Mongabay.co.id

Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia

Perhutanan Sosial saat ini nyata menjadi solusi pilihan utama populis bagi pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Payung hukum skema Perhutanan Sosial meliputi Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat yang mengacu pada Permen Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016.

Tidak berhenti sampai disitu, Perhutanan Sosial semakin dikukuhkan dengan ditetapkannya Perhutanan Sosial sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, dimana tersebut bahwa upaya memperluas wilayah kelola masyarakat melalui Perhutanan Sosial menjadi salah satu poin utama.

Dengan demikian, tidak ada lagi persoalan dari sisi legalitas atas hak kelola. Masyarakat memiliki legitimasi kuat atas klaim pengelolaan kawasan hutan. Skema ini pun sekaligus menjadi upaya akhir untuk menutup peluang bagi pihak lain yang ingin menangguk untung dari ketidaktahuan masyarakat terkait pengelolaan kawasan.

Secara capaian, Perhutanan Sosial telah menunjukkan perkembangan signifikan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pendistribusian lahan perhutanan sosial di seluruh penjuru tanah air per 31 Desember 2019 sudah mencapai 4,08 juta hektar. Angka ini jauh melonjak dibanding tahun 2017 yang hanya mencapai 529,6 ribu hektar.

Akselerasi kinerja Pemerintah yang terus menggenjot pendistribusian lahan untuk Perhutanan Sosial telah menunjukkan peningkatan signifikan. Meski perlu diakui, capaian ini masih jauh dari target yang ditetapkan dalam Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) hasil revisi SK Menteri KLHK Februari 2019, yang memiliki target hingga 13,8 juta hektar.

Dengan mengacu pada PIAPS, -dengan angka realisasi Perhutanan Sosial hanya mencapai sekitar 29 persen, maka target 13,8 juta hektar mustahil untuk terwujud, yang pada akhirnya revisi target Perhutanan Sosial pada akhir tahun 2019 menjadi 4,38 juta hektar.

Lantas, apa yang membuat target ini jauh dari sasaran semula, apa yang menjadi tantangannya?

Baca juga: Aturan Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Terbit

 

Ilustrasi petani agroforestri. Pak Taman di Kalimantan Tengah, melakukan pengelolaan lahan tanpa bakar. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Persoalan Tafsir Daerah

Mengacu pendapat Ani Adiwinata, peneliti CIFOR, maka tantangan utama dari Perhutanan Sosial adalah di tingkat lapangan, hal ini meliputi soal paradigma dan kerja konkret yang ada.

Perhutanan Sosial masih dipandang sebagai program nasional, dan pemerintah provinsi belum menjadikannya sebagai bagian program prioritas pembangunan ekonomi daerah, sehingga keberadaannya tidak teranggarkan di APBD untuk mendukung kerja-kerja implementatif di tingkat tapak.

Hal ini terbukti dengan implementasi Perhutanan Sosial yang masih dikatakan jauh dari target. Bahkan di beberapa daerah capaiannya masih teramat minim. Seperti contoh yang ada di Provinsi Riau. Dari alokasi PIAPS seluas 1,42 juta hektar, realisasinya baru mencapai 6 persen atau kurang dari 100 ribu hektar.

Pada tahun 2018, bahkan belum ada satu pun pengusulan Perhutanan Sosial yang diproses dan diberikan akses oleh Pemerintah Riau. Lemahnya implementasi Perhutanan Sosial tersebut mengindikasikan bahwa ketimpangan dan kesenjangan penguasaan dan pengelolaan lahan di provinsi tersebut, tampaknya belum menjadi prioritas bagi Pemda.

Namun, ada juga titik terang positif yang muncul dari Pemda. Seperti dikeluarkannya Pergub Sumbar Nomor 52 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial. Terbitnya aturan ini mengukuhkan Sumatera Barat sebagai daerah yang progresif dalam implementasi Perhutanan Sosial. Dari total alokasi 500 ribu hektar, telah diberikan hak pengelolaan Perhutanan Sosial sekitar 226 ribu hektar bagi masyarakat.

