Mongabay.co.id

Berita Sengketa Lahan Berujung Vonis Pidana Wartawan

Diananta, berkacamata, bersama istri dan tim koalisi yang advokasi Diananta. Foto: tim advokasi Diananta

 

 

 

 

Wahyu Widiyaningsih, perempuan petani di Glenmore, Lereng Gunung Rauug, Banyuwangi, Jawa Timur, tak kaget saat suaminya, Diananta Putra Sumedi, ditahan di Polda Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 4 Mei 2020. Kasus masuk persidangan, Diananta kena vonis hukum tiga bulan 15 hari, dan sudah bebas pada 17 Agustus 2020.

Jauh hari sebelum penangkapan, Wahyu sudah mendapat kabar dari Diananta, kalau kemungkinan dia masuk penjara.

“Bu, tulisan ini diperkarakan,” kata Wahyu menirukan Diananta.

Diananta adalah wartawan Banjarhits.id, sebuah media kecil, tanpa badan hukum, terletak di Banjarmasin. Pasangan suami-isteri ini memang sementara “long distance” berjarak ribuan kilometer sesudah Diananta memutuskan pindah dari Banyuwangi ke Banjarmasin.

Banjarhits adalah “rekan” dari Kumparan.com, sebuah perusahaan media besar, di Jakarta. Diananta punya cita-cita Banjarhits bakal jadi perusahaan mapan.

Laporan yang dimaksudkan Diananta ada tiga berita, terbitan November 2019, yang dia tulis tentang sengketa lahan antara masyarakat Dayak di Kabupaten Kotabaru dengan PT Jhonlin Agro Raya — perkebunan sawit Jhonlin Group.

Diananta khawatir, menurut Wahyu, karena Jhonlin Group adalah kelompok bisnis raksasa, mungkin organisasi swasta paling berpengaruh di Kalimantan Selatan, yang bergerak di bidang tambang, pelabuhan, transportasi, perkebunan, peternakan, infrastruktur hingga jasa keamanan.

Orang nomor satu kelompok ini adalah Andi Syamsudin Arsyad, dikenal dengan panggilan “Haji Isam,” seorang pengusaha asal Bone, Sulawesi Selatan.

Tiga berita ini, masing-masing diunggah 7-9 November 2019, dengan judul: “Demi Sawit, Jhonlin Gusur Tanah Warga Tiga Desa di Kotabaru,” “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” dan “Dayak se-Kalimantan Akan Duduki Tanah Sengketa di Kotabaru.”

Ketiganya memakai kata-kata yang menyentak: tanah Dayak dirampas.

Menurut Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers, yang kemudian menangani kasus ini, berita pertama memuat wawancara antara lain dengan warga Dayak di Kotabaru yang merasa diperlakukan tidak adil oleh Jhonlin Group. Dalam berita disebut Jhonlin tak mengganti rugi sesuai usia tanaman dan nilai tanah. Ada intimidasi oleh “oknum polisi” disebut dalam berita ini.

Di berita pertama juga disebutkan, Diananta menghubungi juru bicara Jhonlin, Andi Rudi, namun tak ditanggapi.

Berita kedua, memuat wawancara Kepala Desa Cantung Kiri Hilir, Riwinto, dan kuasa hukum warga Dayak di tiga desa yang terdampak, termasuk Cantung, Bujino A Salan. Dalam berita ini disebutkan bahwa perusahaan mengambil tanah masyarakat, wanprestasi terhadap warga lokal dan memanipulasi pola kebun inti plasma.

Ada juga wawancara dengan Ketua Umum Majelis Umat Kaharingan, Sukirman, yang wanti-wanti soal perampasan tanah di Kotabaru. Sukirman mengatakan, sengketa ini bisa memicu pertikaian antar-etnik “Dayak dan Bugis.”

Masih dalam dokumen Dewan Pers, menurut Sukirman, pemilik Jhonlin Group, Andi Syamsudin Arsyad yang etnik Bugis, sudah berbuat “sewenang-wenang” terhadap warga Dayak. Dalam pernyataan Dewan Pers juga disebutkan, tak ada konfirmasi kepada perusahaan dalam berita kedua ini.

