Mongabay.co.id

Oligarki, Konflik Agraria dan Deplesi Ekologi

Sebuah PLTU Batubara memberikan dampak menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibt debu mengandung logam berat dan beracun. Foto : Tommy Apriando

 

 

Sistem oligarki menguasai negeri ini? Oligarki merupakan bentuk kekuatan ekonomi dan struktur kekuasaan politik yang secara efektif dipegang kelompok kecil atau segelintir orang dari masyarakat. Mereka adalah orang-orang, keluarga, kelompok politik dan ekonomi yang saling berhubungan satu sama lain atas dasar kepentingan ekonomi politik. Tujuannya, mengontrol dan menentukan kebijakan publik guna memperbesar pengaruh maupun keuntungan finansial mereka sendiri.

Vedi R Hadiz menggambarkan oligarki sebagai sebuah struktur kekuasaan yang mengekspresikan fusi dari kekuatan atau kepentingan politikal birokrasi dan ekonomi, yang jadi pendorong terbentuknya oligarki.

Oligarki itu sendiri diekspresikan oleh keluarga, bisnis, dan politik yang dapat menggabungkan  kedua sumber yang sangat kuat itu.

Oligarki bercita-cita menyesuaikan dan mengamankan sumber daya yang dimiliki dan dibutuhkan, memaksimalkan keuntungan di semua bidang yang menguntungkan bagi mereka. Pada saat sama, mereka mau mengontrol masa kini dan masa depan masyarakat melalui kepemimpinan politik serta ekonomi dengan berbagai cara.

Segala visi tentang akses dan partisipasi direproduksi melalui deregulasi agar sistem insuler dapat terintegrasi ke dalam kompetisi dan sistem pasar global. Di mana, posisi dan jaringan mereka sudah bercokol kuat.

Boleh jadi perubahan demokrasi dari otoritarianisme yang tersenteralisasi dulu, menuju desentralisasi demokrasi sekarang, namun hubungan antara bisnis dan negara tetap sama. Mungkin begitulah kenyataan transformasi demokrasi yang terjadi saat ini di Indonesia.

Konstruksi paling mudah melihat oligarki di Indonesia, salah satu dengan melihat konsentrasi kekayaan dan kuasa sumber daya modal pada segelintir orang tertentu. Juga kelompok elit politik yang menguasai pos dan sumber kekuasaan dalam kelembagaan politik formal negara termasuk partai politik yang berkuasa.

Dalam kajian ekonomi politik, kapitalisme kroni adalah istilah untuk menyebut ekonomi yang kesuksesan bisnis bergantung pada hubungan dekat antara pebisnis dengan pejabat pemerintah.

Kapitalisme kroni dapat diamati dari tindakan pilih-pilih saat mengeluarkan izin operasi, potongan pajak khusus, dan intervensi pemerintah lain. Atau ketika ikatan pertemanan dan keluarga yang melayani diri sendiri antara pebisnis dan pemerintah memengaruhi ekonomi serta masyarakat sampai-sampai melemahkan ekonomi dan politik yang melayani masyarakat.

Konstruksi oligarki dapat pula dilihat dari teori itu, bahwa kapitalisme kroni (crony capitalism) menjadi kata kunci untuk menjelaskan hubungan antara orang-orang superkaya dengan kekuasaan. Mereka menjadi tajir atau makin tajir karena hanky-panky dengan pemegang kekuasaan politik.

Para kapitalis kroni dapat menunggangi kekuasaan politik untuk memajukan kepentingan-kepentingan bisnis mereka melalui proses perizinan yang tidak terbuka. Imbalannya, si patron juga bisa memperkaya diri mereka, keluarga, dan kelompok, baik dengan atau tanpa turut serta berkeringat dalam aktivitas bisnis. (Arianto Sangadji, 2017).

 

Sawit. Salah satu industri, dengan kekuasaan lahan jutaan hekyar dimiliki beberapa orang. Beragam masalah mengelilingi bisnis ini, dari izin-izin keluar tak prosedural, sampai masalah lingkungan dan pelanggaran HAM.  Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Faisal Basri (2019) menyoroti besarnya kekayaan segilintir orang di Indonesia, terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan. Penguasaan kekayaan dalam jumlah besar mengakibatkan ketimpangan makin melebar di Indonesia.

Menurut data The Economist yang dikutip Faisal, Indonesia berada di peringkat ketujuh dalam The Crony-capitalism Index pada 2016. Hal itu karena segelintir orang di Indonesia menguasai kekayaan mencapai 3,8% dari total GDP pada 2016 naik dari 2014.

Data Credit Suisse juga menunjukkan sekitar 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional. Sementara itu, 10% orang terkaya di Indonesia memiliki 74,8% kekayaan nasional.

