Mongabay.co.id

Menyambungkan Koridor, Agar Gajah Tidak Punah dari Pesisir Timur Sumsel [Bagian 3]

 

Tulisan sebelumnya: Menyoal Kelestarian Gambut, Mangrove dan Masa Depan Gajah di Sugihan

 

Sejak pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) tahun 2004 di kawasan hutan produksi di Kabupaten Ogan Kemiring Ilir (OKI), -seturut dengan investasi yang masuk, bentang alam pun mulai berubah.

Pabrik PT OKI Pulp & Papers Mills yang berada di Sungai Baung milik group raksasa Asia Pulp and Paper – Sinar Mas dibangun dengan anggaran Rp40 trilyun. Sejak 2016, pabrik ini sudah melakukan produksi, dan target produksi per tahun sekitar 2 juta ton pulp dan 500 ribu ton tisu.  Untuk memperlancar distribusi produksi, perusahaan berencana membangun pelabuhan di Tanjung Tapa, kawasan pesisir yang menghadap Selat Bangka.

Di sisi lain, pemerintah pun berencana untuk membuat mega proyek jembatan yang akan menghubungkan antara daratan Sumatera dengan Pulau Bangka sepanjang 13 km. Rencananya pembangunan jembatan ini dilaksanakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan dana Rp15 trilyun.

Titik jembatan ini di Desa Tanjung Tapa, Kecamatan Tulungselapan, Kabupaten OKI menuju Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungai Selatan, Kabupaten Bangka Tengah.

Persoalannya, pembangunan proyek infrastruktur ini akan memotong habitat dan koridor gajah di Pesisir Timur yang bentuknya menyerupai lingkaran di wilayah Cengal – Penyambungan – Sebokor -Jalur 23 – Lebong Hitam dan kembali ke Cengal. Saat ini pun sejumlah kawanan gajah hidup dengan melintasi area HTI dan perkebunan sawit.

Dapat dipastikan pembangunan dua proyek tersebut, terutama terkait dengan jalan menuju pelabuhan dan jembatan, memotong koridor gajah, khususnya antara Jalur 23-Lebong Hitam.

Lalu bagaimana caranya agar gajah tetap eksis di lansekap Sugihan, OKI?

Dolly Priatna, Kepala Departemen Konservasi Lansekap APP Sinar Mas, menyebut bahwa perusahaan telah menyiapkan koridor gajah di dalam dan di luar konsesi HTI.

“Gajah di OKI [lansekap Sugihan] berpotensi sebagai sebagai populasi yang viable. Artinya dapat bertahan untuk jangka panjang, asal kondisi sekarang bisa di-maintain dan dipertahankan,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu

Dalam rencana, koridor ini akan menghubungkan lima kantong gajah yang ada di kawasan HTI yang terhubung areal konsesi restorasi ekosistem PT KEN (Karawang Ekawana Nugraha). Sebagai upaya preventif, perusahaan juga menyiapkan Tim Satgas Konflik Satwa dengan Manusia, dan pembuatan barier untuk areal permukiman.

Sebagai penunjang koridor, saat ini tengah dibuat lokasi penanaman rumput gajah sebagai konsumsi kawanan gajah. Lokasi rumput gajah ini berada di konsesi pemasok APP, yaitu PT BAP seluas 16 hektar, di PT BMH seluas 13 hektar, dan PT SBA seluas 12 hektar. Selain itu bakal dibuat salt lick (tempat menjilat garam alami) untuk gajah sebanyak 34 lokasi. PT BAP [9 lokasi], PT BMH [13 lokasi] dan PT SBA [12 lokasi].

“Kami juga memasang seratusan rambu wilayah lintasan gajah, dan terus melakukan sosialisasi mitigasi konflik satwa dengan manusia bersama karyawan, kontraktor dan masyarakat,” katanya. “Jika pakan tersedia, kemungkinan kawanan masuk ke pemukiman juga menjadi kecil.”

Baca juga: Gajah di Pesisir Timur Sumsel Tetap Berkembang Meski Habitatnya Terancam

 

Tulus, gajah jinak di SM Padang Sugihan, Sumsel. Ia gajah angkatan pertama yang dilatih di PLG SM Padang Sugihan Sebokor. Tulus merupakan keturunan dari keluarga gajah di kantong Penyambungan. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perlu Kerjasama para Pihak

Upaya APP Sinar Mas menata populasi gajah di lansekap Sugihan, dinilai positif bagi para pihak. Namun, upaya ini hendaknya melibatkan banyak pihak.

“Sebagian gajah itu saat ini hidup di kawasan HTI. Menjadi kewajiban perusahaan HTI untuk menjaga populasi gajah di lansekap Sugihan yang masih bertahan. Jika tidak ada upaya yang signifikan dalam menjaganya, niscaya populasi gajah tersebut akan semakin menurun jumlahnya,” jelas Donny Gunaryadi, Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI).