Berita ketiga memuat rencana suku Dayak menggelar berbagai ritual dan membentuk majelis Dayak. Narasumbernya, antara lain Bujino Salan, kuasa hukum, sekaligus juga Ketua Forum Intelektual Dayak Nasional, cabang Kalimantan Selatan. Bagian akhir berita ini menyatakan Jhonlin Group sempat hubungi Banjarhits.id untuk “berdialog” mengenai sengketa tanah ini, namun hasil obrolan tak boleh diberitakan.

Diananta lakukan wawancara soal sengketa tanah ini –termasuk Riwinto, Sukirman, dan Bujino– di kantor Bujino di Banjarmasin. Ada satu kutipan, “Kami ingin ikrar Dayak bersatu, kami akan minum darah sesama suku Dayak.”

Ketiga berita inilah yang dilaporkan Jhonlin Group pada 14 November 2019, lima hari sesudah berita ketiga, kepada Dewan Pers. Pengacara Jhonlin Group Amran Alimuddin menulis, bahwa berita-berita ini “tidak akurat, bohong, fitnah dan tak ada konfirmasi” pada perusahaan. Alimuddin menuntut Banjarhits “minta maaf secara terbuka minimal melalui 10 media cetak dan elektronik nasional.”

Sukirman, narasumber dalam berita, juga melaporkan Diananta ke polisi pada 14 November 2019. Sukirman mengatakan, Diananta keliru mengutip ucapannya dan khawatir berita itu memicu sengketa antar suku.

Dua bulan kemudian, terjadi pertemuan antara para pihak di Sekretariat Dewan Pers pada 9 Januari 2020. Kumparan diwakili penasehat hukum Elizabeth Taruli Lestari Lubis, redaktur kolaborasi Muhamad Rizki dan kepala kolaborasi Dhini Hidayati. Jhonlin Group diwakili Amran Alimuddin. Lalu, Sukirman dan Diananta.

Masa dua bulan itu Diananta memberitahu Wahyu soal perkara hukum yang dihadapi.

Menurut Dewan Pers, pada pertemuan “… tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi” namun para pihak sepakat Dewan Pers mengeluarkan keputusan dalam bentuk “Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi” –ini adalah keputusan yang lazim dilakukan Dewan Pers, badan mediasi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Pers 1999, guna menyelesaikan sengketa jurnalistik.

Diananta mengatakan Banjarhits akan “bertanggungjawab” atas berita yang diadukan. Diananta bertemu dengan Haji Isam namun Haji Isam tak mau pembicaraan mereka diberitakan.

Persoalannya, Banjarhits tak punya badan hukum. Banjarhits adalah “kerja sama” antara Kumparan –melalui program “1001 startup media”– dimana berita-berita Banjarhits.id dimuat dalam kanal Kumparan.com/Banjarhits.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch menyebut Banjarhits sebagai “blog” dimana pemilik kanal tak bertanggungjawab terhadap laporan berita para “blogger.”

Pada 5 Februari 2020, Dewan Pers memutuskan, bahwa Kumparan yang harus bertanggungjawab atas pemuatan berita Banjarhits.

Dewan Pers menilai, berita ini melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 1, 3 dan 8 karena menyajikan berita yang “tak uji informasi, tak berimbang, memuat opini menghakimi dan mengandung prasangka atas dasar perbedaan suku.”

Dewan Pers minta Kumparan melayani hak jawab perusahaan disertai permintaan maaf kepada perusahaan dan masyarakat, mencabut berita yang diadukan, menjelaskan alasannya dan menautkan hak jawab disana.

Dewan Pers juga meminta Kumparan untuk mengubah perjanjian kerja sama dengan ratusan blog yang ditaruh di kanal mereka. Pertanggungjawaban berita, selama memakai kata “jurnalisme,” ada pada redaksi Kumparan, sesuai dengan Undang-undang Pers 1999.

Pada 11 Februari 2020, ketiga berita ini dicabut oleh Kumparan dengan alasan, “… terdapat tindakan yang mengundang kebencian terhadap suku, ras dan etnik tertentu.” Kumparan juga mengacu pada rekomendasi Dewan Pers.