Selain itu, terbitnya Pergub ini juga memberikan akses dan kemudahan bagi semua pihak dan instansi pemerintahan di level daerah yang sebelumnya tidak memiliki domain terkait persoalan lingkungan dan kawasan hutan, untuk ikut terlibat dalam Program Perhutanan Sosial.

Seperti diantaranya, Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan, Dinas Koperasi dan UKM maupun Dinas Pariwisata. Dari sisi penganggaran, Pergub juga mengakomodir agar BUMD dan pihak swasta terlibat dalam skema pembiayaan aktivitas perhutanan sosial.

Meskipun telah perkecualian di atas, namun secara holistik, implementasi kebijakan Perhutanan Sosial di tingkat daerah masih sangat minim dan perlu didorong lebih jauh lagi.

Baca juga: Perhutanan Sosial Dorong Reforestasi, Bukan Legalisasi Deforestasi

 

Ilustrasi produk yang dikembangkan dari lahan perhutanan sosial. Dua orang perempuan asal Desa Lubuk Kertang, Langkat Sumut memperlihatkan hasil kerajinan purun. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Tantangan Perkembangan di Masa Depan

Disamping integrasi program perhutanan sosial pada level nasional hingga level daerah yang dirasa masih minim dan terkesan kontradiktif, maka implementasi Perhutanan Sosial mesti disorot pada kapasitas untuk menjawab tantangan kedepan, sehingga ia dapat tetap dikawal dan tetap menjadi isu strategis nasional.

Untuk itu, ada dua poin utama yang perlu menjadi kajian kritis bagi para pemangku kepentingan, yaitu:

Pertama, mendorong akselerasi perluasan areal perhutanan sosial dengan tetap merujuk pada target sesuai dengan PIAPS. Minimnya realisasi perhutanan sosial pada periode sebelumnya, harus menjadi refleksi penting bagi pemerintah kedepannya.

Semua pihak terkait dari lintas sektor yang terlingkup didalam Pokja PPS (Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial) mesti membangun kesamaan visi dan saling mendukung satu sama lain. Agar tidak terjadi tumpang tindih dan perbedaan pemahaman yang mengakibatkan usulan seringkali terganjal.

Kedua, selain, mengupayakan integrasi dan membangun kesepahaman pada level kebijakan daerah, pemerintah pusat mesti merevisi sejumlah aturan yang dirasa tumpang tindih dan tidak akomodatif dalam mendukung pengelolaan pasca SK Perhutanan Sosial diberikan.

Sebagai contoh, terkait pembiayaan Perhutanan Sosial, ia masih sangat luas sekali diatur dalam Pasal 63 Permen KLHK Nomor 83 Tahun 2016 dan belum memiliki daya ikat yang kuat. Faktor implementasi pembiayaan ini bisa diatur hingga pada tahap mekanisme penganggaran, terutama sumber pembiayaan yang terkait dari dana desa. Hal ini akan menjawab keragu-raguan di tingkat masyarakat dan pemangku kepentingan yang selama ini menunggu instruksi langsung yang diatur dalam peraturan.

Lebih jauh dari itu, menimbang semangat dan suasana kebatinan Perhutanan Sosial pada beberapa tahun terakhir yang mulai menunjukkan perkembangan signifikan, maka muncul keyakinan kuat bahwa masa depan Perhutanan Sosial ini akan lebih baik.

Untuk itu, penting melihat agar perhutanan sosial diatur lebih lanjut dalam serangkaian kebijakan yang termaktub dalam peraturan yang lebih tinggi, semisal Peraturan Presiden, yang tak hanya terbatas hanya pada level Peraturan Menteri saja, sehingga dapat diturunkan hingga ke level Perda ataupun Perbup.

Serangkaian aturan kebijakan dan implementasi serta upaya percepatan ini perlu dibangun untuk terus menjaga momentum mendorong kemandirian ekonomi yang didengungkan sebagai bagian dari strategi nasional Pemerintah. Pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat merupakan keniscayaan ditengah tingginya disparitas penguasaan lahan serta isu perubahan iklim yang semakin runyam.

 

* Nabhan Aiqani, penulis adalah Spesialis Pengelolaan Pengetahuan di KKI WARSI. Artikel ini merupakan opini penulis

 

 

Exit mobile version