Mongabay.co.id

Kisah Sipatuo 2, Kelompok Tani HKm yang Sukses Kembangkan Mete dan Sapi

 

Jumardi Ahmad, Ketua Kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sipatuo 2 berjalan tergesa-gesa menyusuri hutan. Di salah satu pohon ia berhenti untuk menjelaskan sesuatu.

“Pohon dengan seperti ini sebentar lagi akan mati. Daunnya berguguran dan pohon akan mengering,” katanya seraya menunjuk ke sebuah lingkaran hitam di bagian bawah pohon. Terlihat bentuknya, seperti habis tersiram minyak.

Penyakit mulai menyerang pohon jambu mete itu, meski hanya di sebagian kecilnya saja. Jumardi menyebut mungkin memang telah waktunya regenerasi. Saatnya untuk ditebang digantikan dengan bibit baru.

Dalam perjalanan menuju kawasan hutan tersebut, yang berada di Desa Mattirotasi, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Juli 2020 lalu, sayangnya kami tak menjumpai buah jambu mete, disebabkan bersamaan dengan musim hujan berkepanjangan.

Diperkirakan tahun ini, hujan akan terus berlanjut hingga akhir Agustus. Kondisi ini tak cocok untuk pembuahan jambu mete.

“Kalau bulan-bulan seperti sekarang seharusnya sudah berbunga dan bisa lanjut menjadi buah. Agustus seharusnya sudah panen. Namun hujan akan membuat bunga-bunga berguguran. Panen akan gagal tahun ini,” ujarnya.

Baca juga: Berjuang untuk HKm, Warga Desa Tuabao Sekarang Nikmati Hasil Kemiri dan Mete

 

Kelompok HKm Sipatuo 2 di Kabupaten Sidrap Sulsel sukses mengelola hutan melalui budidaya jambu mete. Produk dari hasil perhutanan sosial ini kini memiliki brand tersendiri yang laku di pasaran. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Jambu Mete sebagai Tanaman Andalan

Di lahan hutan seluas puluhan hektar tersebut Jumardi dan anggota kelompok Sipatuo 2 menanam jambu mete. Lahan hutan tersebut dikelola melalui skema perhutanan HKm. Diajukan pada tahun 2010, SK penetapan HKm diterima sejak tahun 2012.

Kelompok Sipatuo 2 sendiri dibentuk sejak tahun 1999 sebagai bagian dari program OCF. Di Sulsel, program ini dijalankan di tiga kabupaten, yaitu Jeneponto, Maros dan Sidrap. Di Kabupaten Sidrap, tepatnya di Mattiro Tasi, program ini membentuk 20 kelompok HKm dengan luas garapan 19 hektar.

“Sebelumya ada uji coba selama 5 tahun. Semestinya tahun 2005 sudah dievaluasi, tetapi realisasi baru tahun 2010. Untuk masuk tahap lanjut ada 14 kelompok dari awalnya 20, dengan luas kelola areal 800 hektar,” jelas Jumardi bercerita kronologis singkat pengelolaan kawasan hutan.

Hutan yang mereka kelola sebagai HKm ini dulunya eks HGU PT Buli, perusahaan yang bergerak di bidang peternakan sapi. Setelah HGU perusahaan berakhir, ia lalu diberikan pengelolaannya kepada masyarakat.

Penyuluh pendamping HKm Sipatuo 2, Rusdyamzah bilang di awal penetapan HKm, area ditanami dnegan beragam komoditas, seperti jenis kayu jati lokal, mahoni, gmelina dan kemiri. Jenis jati putih belakangan banyak yang mati dimakan sapi milik warga di luar anggota kelompok.

Akhirnya, jambu mete dipilih dalam konsep tanaman MPTS (Multi Purpose Trees Species). Alasannya selain sesuai dengan karakter tanah berbatuan, ia juga memiliki masa berbuah relatif pendek. Dalam tiga tahun pertama setelah masa tanam, jambu mete sudah berbunga dan di tahun kelima sudah berbuah dan dapat dipanen hasilnya.

Di awal program tak banyak bibit jambu mete yang ditanam karena terbentur aturan. Syaratnya ketika itu, harus 80 persen kayu dan 20 persen tanaman MPTS. Hanya saja, komposisi ini kurang menguntungkan petani karena sifat kayu sebagai tanaman jangka panjang.

“Petani tak bisa bertahan hidup, kalau seperti itu,” ungkap Rusdyamzah.

Seiring perjalanan waktu petani kemudian lebih banyak menanam jambu mete dibanding kayu jati, bahkan jumlahnya mencapai 90 persen dari total tanaman. Pengadaan bibit jambu mete pun hasil swadaya masyarakat. Sekarang, tak banyak pohon jati yang tersisa, kalaupun ada, jumlahnya terbatas hanya di sekeliling hutan.

Awalnya ungkap Rusdyamzah, terdapat banyak perdebatan dan penolakan tentang tanaman MPTS ini.