Sukirman memberikan hak jawab pada Kumparan. Isinya, bantahan terhadap isu Dayak versus Bugis, “Saya selaku Ketua Umum Majelis Kepercayaan Kaharingan Indonesia, menolak atau tidak menginginkan terjadinya konflik antara suku Dayak dan Bugis. Dan menginginkan sengketa permasalahan antara PT JAR dan warga Desa Cantung Kiri Hilir dapat diselesaikan dengan jalan kekeluargaan ataupun dengan menempuh jalur hukum.”

 

 

 

Sengketa lahan

Diananta sempat memberikan kronologi kepada Ahmad Sairani, kolega Bujino dari Forum Intelektual Dayak Nasional, yang mendampingi Diananta dari pemeriksaan sampai keluar dari penjara. Sairani memberikan catatan Diananta kepada saya.

Menurut Diananta, semua ini bermula pada 6 November 2019, ketika dia menerima pesan dari Mantikei, Ketua Forum Intelektual Dayak Nasional. Mantikei kirim foto-foto penggusuran lahan dan tanaman sawit oleh Jhonlin Group.

“Mas bro telah terjadi penggusuran di Desa Kamboyan, Batulasung dan Mangkirana oleh perusahaan sawit milik group H. Rakyat menderita,” begitu pesan Whatsapp dari Mantikei.

Menurut kronologi, Kepala Desa Cantung Riwinto memang pernah meneken pelepasan tanah untuk kebun sawit sekitar 500 hektar. Namun lokasi yang digusur perusahaan bukan lokasi yang telah dilepaskan desa.

Lahan digusur adalah yang sedang diusulkan jadi tanah adat. Di sana juga terdapat satu situs keramat masyarakat adat Dayak.

Tak hanya salah lokasi, Riwinto juga mempersoalkan ada 20 nama petani yang bukan warga desa, masuk dalam skema kemitraan plasma sawit. Mereka pekerja dari Nusa Tenggara Timur.

Merujuk pada permohonan rekomendasi dan penetapan “Calon Petani Calon Lahan” -sebagai dasar kemitraan plasma sawit antara Jhonlin Group dengan Koperasi Jasa Maju Mulia Sejahtera– Jhonlin Group mengusulkan 872 hektar lahan yang terletak di Desa Mangkirana (822 hektar) dan Cantung (50 hektar) masing-masing 213 petani dan 20 petani.

Nama petani untuk Desa Cantung tak diisi oleh warga Cantung namun pekerja dari Nusa Tenggara Timur.

Dari kronologi, Riwanto juga kecewa adanya oknum polisi yang dibawa Jhonlin untuk menekan warga yang tak mau melepaskan lahan.

Riwinto dan warga desa lain melaporkan berbagai persoalan ini kepada Kepolisian Kalimantan Selatan. Mereka minta dilakukan pemeriksaan. Namun permintaan kepada polisi ini tertutupi oleh gugatan kepada Diananta.

Riwinto mengatakan, pada saya bahwa perhatian publik teralih dari kasus sengketa lahan kepada kasus pidana Diananta. Penggusuran pada 2019, yang foto-fotonya menarik perhatian Diananta, merusak tanaman sawit, sengon, karet dan tanaman lain.

Riwinto tak begitu terlibat dalam proses ganti rugi tanaman oleh perusahaan. Itu urusan pemilik tanaman dan perusahaan.

Namun masyarakat Cantung sudah menggarap lahan itu setidaknya 10 tahun terakhir. Masyarakat Dayak sudah tinggal di sana turun-temurun.

Riwinto mengatakan, perampasan lahan, tanpa ganti rugi yang sesuai, berdampak pada mata pencaharian warga. “Otomatis juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat, yang berdampak pada petumbuhan ekonomi dan meningkatnya angka pengangguran serta berdampak pada pendidikan dan kesehatan masyarakat.”

Riwinto berharap, pemerintah daerah, mulai dari kecamatan hingga Gubernur Kalimantan Selatan, bisa jadi tim yang siap menyelesaikan masalah tanah ini secara tidak berat sebelah, tanpa ada yang dinomorsatukan dengan alasan apapun.

“Ini sudah waktunya kebenaran harus menang. Saya akan tetap berjuang sampai ajal menjemput.”

Ucapan Riwinto ini mengingatkan saya pada beberapa kasus yang dikaitkan dengan Haji Isam.

