Mongabay.co.id

Mandiri Energi Gubug Lazaris Kediri, Maksimalkan Panel Surya dan Biogas

 

 

Seorang pekerja terlihat memetik sayuran, lalu membawanya ke ember untuk dicuci menggunakan air mengalir. Tidak hanya membersihkan, lelaki bernama Ketut Pramistiana ini juga menyirami petak-petak tanah yang telah ditanam berbagai jenis sayuran. Ada kangkung, bayam, okra, selada, aneka sawi, serta sayuran lain yang semua itu berada di green house seluas seratus meter persegi.

Sudah setahun, Ketut merawat kebun sayuran itu dengan memanfaatkan air sumur. Air dipompa dengan memanfaatkan daya listrik yang dihasilkan dari panel surya. Sebanyak 15 panel dipasang di atas tandon air, tidak jauh dari kebun sayur.

Panel surya inilah yang berfungsi menghasilkan energi listrik dari panas matahari. “Air yang disedot dengan pompa selanjutnya digunakan untuk mengairi kebun sayur dan kolam ikan, serta untuk memandikan 20 ekor sapi sekaligus membersihkan kandangnya,” ujar Ketut yang bekerja di Gubug Lazaris.

Gubug Lazaris merupakan pusat pertanian organik di Desa Sambirejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Didirikan pada 2010, tempat ini dikelola oleh para pastor atau romo dari Kongregasi Misi [CM] Indonesia dengan tujuan utama mengembangkan bibit unggul bermutu sekaligus mengajak masyarakat setempat untuk mengedepankan pertanian organik.

Romo Marcelinus Hardo Iswanto, penggagas dan pengelola Gubug Lazaris, menuturkan alasannya memakai panel surya sebagai sumber energi listrik di tempatnya. Dia mengatakan, selalu ingin mencari alternatif sumber energi yang berasal dari alam, untuk memperkenalkan manfaatnya kepada para petani, keluarga yang berkunjung, serta pelajar yang ingin belajar pertanian organik sekaligus energi terbarukan.

“Siapa saja yang datang ke sini dapat menyaksikan beberapa kemungkinan energi yang bisa diciptakan di lingkungan pertanian, sehingga kita tidak bergatung pada PLN,” tuturnya.

Baca: Inilah Energi Surya yang Membuat Pulau Kecil Koja Doi Menjadi Terang

 

Romo Jauhari Atmoko, CM, bersama ibu-ibu yang datang untuk membeli produk sayuran organik di Gubug Lazaris, Kediri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Hemat energi

Gubug Lazaris dipasang panel surya atau Solar Pump System berawal dari saran seorang umat paroki yang juga seorang pengusaha di bidang perangkat panel surya. Setiap lembar panel menghasilkan 100 watt listrik sehingga total 1.500 watt listrik.

Solar Pump System ini, kata Romo Hardo, hanya dimanfaatkan untuk pertanian dan peternakan siang hari, terutama saat cuaca tidak mendung terlebih hujan. Untuk listrik PLN, digunakan sebatas menerangi rumah serta energi pengganti bila cuaca tidak bersahabat.

“Kami tidak memakai baterai penyimpan karena mudah rusak dan mahal,” ujarnya.

Pemanfaatan sinar matahari, kata Romo Hardo, mampu menghemat biaya listrik PLN. “Kalau dulu bayarnya sekitar satu hingga satu setengah juta Rupiah, sekarang sepertiga yang kami bayar,” ujarnya.

Keberadaan sapi-sapi itu juga tidak hanya sebagai penghasil susu, kotorannya dimanfaatkan untuk biogas, selain sebagai pupuk untuk pertanian, buah-buahan, dan sayuran.

Biogas fungsinya sebagai pengganti LPG untuk memasak. Selain itu juga dapat energinya dimanfaatkan untuk penerangan kandang, melalui lampu petromaks. “Praktis memakainya, apinya biru. Tidak berbahaya karena tekanannya kecil dan pastinya tidak bau sehingga tidak mempengaruhi makanan,” ujar Romo Jauhari Atmoko yang baru beberapa bulan membantu Gubug Lazaris.

Noviandi Wijaya, warga lokal yang bekerja di peternakan Gubug Lazaris menuturkan, untuk mengubah kotoran sapi menjadi biogas dapat dilakukan masyarakat. Hal paling penting adalah adanya instalasi kandang yang terintegrasi dengan digester biogas, karena dari kotoran itu yang diambil gasnya.

“Di sini tempat dapat menyuplai 5 unit kompor untuk memasak. Setiap hari dipakai dan tidak ada masalah,” ujarnya.