“Mungkin ini bisa dianggap melanggar aturan ketika itu. Saya koordinasi dengan teman-teman di BPDAS, kalau aturan ini diberlakukan maka tak ada HKm yang bisa berhasil di daerah kita. Ibaratnya, petani perlu makan besok, kalau kayu kapan bisa panennya.”

Anggota kelompok Sipatuo 2 dan Mattiro Walie yang bertanam jambu mete di lahan seluas 90 hektar menuai sukses, sementara kelompok lain yang hanya menanam komoditas kayu justru tak mendapat apa-apa.

“Di Blok 2 dan 3 yang mayoritas menanam kayu jati kini tak bisa apa-apa karena kayunya juga tak bisa diambil, sementara kondisi kayu jati yang ditanam sangat rapat sehingga tak bisa ditanami apapun di sekitarnya,” tambah Rusdyamzah.

Kayu jati yang ditanam di HKm sebenarnya bisa saja diambil oleh petani, cuma birokrasinya sangat rumit.

“Petani itu tak mau terlalu pusing ngurus banyak macam birokrasi, lebih baik cari kerja lain dari pada urus [prosedur birokrasi] yang makan waktu dan tenaga.”

Para petani yang dulunya menanam kayu jati ini kini banyak meninggalkan kebun dan mencari pekerjaan lain meski tetap memiliki hak klaim atas lahan tersebut. Apalagi tanaman jati tak perlu perawatan intensif.

Baca juga: Hutan Adat Marena: Kearifan Lokal yang Dapat Pengakuan Negara

 

Selain untuk budidaya jambu mete, kawasan hutan juga digunakan untuk tempat gembalaan sapi, tercatat saat ini terdapat 180 ekor sapi yang telah mulai beranjak dewasa. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Meraup Rejeki dari HKm dan Sapi

Jumardi sendiri mengelola lahan sekitar 2 hektar berisi seratusan tegakan pohon jambu mete. Sekali panen ia bisa mendapatkan hasil hingga 40 juta rupiah. Kondisi serupa dialami petani anggota Sipatuo 2 dan Mattiro Walie lainnya.

Sebelum menjadi petani, Jumardi adalah sopir. Banting setir menjadi petani hutan adalah pilihan hidup terberat dan sekaligus terbaik yang pernah dia lakukan.

“Banyak yang mencibir mana mungkin tanam pohon di tanah berbatu. Tapi setelah sekian tahun akhirnya upaya itu berbuah hasil. Kini malah banyak yang mengikuti sebagai petani.”

Seiring dengan semakin intensnya aktivitas di kebun, Jumardi mencoba usaha lain, yaitu budidaya ikan, beternak ayam dan beternak sapi. Atas saran Rusdyamzah, lahan HKm pun digunakan sebagai lahan gembalaan sapi.

Sejak 2014 mereka mulai memperoleh modal untuk membeli sapi, kini terdapat sekitar 180 ekor sapi merumput di kawasan tersebut. Hampir seluruh anggota kelompok tani memiliki sapi.  Bahkan ada warga di luar anggota kelompok ikut serta dalam unit usaha ini.

 

Sapi yang siap dijual biasanya dikandangkan untuk masa penggemukan. Unit usaha pengembalaan dan penggemukan sapi ini menjadi salah satu unit usaha kelompok Sipatuo 2. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

“Sapi dijaga bersama. Iurannya Rp30 ribu per ekor sapi, digunakan untuk biaya operasional seperti membuat pagar, pakan di musim kemarau, dan penyediaan air,” jelas Rusdyamzah.

Pengembalaan sapi di kawasan hutan yang dipenuhi tanaman jambu mete pun memiliki keuntungan tersendiri. Saat musim kemarau dimana banyak rumput mati, sapi diberi pakan buah mete. Dengan demikian, saat musim kemarau dan penghujan, sapi tercukupi pakannya.

Terkait budidaya jambu mete sendiri, kelompok Sipatuo 2 tidak sekedar memproduksi buah, tetapi lanjut ke tingkat olahan. Jambu mete hasil panen petani dibeli oleh kelompok yang kemudian diolah menjadi mete siap konsumsi. Dikemas dengan baik melalui peralatan modern, hasilnya dijual di toko oleh-oleh di Makassar dan daerah lain.

“Kami bekerjasama dengan Bumdes karena mereka yang punya modal untuk membeli mete dari petani dalam jumlah banyak,” ujar Jumardi.

Meski demikian, Jumardi tak memungkiri dengan situasi pandemi COVID-19 saat ini, produksi terhenti sementara. Banyak toko pembeli yang tutup dan mengembalikan produk. Saat ini petani coba beralih ke penjualan eceran meski tak sebanyak pesanan toko.

Atas kerjakerasnya, Jumardi dan Kelompok Sipatuo 2 mendapat penghargaan dari Pemda Sidrap sebagai petani berprestasi di bidang perkebunan tahun 2017.

 

 

Exit mobile version