Pada 2004, Hadriansyah, seorang guru sekolah dasar di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, meninggal karena dibacok di rumahnya oleh dua lelaki, Muhammad Aini alias Culin dan Haji Babak alias Utuh Ardi, anak buah Haji Isam.

Culin dan Haji Babak dinyatakan bersalah dan dihukum penjara tiga bulan. Hadriansyah protes debu dan derau dari berbagai truk batubara termasuk milik Jhonlin.

Pada 2017, Trino Susilo, seorang pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tanam Bumbu, yang bantu masyarakat adat sekitar Gunung Meratus sengketa dengan Jhonlin Group, terjerat perkara “merambah hutan.” Padahal hukum yang dipakai sudah tak berlaku.

Pengadilan Batulicin vonis dia bersalah dengan hukuman empat tahun penjara. Susilo melaporkan hakim ke Komisi Yudisial dan bebas bersyarat April 2019.

Pada 2018, Muhammad Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat dan Berantas News, menulis sengketa lahan yang melibatkan PT Multi Sarana Agro Mandiri, di Pulau Laut, Kalimantan Selatan., milik Haji Isam. Perusahaan melaporkan Yusuf ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Yusuf ditangkap di Banjarmasin, lantas ditahan di kantor polisi Kotabaru, Pulau Laut. Yusuf meninggal lima minggu kemudian dalam masa penahanan di penjara Kotabaru karena serangan jantung.

Pada 2018, Diananta juga terlibat dalam pembuatan laporan Tempo berjudul Perang Tambang, Perang Bintang” soal rebutan lahan antara pengusaha batubara dan sawit yang juga melibatkan perusahaan Haji Isam.

Kisworo Dwi Cahyono dari Walhi Kalimantan Selatan, yang mendampingi warga maupun Diananta, mengatakan, saat ini dari 3,7 juta hektar lahan di Kalimantan Selatan separuhnya dikuasai oleh izin tambang dan sawit.

“Konflik agraria luar biasa. Belum lagi bencana ekologis dan salah satunya saat pandemi ini, dimana wartawan yang menyuarakan keadilan dan kebenaran serta salah satu pilar demokrasi kita, malah ditahan,” kata Kisworo seperti dikutip dari Kanal Kalimantan.

 

Sawit. Perusahaan sawit di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan Selatan, banyak menimbulkan masalah. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Polisi dan pemindahan ke Kotabaru

Pada 1998, ketika Presiden Soeharto mundur, para wartawan di Pulau Jawa sudah tiga dekade kesal dengan mekanisme sensor dan bredel dari zaman Orde Baru. Mereka ingin surat izin terbit ditiadakan. Mereka juga sadar perlu ada cara buat mengatasi keluhan dari masyarakat yang tidak puas terhadap media.

Meski begitu, mereka sadar, pemolisian takkan membuat keadaan lebih baik. Kitab Undang-undang Pidana memiliki terlalu banyak pasal yang bisa dipakai buat jerat wartawan. Sementara mengganti KUHP, yang disahkan parlemen Belanda pada 1908, takkan mudah dilakukan di Indonesia.

Semangat dari pembuatan Undang-undang Pers 1999, yang membentuk Dewan Pers, adalah menghindari kriminalisasi wartawan, terutama kalau beritanya keliru. Kalau berita baik-baik tentu bukan masalah sama sekali. Pekerjaan utama Dewan Pers adalah menjaga kebebasan pers serta lakukan mediasi antara penggugat, yang merasa dirugikan wartawan, dengan pihak media dimana wartawan bekerja.

Sejak 1999, puluhan ribu kasus ditengahi Dewan Pers, para pihak puas, hingga aparat penegak hukum –polisi, jaksa dan hakim—tak direpotkan dengan perkara jurnalistik.

Perkara Banjarhits keluar dari pakem ini. Pada 25 Februari 2020, Diananta mendapat surat panggilan dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Kalimantan Selatan. Sukirman tetap meneruskan gugatan terhadap Diananta ke polisi.

Pada 4 Mei 2020, Diananta ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka di Banjarmasin. Polisi menjerat Diananta dengan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Isinya, menimbulkan ‘rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan,” dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.

