Mongabay.co.id

Merdeka! Kita Butuh Air dan Tanah yang Subur

Tulisan ini merupakan refleksi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang kita peringati setiap 17 Agustus. Dulu, para pejuang bangsa kita memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah agar kita berdaulat, membangun bangsa dan negara Indonesia berlandaskan semangat patriotisme. Kini, di usia 75 tahun kemerdekaan, sudahkan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia diwujudkan? Mewujudkan Bumi dan air beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat! [Redaksi]

**

 

Imagine no possesions

I wonder if you can

No need for greed or hunger

A brotherhood of man

Imagine all the people

Sharing all the world…

[Imagine, John Lennon]

 

Mari menunduk atau bersujud.

Dulu, kita butuh kemerdekaan dari penjajah agar berdaulat membangun bangsa dan negara Indonesia. Hari ini, tampaknya kita hanya butuh jaminan sebagai manusia Indonesia agar dapat hidup seribu atau sejuta tahun lagi.

Jaminan itu berupa air dan tanah yang subur. Jika air dan tanah subur, akan dihasilkan udara bersih dan pangan sehat melimpah. Yang menjaminnya bukan berupa pengakuan PBB [Perserikatan Bangsa-Bangsa] atau negara-negara asing. Penjaminnya adalah kita sendiri.

Saat ini, menurut saya, kita merusak diri dengan meracuni air dan tanah. Padahal kita tahu dan memahami setiap detik manusia sangat membutuhkan air dan tanah. Seperti halnya makhluk hidup lainnya.

Upaya merusak diri tersebut karena kita percaya ekonomi ekstraktif dapat membawa bangsa ini menjadi bahagia, selamat di dunia dan akhirat. Pertumbuhan ekonomi menjadi alat ukur sebuah bangsa dapat hidup sehat sejahtera.

Tidak heran, laut, gunung, bukit, hutan, sungai, dan danau, yang tersebar di 17.508 pulau kita “bongkar”. Kita habiskan ikannya, hutannya, kita keruk batubaranya, nikelnya, emasnya, besinya, lalu kita sedot minyak dan gasnya, panas buminya, dan terakhir kita bentangkan perkebunan monokultur jutaan hektar. Bentang alam yang sudah rusak itu pun kita taburkan jutaan ton limbah berbahaya.

Dari luasan Indonesia [darat dan lautan] sekitar 519.325.000 hektar, berdasarkan catatan Jatam [Jaringan Advokasi Tambang], sekitar 44 persen sudah dikaveling tambang. Sementara AEER [Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat] mencatat ada 5.571 perizinan terkait tambang yang luasnya mencapai 11,073 juta hektar atau tiga kali luas negeri Belanda. Sebagian besar tambang tersebut berada di daratan Indonesia yang luasnya 191.944.000 hektar.

Selanjutnya, sekitar 14,3 juta hektar lahan menjadi perkebunan sawit, serta sekitar 11 juta hektar lahan menjadi konsesi HTI [Hutan Tanaman Industri].

 

Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 yang selalu kita peringati setiap 17 Agustus. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Jadi, hampir 37 juta hektar luas Nusantara digunakan untuk aktivitas pertambangan, perkebunan sawit, dan HTI. Bandingkan dengan luas hutan konservasi yang hanya 27,4 juta hektar.

Potensi meluasnya tiga aktivitas ekonomi tersebut juga cukup terbuka, sebab dari 128 juta hektar luasan hutan di Indonesia sekitar 12,9 juta hektar hutan dapat dikonversi.

Jutaan barel minyak dan gas setiap tahun disedot puluhan perusahaan besar seperti Chevron Pacific Indonesia, Exxon Mobile Cepu Limited MCL, Pertamina EP, PHE OSES, BP Tangguh atau ENI Muara Bakau. Terakhir, setiap tahun kita memproduksi puluhan juta ton sampah yang tersebar di air dan daratan.

Ironinya, meskipun kita merusak air dan tanah demi peningkatan ekonomi, kenyataannya sebagian besar orang Indonesia miskin. Jauh dari sejahtera. Tercatat, sekitar 26,14 juta orang miskin dari 267,7 juta warga Indonesia. Bahkan, negara ini pun tidak bebas dari utang. Hingga Mei 2020 lalu, Bank Indonesia mencatat ULN [Utang Luar Negeri] Indonesia mencapai 404,7 miliar Dollar AS!