Agar populasi gajah dapat terus eksis, maka dia menyebut perlu didukung hasil penelitian yang terukur, seperti kepastian wilayah jelajah gajah, keberadaan pakan, serta mempersiapkan upaya mitigasi konflik yang lebih terpadu.

“APP harus melibatkan berbagai pihak dalam membangun koridor pergerakan satwa di HTI dan pembangunan jalan tersebut.”

Syamsuardi dari Hutan Satwa, sebuah NGO yang fokus pada mitigasi konflik gajah, saat dijumpai terpisah, mengamini pernyataan Donny.

“Ya, APP Sinar Mas harus melibatkan banyak pihak, termasuk soal bagaimana pembangunan jalan menuju Pelabuhan Tanjung Tapa tidak mengganggu koridor gajah,” sebutnya.

Syamsuardi termasuk senior dalam urusan pergerakan gajah liar. Dia pernah melakukan survei populasi di lansekap Sugihan, termasuk di kawasan HTI dan kawasan konsesi restorasi ekosistem PT KEN. Menurutnya kondisi gajah di wilayah ini cukup sehat dan terjadi regenerasi.

“Ini yang membahagiakan saya. Tampaknya lansekap Sugihan merupakan surga bagi gajah sumatera di wilayah pesisir Sumsel,” katanya.

“Gajah itu karakternya tergantung kita. Kita tenang dan bersahabat, mereka pun demikian. Kita memikirkan kehidupan mereka, mereka pasti tidak akan mengganggu atau berkonflik dengan kita.”

Berdasarkan surveinya, kawasan PT KEN merupakan kantong gajah yang dikunjungi satu keluarga besar di lansekap Sugihan. “Mungkin mereka mendapatkan banyak salt lick di kawasan PT KEN. Fakta ini membuat kawasan di PT KEN sangat penting bagi populasi gajah di lansekap Sugihan.”

 

Lokasi ini dulunya tempat berkumpul kawanan gajah di Dusun Belanti, Desa Banyu Biru, Air Sugihan, OKI, Sumsel. Pernah berdiri rumah transmigran di sini, tapi ditinggalkan pemiliknya karena rumahnya pernah dikelilingi kawanan gajah dalam beberapa hari. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Jumiran, Kepala Resort Konservasi Wilayah XV Pusat Latihan Gajah [PLG] Padang Sugihan, mengestimasi di lansekap Sugihan terdapat 50-an individu gajah liar.

“Yang pertama itu, keluarga gajah di Jalur 23 atau PT KEN. Ini keluarga besar. Jantannya banyak di sana. Koridor keluarga ini, dari PT KEN ke Simpang Heran, kemudian balik lagi ke PT KEN, kemudian ke Lebong Hitam dan balik lagi,” katanya.

Koridor gajah dari PT KEN ke Lebong Hitam ini yang bakal terpotong jalan yang menghubungkan kompleks PT OKI Pulp & Paper Mills ke Pelabuhan Tanjung Tapa.

Sementara keluarga gajah liar kedua berada di Sebokor, SM Padang Sugihan. Keluarga gajah kecil. Jumlahnya belasan.

“Keluarga gajah ini sebenarnya keturunan dari keluarga gajah di Penyambungan. Mereka terpisah waktu pembukaan jalan oleh perusahaan yang menghubungkan Desa Riding dengan kawasan HTI.”

Di Pesisir Timur Kabupaten OKI,  ada tiga keluarga besar gajah dan dua keluarga kecil. Selain di PT KEN, keluarga besar gajah berada di Penyambungan. Jumlahnya kisaran 40-an. Koridornya dari Penyambungan ke Cengal. Bolak-balik.  “Sebagian gajah di kantong Penyambungan merupakan keturunan dari keluarga di PT KEN,” jelasnya.

Kantong ketiga terbesar berada di Kecamatan Cengal, tapi mengarah ke Mesuji. Populasinya kisaran 40-an individu. “Sementara keluarga kecil lainnya berada di Lebong Hitam. Kisaran 30 individu.”

Baca juga: Kisah Topan Gajah Sumatera Korban Kebakaran Hutan yang Beranjak Dewasa

 

Kawanan kerbau rawa ditengarai menyebabkan gajah enggan menyeberang. Kerbau rawa umum dipelihara oleh masyarakat di Pesisir Timur OKI, Sumsel. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perlu Mengembalikan Keutuhan Koridor Gajah

Selain putusnya koridor SM Padang Sugihan dengan Penyambungan karena adanya jalan yang menghubungkan Desa Riding dengan kawasan HTI dan kompleks PT OKI Pulp & Paper Mills, maka kerbau rawa milik masyarakat  dituding sebagai sebab gajah enggan untuk melewati jalur itu kembali.

“Ada ratusan kerbau yang dipelihara masyarakat Desa Riding. Entah mengapa gajah tidak mau melintas ketika mengetahui adanya kerbau. Apa sikap toleransi atau takut,” tutur Shabiliani Mareti, Kepala Urusan Pelaporan, Evaluasi, Pelayanan dan Kehumasan BKSDA Sumatera Selatan

“Menurut kami, perlu dibangun jembatan pelintasan gajah di atas wilayah tersebut, sehingga kawanan gajah liar dapat mengakses dari SM Padang Sugihan ke Penyambungan.”