Mula-mula Diananta ditahan di rumah tahanan polisi di Banjarmasin, sesudah pemeriksaan polisi selesai, dia dipindah ke tahanan polisi Kotabaru, Pulau Laut, pada 20 Mei 2020.

Modelnya mirip kasus Muhammad Yusuf.

Diananta tertekan selama dalam tahanan. Dalam sebuah surat yang dia tulis dari tahanan, Diananta menuturkan rumah tahanan melebihi kapasitas. Makan hanya dua kali sehari. Keperluan pribadi harus dibeli dengan harga lebih mahal dari pasaran.

Saat pertemuan di Dewan Pers, wakil-wakil Kumparan mengatakan ikut bertanggungjawab. Begitu Sukirman melaporkan Diananta ke polisi, Kumparan justru memutus kontrak dengan Diananta.

“Kini, aku menanggung beban pidana seorang diri setelah Kumparan lepas tanggung jawab,” tulisnya.

Arifin Asydhad, pemimpin redaksi Kumparan, tak menjawab surat elektronik saya. Saya juga menghubungi  Elizabeth Taruli Lestari Lubis, tetapi tak ada jawaban.

Pemindahan penahanan Diananta ke Kotabaru juga mengejutkan bagi Wahyu, istrinya. Perjalanan darat dari Banjarmasin ke Kotabaru plus naik ferry dari daratan Kalimantan ke Pulau Laut memerlukan 10 jam.

Mengetahui suaminya segera sidang, awal Juni 2020, Wahyu segera mengurus keberangkatan menuju Kotabaru. Ongkos mahal. Dari rumahnya di Glenmore, dekat Banyuwangi, Wahyu harus menuju Surabaya untuk terbang menuju Banjarmasin. Dari Banjarmasin masih harus meneruskan 10 jam perjalanan darat ke Pulau Laut dan sekitar 1,5 jam naik feri menuju kota Kotabaru.

Aliansi Jurnalis Independen bikin kampanye penggalangan dana guna sokong keluarga Wahyu Widiyaningsih termasuk biaya transportasi buat tim Bujino Salan dari Banjarmasin, setiap minggu naik mobil ke Kotabaru buat sidang.

Wahyu juga bolak-balik Kotabaru-Banjarmasin.

“Semua kerja pasti ada risikonya,” kata Wahyu.

Di pengadilan Kotabaru, Wahyu berjumpa pertama kali dengan Diananta. Wahyu melihat Diananta sehat. Diananta terharu saat tau mendapat dukungan dari teman-teman sesama jurnalis dan aktivis adat dan lingkungan.

Wahyu ikut lega.

“Seiring berjalan waktu jadi tahan banting,” katanya.

Di Banjarmasin, dia rajin jalan kaki, sempat memasang video Tiktok ketika dia olahraga sambil pasang lagu Ebiet G. Ade, “Tuhan maha bijaksana, Dialah yang menentukan.” Pada Tiktok lain, dia merekam mobilnya masuk ferry sambil menulis, “Perjalanan di malam hari mengarungi lautan, memperjuangkan kesetiaan.”

Dalam sidang, menurut Wahyu, Diananta menyampaikan kepada majelis hakim, bahwa dia sempat bertemu dengan Haji Isam namun Haji Isam tak mau pertemuan itu diberitakan. Setidaknya, Diananta punya niat baik mendengarkan versi Haji Isam.

Saya berusaha meminta tanggapan kepada Haji Isam dan Jhonlin Group. Saya menanyakan soal penyelesaian di Dewan Pers dan bagaimana status lahan ini menurut perusahaan. Namun pesan Whatsapp ke Haji Isam sejak 3 Agustus lalu tak mendapat jawaban. Saya juga menelpon Andi Rudi, Humas PT Jhonlin Agro Raya, tetapi tak mendapat respon. Surat elektronik kepada dua alamat email resmi Jhonlin Group juga tak mendapat tanggapan.

Dalam persidangan, Bujino Salan, kuasa hukum Diananta, menghadirkan saksi dari Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, seorang anggota Persatuan Wartawan Indonesia, yang ikut menulis rancangan Undang-undang Pers 1999 serta menyaksikan pembentukan Dewan Pers.