 

Menjaga alam Indonesia tetap lestari dan mempergunakan sumber daya alamnya untuk kepentingan rakyat adalah hakikat dari kemerdekaan yang kita peringati setiap tahunnya pada 17 Agustus. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tenang. Tarik napas. Jangan marah. Jangan benci. Bangsa ini tidak butuh kemarahan. Bangsa ini butuh pikiran dan hati yang jernih. Jika kemarahan dan kebencian yang menjadi spirit perbaikan, akan melahirkan banyak tanda tanya. Bukan tidak mungkin melahirkan manusia pendendam yang justru merusak upaya perbaikan.

Contoh. Setelah Indonesia berdiri, dan para pendiri bangsa membangun kebencian terhadap pemerintah Belanda sebagai penjajah, yang dituduh menghabiskan kekayaan flora dan fauna, kita dengan spirit kemerdekaan [termasuk dendam terhadap bangsa Belanda] justru bersikap sama dan bahkan mungkin melebihi yang dilakukan pemerintah Belanda tersebut.

Saya pun percaya para pelaku usaha saat ini, baik terkait penambangan batubara, emas, migas, dan perkebunan skala besar, pada saat Orde Baru berkuasa dulu, mungkin turut berteriak dan memperjuangkan “reformasi”. Penuh kemarahan dan kebencian terhadap Orde Baru sebagai pengisap kekayaan alam Nusantara.

Nyatanya, setelah rezim Orde Baru runtuh luasan tutupan hutan bukan bertambah, tapi kian berkurang. Tanah di Sumatera, Bangka-Belitung, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua terus diobok-obok. Ibarat kumpulan anak-anak yang berebut mencari kelereng di dalam hamparan pasir.

Manusia yang hidup tenang selama puluhan generasi di sekitar kekayaan alam yang dikuras tersebut, tergusur dan hidup menderita. Selain kehilangan rumah, kebun, mereka pun hidup miskin, terancam berbagai penyakit. Tidak sedikit yang mati atau masuk penjara karena mempertahankan haknya.

Kita kehilangan jejak peradaban manusia rawang di Pesisir Timur Sumatera karena rusak dan berubahnya jutaan hektar rawa gambut [rawang]. Danau Maninjau di Sumatera Barat yang dulunya bersih dan indah, yang menginspirasi pemikiran Bunya Hamka, kini bagai kolam raksasa beracun yang membunuh jutaan ikan.

Yang lebih mencemaskan, kondisi yang digambarkan di atas akan dipertegas dengan UU Cipta Karya yang menggunakan konsep Omnibus Law, yang akan digolkan sejumlah penyelenggara negara.

 

Air, tanah yang subur, hutan nan hijau dan sumber kekayaan alam Indonesia harus dikelola sebaik mungkin untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sekali lagi tenang. Saya tidak berniat menebarkan kebencian. Saya hanya menyatakan sebagai generasi ke-30 orang Indonesia, saya tidak mau “gila” atau “bodoh” dengan kondisi ini.

Saya hanya ingin air dan tanah di Indonesia terjamin kembali atau tetap subur, sehingga anak dan seluruh keturunan saya di Nusantara ini, hidupnya sehat dan tenang di masa mendatang.

Biarlah hidup tanpa internet, jarang nonton konser musik, jarang ke luar negeri, asalkan udara, air dan makanan yang saya konsumsi sehat, yang dihasilkan dari air dan tanah yang subur. Saya tidak akan pernah membayangkan dan bersedia hidup di tengah padang pasir meskipun dinyatakan merdeka.

Bagaimana mengembalikan dan menjaga kondisi air dan tanah tetap subur? Saya tidak tahu, sebab saya bukan ahlinya. Tapi saya percaya nilai-nilai tradisi, ilmu pengetahuan dan teknologi mampu melakukannya. Seperti halnya manusia mampu terbang ke luar angkasa.

Yang pasti, salah satu cara menjaga air dan tanah tetap subur, yakni tidak merusak, mengubah, dan meracuninya. Ini pun sederhana modalnya. Niat baik. Niat baik kita sebagai manusia untuk menjaga kelestarian Bumi bersama ribuan makhluk hidupnya. Niat baik yang mungkin berguna sebelum kematian menjemput setiap manusia.

Mari bersujud atau menunduk.

 

* Taufik Wijayajurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version