Jumiran membenarkan jika koridor Sebokor, SM Padang Sugihan, ke Penyambungan terputus. Selain adanya jalan, rumah penduduk, ratusan kerbau rawa menyebabkan gajah “takut” menyeberang.

“Saya beberapa kali menyaksikan gajah liar lari saat ketemu kawanan kerbau rawa. Saya tidak tahu apa alasannya. Jika ingin menghubungkan kembali keluarga gajah di Sebokor dengan keluarga gajah di Penyambungan, ya, pindahkan kerbau-kerbau rawa tersebut,” lanjutnya.

Hal lain yang menjadi ancaman bagi populasi gajah di lansekap Sugihan adalah terjadinya konflik dengan manusia. Untuk itu solusinya, jalur utama jelajah gajah di Sugihan perlu dipetakan dan diketahui dengan seksama.

“Setelah diketahui jalur utama, perlu dukungan seperti ketersediaan pangan dan salt lick, sehingga kawanan gajah tidak membuat jalur baru yang dapat menimbulkan konflik,” ungkap Samsuardi.

Selain itu juga perlu perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan terhadap karyawan, kontraktor, maupun masyarakat sekitar HTI atau jalur utama gajah, bagaimana menghadapi gajah sehingga terhindar dari konflik.

Upaya ini pun didukung oleh warga. Seperti yang disampaikan oleh Ahmad Furqoni, warga lokal yang juga Sekretaris Desa Nusakarta, Jalur 27, Kecamatan Air Sugihan

“Itu langkah tepat. Kami warga amat mendukung. Warga di Air Sugihan tidak terganggu kehadiran gajah dan kami juga tak pernah memburu gajah. Kami sadar mungkin dulunya permukiman kami rumah atau koridor gajah,” tuturnya.

“Tapi terkadang gajah-gajah itu keluar dari kawasan HTI dan masuk ke sawah dan perkebunan warga. Makan padi dan merusak kebun. Susah juga kalau gajah-gajah itu merusak sawah dan kebun kami.”

Lalu apa yang membuat gajah keluar dari jalur utamanya?

Syamsuardi punya penjelasan. Menurutnya, gajah punya perilaku untuk terus bergerak, dan tidak akan makan di wilayah yang masih terdapat kotorannya. Kelompok gajah akan makan, buang kotoran dan pergi ke tempat yang baru. Dengan demikian perlu banyak ruang jelajah.

“Jika di jalur utamanya tidak akan makanan, maka dia akan mencari sumber makanan lain. Gajah itu senang di wilayah terbuka, sebab di ruang terbuka terdapat banyak sumber makanan. Sekitar 70 persen kehidupan gajah itu di ruang terbuka,” tuturnya.

 

Di seberang kanal merupakan koridor gajah dari PT KEN ke Simpang Heran yang berada di kawasan HTI. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Guna melacak pergerakan gajah di lansekap Sugihan, Dolly menyebut pihak perusahaan akan coba memasang GPS collar di sejumlah gajah.

“Tahun ini kami membeli GPS collar yang akan coba dipasangkan di induk gajah.”

Saat ditanya tentang upaya menyatukan populasi gajah yang ada di SM Padang Sugihan dengan populasi gajah di lansekap yang lebih luas, Dolly menjelaskan mereka akan meminta dukungan dari BKSDA Sumsel untuk pembuatan perencanaan jangka panjang, termasuk perihal koridor gajah antara SM Padang Sugihan ke Penyambungan.

“Itu yang sedang dikaji. Pada kebakaran hutan dan lahan di SM Padang Sugihan pada 2015 dan 2016 lalu, sekitar 30-40 individu gajah liar di SM Padang Sugihan menyeberang jalan tersebut dan menuju areal PT Bumi Mekar Hijau [BMH]. Tapi kelompok gajah tersebut kemudian kembali ke SM Padang Sugihan ketika kebakaran reda,” kata Dolly.

Sekitar lokasi penyeberangan itu pun, sering kali terlihat kawanan kerbau rawa,

“Kemungkinan inilah yang menyebabkan gajah enggan menyeberang. Menurut kami gajah dan kerbau rawa itu memanfaatkan sumber pangan yang sama, yakni jenis rumput-rumputan dan tumbuhan hijau lainnya. Tapi hal ini perlu kajian, sehingga kita dapatkan solusinya.”

 

Tulisan sebelumnya dari seri ini:

[1]  Infrastruktur Terus Berkembang, Mampukah Gajah Bertahan di Pesisir Timur?

[2]  Menyoal Kelestarian Gambut, Mangrove dan Masa Depan Gajah di Sugihan

 

 

***

Foto utama: Gajah sumatera, perlu dilindungi dari ancaman kepunahan. Foto: Rahmadi Rahmad

 

 

 

Exit mobile version