Pada 2019, Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia meski ekonomi mengalami pelambanan. Namun, total harta 50 orang terkaya Indonesia tahun itu bertambah US$5,6 miliar dibanding tahun lalu, jadi US$134,6 miliar (Rp1.884,4 triliun).(Kompas,2019).

Dari 50 orang terkaya itu kalau ditelusuri satu persatu mereka umumnya berasal dan besar dari fasilitas kekuatan negara di zaman orde baru dan memiliki jaringan sangat kuat dalam politik birokrasi Indonesia.

Richard Robison dan Vedi R. Hadiz di dalam bukunya “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market” menjelaskan, kalau oligarki yang terjadi di Indonesia tidak hilang pasca reformasi. Justru oligarki terus bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong neoliberalisme.

Setelah kejadian krisis ekonomi pada 1998, oligarki bisa bertahan dan jadi tokoh utama di dalam dunia bisnis di Indonesia. Kekuatan pemodal yang dikenal dengan oligarki mampu menyesuaikan diri pada struktur politik baru Indonesia yang lebih demokratis di era reformasi.

Akibatnya, oligarki masih mempunyai peran sangat menentukan dalam perpolitikan Indonesia hingga saat ini.

Hubungan-hubungan struktural yang terjadi di zaman dahulu antar bisnis dan negara hingga kini malah makin kuat, varian dan komposisi oligark makin modern. Walaupun cara akumulasi tetap purba yaitu pengaruhi, kuasai, singkirkan dan keuntungan.

Sebagian mereka adalah pendatang baru, kalau ditelusuri, mereka adalah bagian dari relasi oligarki lama berdasarkan klan keluarga, politik dan bisnis. Itulah fakta dari hasil penyatuan kekuatan dan kepentingan dari politik birokrasi dan bisnis yang mendominasi rezim yang berkuasa saat ini.

Oligark yang mengepung elit politik negara saat ini, adalah para oligark yang tidak bisa lepas dari kroni Orde Baru. Walaupun mereka terlihat berbeda dalam pandangan dan posisi politik, namun punya orientasi dan tujuan sama dalam ekonomi dan politik yaitu mempertahankan kekuasaan dan membangun korporasi untuk memburuh laba atau akumulasi modal.

Oligark orde baru ini sudah mapan dan memiliki sumber daya lebih besar, baik uang maupun kekuatan politik dalam relasi kekuasaan. Kondisi ini membuat mereka dengan mudah jadi pemain politik baru di era reformasi.

Dengan ada desentralisasi dan otonomi daerah, para elit ini berlomba- lomba menguasai lembaga daerah beserta sumber daya alam untuk kepentingannya.

Data kajian KPK 2017, menyebut lebih 70% kepala daerah, dalam pilkada, didukung pendanaan oleh korporasi berbasis sumber daya alam, terutama sektor pertambangan dan perkebunan, dengan kompensasi utama kemudahan izin atau konsesi.

Oligark di Indonesia punya sikap ekstraktif bahkan destruktif, bukan produktif. Tindakan ektraktif itu tidak hanya terjadi pada cara menguasai tanah dan sumberdaya alam, juga pada bidang bisnis lainya seperti sektor keuangan dan pajak.

Menurut data KPK 2018, eksploitasi sumber daya alam ternyata tidak sebanding dengan penerimaan negara. Fenomena itu terjadi pada sektor perkebunan sawit.

Pajak dari sawit bukan meningkat malah menurun.

Ketika lahan sawit bertambah luas, detail angka potensi pajak dari sektor sawit menguap, karena 40% perusahaan sawit diduga tidak membayar pajak sesuai ketentuan.

Bahkan Bank Dunia (2018) menyebut 80% lebih lahan sawit Indonesia bermasalah, antara lain tidak menyediakan 20% plasma untuk rakyat dan tak memperhatikan lingkungan hidup.

Dari mana kekayaan mereka dapatkan, dan bagaimana mereka mendapatkan? Sumber daya alam adalah, salah satu sektor penyumbang kekayaan orang-orang tajir di Indonesia ini. Mereka menguasai banyak konsesi di sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan termasuk energi. Tidak sampai di situ mereka juga mendapatkan fasilitas dari negara untuk mengembangkan turunan hingga menguasai jaringan pasar tingkat paling bawah.

 

Lahan ulayat masyarakat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan. Izin-izin keluar dari atas tanpa mendapatkan persetujuan pemilik ulayat, Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

Konflik Agraria

Simtom yang paling mendalam dalam konflik agraria yaitu sangat dipengaruhi struktur kekuasaan dan relasi kekuasaan. Dalam relasi kekuasaan ada lebih tinggi dan ada subordinasi. Perubahan-perubahan dalam relasi ini terutama sangat dipengaruhi relasi bisnis dan negara sebagai yang mempengaruhi situasi konflik agraria dalam masyarakat.

