunan kayu. Pemerintah sudah mengeluarkan hutan adat mereka dari konsesi sejak 2016, tetapi hingga kini belum ada penetapan hutan adat dari negara padahal, pemerintah daerah pun sudah bikin perda buat komunitas adat ini  Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Wilayah-wilayah adat banyak ‘berubah’ jadi HGU perusahaan karena pemerintah berikan izin kepada investasi tanpa mempertimbangkan masyarakat adat yang hidup di dalamnya.

Sandra bilang, masalah hak-hak masyarakat adat yang terlanggar di lahan hak guna usaha (HGU), bukan sekadar hak tanah juga untuk diakui sebagai masyarakat hukum adat. Kemudian, hak tradisional, hak mempunyai milik, tidak terampas hak milik secara sewenang-wenang, hak mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup. Juga, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas rasa aman dan tenteram hingga hak atas hidup.

“Akar masalahnya itu pengabaian keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya, minimnya pengakuan pemerintah atas keberadaan mereka menjadi dasar sulitnya pemulihan HAM,” katanya. Kebijakan pembangunan yang berorientai pada pertumbuhan, katanya, memperburuk kondisi.

Ada upaya coba dilakukan tetapi hasil jauh dari kata baik, satu contoh, penyelesaian masalah Orang Rimba di Air Hitam, Sarolangun, Jambi. DI sana sedang proses remediasi dengan perusahaan yang memegang HGU sejak 1985.

Dulu, lingkungan sekitar hutan alam, Orang Rimba, tidak pernah tahu ada HGU buat perusahaan. Orang Rimba kehilangan ruang hidup. Pemerintah coba bangun pemukiman, tetapi bukan budaya Orang Rimba tinggal di rumah hingga banyak ditinggalkan.

Hingga kini, perusahaan masih beroperasi, Orang Rimba hidup ‘menggelandang’ di kebun sawit karena hutan tak ada lagi.

“Pemerintah perlu segera menyelesaikan konflik hak atas tanah yang sudah menahun, secepatnya dilakukan secara damai dan didasari prinsip HAM.”

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, pemenuhan hak masyarakat adat tak hanya dari pengembalian tanah dan ganti rugi. Ada lebih penting dari itu, yakni memulihkan manusia, harkat dan martabatnya.

“Dampak diskriminasi kepada masyarakat adat itu, menghilangkan praktik identitas masyarakat adat, hilang wilayah. Dalam konteks pemulihan, perlu ada pemulihan alam dan manusianya.”

Dalam kondisi krisis iklim dan kemanusiaan saat ini, katanya, jadi makin mendesak perlindungan dan pemulihan masyarakat adat, salah satu lewat pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dengan ada UU ini bisa memulihkan yang haknya terampas dan mencegah itu terus terjadi.

Dalam konteks reforma agraria, program strategis nasional ini tak menunjukkan masyarakat adat sebagai subyek hukum. Malah, secara agresif pemerintah mendorong legalisasi wilayah adat melalui sertifikat individu.

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat menyebutkan, perizinan HGU, kehutanan dan pertambangan telah memutus ruang hidup masyarakat dengan alam sekitar.

Dalam proses pemulihan hak masyarakat adat, katanya, perlu didorong penyetaraan hak atas tanah dan sumber daya alam. “Kita juga perlu mengambil peluang di pemerintah daerah, melalui kabupaten dalam mengakui wilayah masyarakat adat agar terus menerus mengalami perluasan.

Pengakuan kepada masyarakat adat mensyaratkan lewat peraturan daerah. Untuk itu, katanya, RUU Masyarakat Adat perlu segera jadi UU agar jadi payung hukum kuat dalam pengakuan dan perlindungan hak mereka.

Martua Sirait, Deputy Executive Director of The Samdhana Institute mengatakan, model pertanian dan perkebunan skala besar dengan HGU bukan masa depan Indonesia.

“Kita harus berputar pada kearifan tradisional untuk mengembangkan jasa-jasa lingkungan di sekitar,” katanya.

Indonesia, perlu berkaca dengan usaha-usaha skala besar yang jatuh dan kini mulai bergeser ke perkebunan rakyat, seperti perkebunan karet, kopi dan teh.

 

 

Keterangan foto utama: Lahan adat warga Kinipan bersengketa dengan perusahaan. Izin konsesi perusahaan masuk dalam wilayah Laman Kinipan. Beginilah kondisi kala pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat masih sedikit sekali. Warga Kinipan menanam pohon di lokasi land clearing perusahaan sawit. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini sudah ada penetapan hutan adat dari negara. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

Exit mobile version