Wina dikenal sebagai ahli bidang hukum dan etika pers. Dia sering ditugaskan Dewan Pers sebagai saksi ahli. Wina juga menulis beberapa buku tentang hukum pers, Wajah Hukum Pidana Pers dan Menggugat Kebebasan Pers.

Dalam kesaksian tertulis, Wina menegaskan, “Saya melihat pihak kedua (Diananta) hanya perpanjangan tangan pihak pertama (Kumparan), hingga Diananta tidak bisa melakukan apa-apa tanpa persetujuan pihak pertama, yaitu, Kumparan.”

Dalam kontrak antara Kumparan dan Diananta, Wina tak melihat satu pasal pun yang melepaskan tanggung jawab pidana jurnalistik dari pihak Kumparan dan ditanggung oleh Diananta.

Dalam perjanjian, Kumparan sudah menyadari bahwa Diananta bukan pihak yang bisa berdiri sendiri karena tak berbadan hukum, belum memiliki sertifikat kompetensi sebagai wartawan. Hingga sejak pertama Kumparan menyadari bahwa, mereka bekerja dengan individu.

“Konsekuensi dari individu ini pertanggung jawabannya ada di Kumparan. Kaitan dengan ini, Dianata adalah afiliasi dari Kumparan dan representatif dari Kumparan.”

“Siapa pun yang melakukan kesalahan di bidang redaksional, apakah itu reporternya, penyiarnya, atau redakturnya, maka yang bertanggung jawab adalah penanggung jawab (lembaga pers/perusahaan pers).”

Singkatnya, Wina mengatakan Diananta tak boleh diadili karena pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam sengketa jurnalistik adalah Kumparan. Dalam Undang-undang Pers tak boleh ada pengalihan tanggung jawab karena yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan itu sendiri.

Sidang berjalan setiap minggu. Setiap minggu pula, Bujino Salan dan tim serta Wahyu bolak-balik Banjarmasin-Kotabaru dengan dua mobil terpisah. Mereka naik mobil terpisah karena Bujino langsung balik ke Banjarmasin sesudah sidang. Wahyu tetap tinggal semalam atau dua malam guna besuk Diananta, baik antar makanan dan keperluan lain.

Senin, 10 Agustus lalu, majelis hakim pengadilan Kotabaru vonis Diananta tiga bulan 15 hari. Lebih ringan dari tuntutan jaksa enam bulan penjara. Dia dinyatakan bersalah menyebarkan informasi untuk “… menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan” dalam Pasal 28 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dengan vonis ini, berarti seminggu kemudian Diananta bebas karena potong masa tahanan.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan mengecam vonis dan mendesak pemerintah hapus pasal-pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang bisa dipakai oleh siapa saja, untuk membungkam media.

Dalam penjara, Diananta memutuskan menerima vonis majelis hakim “dengan berat hati.”

Dia memilih realistis tidak banding. Diananta menyatakan, akan tetap kritis, menjunjung tinggi independensi jurnalisme terus belajar etika jurnalisme.

Bujino A Salan juga tak banyak berharap dari putusan ini. “Kalau dari fakta hukum di lapangan menurut saya harusnya bebas.”

Sejak kasus ini bergulir, menurut Riwinto maupun Sairani, tak ada lagi penggusuran oleh perusahaan.

“Selama ini, masyarakat tak ada yang punya sertifikat. Sejak kasus ini, Pemda dan BPN gencar mengurusi sertifikat untuk masyarakat,” kata Sairani.

Sairani bersama Wahyu dan kawan-kawan lain menjemput Diananta ketika selesai jalani hukuman penjara, tepat Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2020 di Kotabaru, Pulau Laut. Mereka naik mobil dan ferry, menuju Banjarmasin, bertemu dengan kawan-kawan yang lain.

“Diananta membuka tabir sampai ke tingkat nasional, yang selama ini tertutupi,” kata Sairani.

 

Keterangan foto utama: Diananta, berkacamata, bersama istri dan koalisi yang membantu advokasinya. Foto: Tim Advokasi Diananta

 

Diananta, setelah bebas dari penjara, ke kantor kuasa hukumnya, Bujino A Salan (baju corak kuning). Bujino juga Ketua Forum Intelektual Dayak Nasional, cabang Kalimantan Selatan. Foto: Tim Advokasi Diananta

 

Exit mobile version