Baca: Uniknya Kebun Hidroponik Tenaga Surya di Noja Bali

 

Sayuran hasil kebun ini dicuci menggunakan air sumur yang dioperasikan menggunakan energi matahari. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Romo Hardo menambahkan, tempat penampungan kotoran sapi di Gubug Lazaris memiliki daya tampung sebesar 12 meter kubik. Ukuran ini sudah mampu menampung kotoran sapi sebanyak 4 ekor.

“Jika sebuah keluarga memiliki 4 ekor sapi, itu sudah menghemat biaya pembelian LPG. Sudah mandiri: masak sepuasnya dan bisa untuk penerangan,” terangnya.

Dia juga menekankan fator perawatan yang tidak boleh dilupakan. Untuk panel surya, harus rajin diperiksa agar perangkat ini berumur panjang. Sedangkan biogas, harus rajin mengisi tempat penampungan dengan kotoran sapi baru sebagai sumber energi.

Kedepan, menurut Romo Hardo, pihaknya akan mengembangkan energi dari aliran air sungai untuk mengairi sawah. “Melalui pertanian organik dan pemanfaatan energi terbarukan, kami berharap, masyarakat sekitar perlahan mulai menggunakan energi ramah lingkungan ini,” tuturnya.

Pemanfaatan energi terbarukan sangat bagus sekali karena alami dan berkesinambungan. Antara sumber daya alam dan energi yang tersedia dapat bersinergi dan saling membutuhkan. “Hasilnya dapat dinikmati manusia,” terang Riris, warga yang datang ke Gubug Lazaris.

Bila pemerintah atau pihak swasta ingin membangunkan instalasi pembangkit listrik tenaga matahari atau energi biogas dari kotoran sapi, masyarakat sebaiknya diberikan pelatihan juga.

“Masyarakat di sekitar sini masih menggunakan listrik PLN. Kalau saya di rumah memakai LPG dan kayu bakar. Orangtua saya punya sapi, tapi belum berpikir membuat biogas karena belum paham. Tapi, tertarik bila diberikan penjelasan,” kata Andik, warga sekitar.

Baca: Pondok Pesantren di Magelang ini Berhemat Jutaan Rupiah dari Pemanfaatan Biogas

 

Panel surya dioperasikan di Gubug Lazaris sebanyak 15 unit. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kembangkan pertanian dengan energi alternatif

Ary Bachtiar, peneliti dari Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya menuturkan, energi dari matahari, biomassa, biogas, dan air, sangat mungkin dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif ramah lingkungan. Energi terbarukan ini merupakan pengganti energi fosil, mudah didapatkan dalam jumlah besar di alam.

Panel surya sudah banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan energi listrik dari matahari. Listrik yang dihasilkan sangat cukup menerangi rumah-rumah warga maupun jalan desa, yang pastinya dapat menghemat biaya untuk membayar listrik PLN.

“Panel surya ada yang pakai baterai dan tidak. Jika tidak pakai, bisa langsung disalurkan ke rumah-rumah atau perangkat yang membutuhkan listrik. Kalau pakai baterai bisa disimpan, digunakan malam hari,” ujarnya.

Baca juga: Atasi Limbah, Ubah Kotoran Sapi jadi Biogas dan Pupuk

 

Seorang pekerja sedang memandikan sekaligus membersihkan kandang sapi. Kotoran ternak ini digunakan sebagai sumber utama biogas. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, belum banyak masyarakat menggunakannya karena belum paham cara pemasangan maupun perawatan. Kekhawatiran terjadi kerusakan pada baterai dan harganya yang mahal atau sulit didapatkan, membuat sebagian masyarakat lebih memilih listrik PLN yang lebih praktis.

“Saat ini sudah banyak baterai dijual bebas di pasaran, dengan berbagai merek atau negara asal pembuatan. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu khawatir, kalau kualitasnya bagus bisa sampai tiga tahun,” katanya.

Ary mengatakan, pemanfaatan energi matahari untuk menggerakkan peralatan pertanian, sangat dimungkinkan. Namun, perlu juga dikombinasikan dengan energi lain, seperti diesel yang masih menggunakan minyak solar, energi air atau mikrohidro, angin, biogas dan biomassa.

Energi listrik dari sinar matahari sangat dipengaruhi kondisi alam, khususnya cuaca. Bila sering hujan atau mendung, sinar matahari tidak akan efektif. “Kalau satu sumber saja kurang berkalanjutan, nanti bisa putus-putus, karena alam tidak dapat dikendalikan. Maka perlu dikombinasikan dengan sumber daya yang lain,” kata Ary.

Sedangkan biogas dapat dimanfaatkan masyarakat, asalkan di desa itu memiliki potensi sapi yang dapat diambil kotorannya. Dari biogas itu, berbagai peralatan dapat difungsikan seperti genset, kompor, hingga lampu. Kotoran sapi juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk pertanian.