Menurut Afiff (2005), masalah konflik agraria mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi penguasaan agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumber daya tertentu.

Gelembung permukaanya, perampasan atas tanah. Perampasan tanah adalah upaya memperoleh kontrol atas tanah dalam skala luas atau sumber daya alam yang lain melalui berbagai konteks dan bentuk yang mencakup modal dalam jumlah besar. Ia seringkali mengubah orientasi penggunaan sumberdaya ke dalam sifat-sifatnya yang ekstraktif untuk tujuan akumulasi modal. (Borras Jr, dkk 2012)

Komnas HAM dalam lima tahun terakhir, mencatat dari pengaduan masyarakat menunjukan, luasan konflik tanah mencapai 2.713.369 hektar, tersebar di 33 provinsi terjadi di berbagai sektor. Konflik antara lain sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN) dan lingkungan hidup.

Banyak pihak terlibat dalam konflik itu baik lamgsung maupun tidak, namun paling besar menurut lembaga ini secara face to fece adalah korporasi. (Komnas HAM, 2019).

Konflik agraria digambarkan Komnas HAM itu merupakan reproduksi sosial dari suatu model produsi kapitalisme yang berprinsip pada konsumsi, represi dan investasi. Ia bertujuan semata-mata sebagai akumulasi kapital, menciptakan relasis sosial timpang dan sangat kompleks.

Kompleksitas relasi sosial dalam konflik agraria ini tetap dikondisikan oleh reproduksi ekonomi dari sirkuit kapital.

Konflik agraria sektor perkebunan dan pertambangan di Indonesia, adalah titik landas dari akumulasi primitif dalam akumulasi kapital. Proses akumulasi sebelum akumulasi dalam proses produksi yaitu untuk memperoleh tanah dan memisahkan secara paksa pekerja independen seperti petani dan masyarakat adat dengan alat produksinya.

Akumulasi primitif ini berfungsi antara lain untuk menciptakan surplus pekerja yang siap dihisap dari mereka dengan tanah terampas. Kekerasan dan perampasan hak atas tanah dan sumber daya alam dalam konflik agraria merupakan bentuk dari tahap memperluas ruang-ruang baru bagi akumulasi kapital. Dengan mengontrol negara guna menciptakan kebijakan liberalisasi tanah dan sumberdaya alam agar mudah dikuasai. Serta gunakan aparat untuk menguasai tanah itulah bentuk nyata dari ekploitasi kapitalisme dalam konflik agraria.

 

Deplesi ekologi

White (2009) mengemukakan, persoalan krisis lingkungan karena eksploitasi sumberdaya alam berlebihan terutama bukan karena kegagalan teknis tetapi politik. Deplesi ekologi menunjuk pada produksi, pengambilan, pengurasan, pengurangan volume atau jumlah sumberdaya alam secara eksploitatif.

Dalam deplesi ekologi dikenal istilah irreversible (sifat yang tidak dapat pulih kembali) dan entropy/randomness (ketidakberaturan). Kedua istilah itu mengandung makna bahwa, pembangunan ekonomi tak boleh memutuskan sifat ketergantungan yang harmonis antara human-economy (digerakkan perilaku manusia dan praktik usaha) dan natural-ecosystem (ekosistem alami).

Irreversible adalah kondisi di mana sumber-sumber alam diubah jadi suatu komoditas siap jual/ barang produksi, tak akan bisa diubah kembali ke bentuk asal (sumber daya alam).

Sedangkan entropy/randomness merupakan sebuah kondisi ketidakberaturan lingkungan hidup karena penggunaan sumber daya alam secara menyimpang dari kapasitas terpasang (installed capacity).

Deplesi ekologi merupakan bagian dari kerusakan yang tak dapat pulih dan ketidak beraturan ekosistem alam maupun pranata kehidupan manusia. Karena kerja sistem eksploitatif menyebabkan antara eksistensi manusia dan esensi lingkungan hidup dalam relasi sosial terus menerus mengalami berbenturan.

Begitulah gambaran parktik pemberlakuan sumber daya alam, perselingkuhan politik melahirkan benturan-benturan sosial di bawah.

 

*Penulis adalah aktivis HAM dan Lingkungan Hidup dan penulis buku: Ecocide: politik kejahatan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Keterangan foto utama:  Pembangkit listrik tenaga batubara terus saja dibangun di tengah berbagai masalah lingkungan, sosial, sampai kesehatan masyarakat dari hulu ke hilir. Berbagai regulasi pun dibikin seolah-olah demi memfasilitasi kelancaran bisnis ini. Mengapa? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version