“Kuncinya pada kandang, kalau ukurannya cukup besar dan terkumpul kotoran ternaknya, bisa dijadikan biogas. Tapi kalau sapinya dilepas di lapangan untuk cari pakan sendiri, agak sulit.”

Potensi besar sumber daya alam yang ada di pedesaan ini, menurut Ary, perlu dicermati dan dioptimalkan. “Sedangkan untuk pemanfaatan teknologi, sudah banyak yang dapat digunakan untuk mengubah sumber daya alam menjadi energi,” ujarnya.

 

Romo Hardo Iswanto, CM, menunjukkan cara menyalakan kompor yang energinya bersumber dari biogas. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Energi, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Provinsi Jawa Timur, Oni Setiawan, menegaskan komitmen pemerintah dalam mendorong tercapainya target bauran energi terbarukan di Jawa Timur.

Jawa Timur merupakan provinsi dengan potensi sumber daya alam beraneka ragam, dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif. Ada energi matahari, angin, air, panas bumi, biomassa, mikrohidro, dan biogas.

Pengembangan energi terbarukan sebagai bagian pengembangan suatu daerah, mesti memperhatikan potensi sumber daya alam yang terdapat di daerah itu sendiri. Selain itu, peran aktif masyarakat dalam menjalankan kelangsungan program energi alternatif juga sangat penting guna memastikan kesinambungannya.

“Dinas ESDM mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan, karena itu merupakan program nasional. Prinsipnya, energi baru terbarukan [EBT] itu dari sumber daya atau potensi alam di sekitar masyarakat,” kata Oni.

 

Seorang petani tengah membajak sawah di lahan pertanian organik Gubug Lazaris di Pare, Kediri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur, kata Oni, memiliki program membantu masyarakat di pedesaan, khususnya daerah miskin dan terpencil, untuk dapat memperoleh energi melalui energi terbarukan. Bantuan hibah ini diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang sebelumnya memberikan usulan melalui proposal untuk dibahas di musyawarah perencanaan pembangunan [musrenbang].

Program pengembangan energi terbarukan ini juga melibatkan lintas sektor di pemerintahan, seperti Dinas Peternakan dan Dinas Lingkungan Hidup. “Fokus kami di pedesaan terpencil, masyarakat miskin, termasuk di pulau terluar dan terpencil,” kata Oni.

Pemanfaatan energi terbarukan untuk menunjang sektor pertanian dan peternakan, dapat dilakukan dengan membuat kelompok-kelompok masyarakat atau melalui Badan Usaha Milik Desa [Bumdes]. Ini untuk memberi jaminan keberlangsungan program pengadaan energi terbarukan di pedesaan. Seperti pengadaan digester untuk energi biogas pada desa dengan potensi ternak sapi cukup banyak.

“Untuk biogas, kami sudah melakukan setiap tahunnya, disesuaikan anggaran. Namun, akibat pandemi, dilakukan realokasi anggaran, sehingga tahun ini program itu tidak dilakukan.”

 

Gubug Lazaris di Pare, Kediri, menghadirkan pertanian organik sekaligus memaksimalkan potensi energi surya dan biogas. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pengembangan bauran energi, kata Oni, seharusnya tidak hanya mengandalkan pemerintah, baik pusat, daerah, serta BUMN, namun juga melibatkan swasta dan masyarakat secara mandiri. Ini penting, agar masyarakat merasa ikut memiliki dan membutuhkan sehingga keberlangsungannya terjaga.

“Untuk biogas, butuh terus menerus penanganannya. Kotoran sapi dan air harus rutin dicampur sebelum masuk digester. Tidak boleh dibiarkan mangkrak.”

Selain biogas dari kotoran sapi, Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur saat ini tengah melakukan survei pada daerah yang terdapat industri tahu. Dari limbah industri tahu, nantinya akan dimanfaatkan sebagai bahan baku energi biogas. Potensi industri ini menjadi jaminan kesinambungan antara sumber daya, dengan kebutuhan masyarakat atau dunia usaha yang memerlukan biogas sebagai energi alternatif.

“Ini adak dilakukan, karena dibutuhkan sebagai pengganti bahan bakar. Arahnya ke sana dan sangat mungkin untuk diteruskan,” katanya.

Pemerintah, lanjut Oni, akan selalu mendukung dengan memberikan stimulus kepada masyarakat yang mau beralih memanfaatkan energi terbarukan sebagai alternatif energi. Namun, masyarakat perlu memiliki perencanaan yang matang bila hendak menjadikan energi terbarukan sebagai alternatif. Terlebih dalam hal keberlangsungan energi terbarukan guna memenuhi kebutuhan energi masyarakat.

 

 

Exit mobile version