Mongabay.co.id

Begini Mitigasi Dampak Pandemi ala Desa Tembok Buleleng Bali

 

Keseriusan Kepala Desa muda berusia 34 tahun ini terlihat dari kantornya. Tak ada air kemasan pelepas dahaga. Diganti gelas kaca ditata apik di bilah kayu, dan air dalam jar kaca. Ia pernah membuat sayembara berhadiah babi bagi warganya yang menghelat pesta pernikahan tanpa sampah plastik.

Dewa Komang Yudi, Kepala Desa Tembok di Kabupaten Buleleng, Bali, yang terpilih saat berusia 29 tahun ini memperkenalkan sedikitnya lima hasil desanya, saat dikunjungi 11 Agustus 2020. Kacang mete, gula juruh lontar, minyak kelapa, gula aren lontar, dan garam laut. Sebentar lagi ditambah panen raya mangga manalagi.

Semua hasil olahan kebun dari tanah gersang dan laut ini dikemas menarik. Berisi nama produk, bahan, dan pembuatnya. Makin bernilai ketika dimasukkan dalam tas anyaman bambu ala parsel. “Mari coba kaca mete diguyur madu,” ajaknya. Yudi meraih piring lepek, mengisinya dengan beberapa mete, lalu diguyur gula juruh, aren lontar yang dicairkan.

Mete yang milky dan renyah olahan Badan Usaha Milik Desa Tembok ini berpadu dengan legitnya gula lontar. Cemilan yang bikin tak henti mengunyah. Sambil nyemil mete, Yudi menyodorkan leaflet program ekowisata yang didesain sederhana menelusuri desa dan kegiatan sehari-hari warga.

Tiap hasil desa ini punya ceritanya sendiri. Jatuh bangunnya, dari membuat kalkulasi biaya pembelian panen warga, pengolahan, dan lainnya. Misalnya mete, BUMDes sedang masa transisi mengurangi kontrak hasil ke pengepul yang beli dengan harga cukup murah Rp15-17.000/kg gelondongan. Dari 5 kg mete gelondongan, hanya menghasilkan sekitar 1 kg mete bersih siap makan. BUMDes akan membeli Rp150 ribu per kg mete bersih.

Potensi hasil mete dari Desa Tembok sekitar 80-100 ton per tahun. Desa akan membeli hasil panen warga apapun kualitasnya sekitar Rp20 ribu per kg gelondongan.

“Awalnya beli gelondongan, tapi memutuskan beli bersih biar warga lain juga dapat hasil tambahan dari proses pengolahannya,” urai Dewa Willy, Ketua BUMDes. Demikian juga proses trial and error di komoditas desa lainnya yang diolah.

Contoh produk hasil pengolahan inilah yang jadi bukti bagi warganya untuk meyakini ide Kepala Desanya untuk mengolah lahan dengan serius. Apalagi Desa Tembok sudah siap dengan sejumlah pilihan, skema, dan perhitungan. Amunisi untuk menghadapi dampak buruk pandemi Covid-19 yang berlangsung entah sampai kapan.

baca : Antisipasi Krisis, Sediakan Pangan dari Beragam Sumber Lokal

 

Lahan-lahan gersang tak produktif kini didata dan dioptimalkan sebagai hasil pertanian jangka pendek. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Memetakan peluang kerja

Desa Tembok bisa diakses setelah 3 jam berkendara dari Denpasar menuju Utara pulau Bali. Yudi mengantar kami melihat demplot kebun-kebun tak produktif yang direvitalisasi selama beberapa bulan ini. Dari jalan raya lalu berbelok ke jalan pemukiman, lahan-lahan terlihat kering, berdebu, dan daun meranggas di musik kamarau berangin ini.

Anak-anak bermain ayunan dan layangan di kebun mete, pohon buah yang tahan di tanah tandus. Banyak dibudidayakan di Karangasem daerah pesisir, seperti Desa Tembok, Kubu, Muntigunung, Seraya, dan sekitarnya.

Setelah 5 menit berkendara, sebuah demplot sudah terlihat ramai. Belasan warga bekerja. Para perempuan membuat polybag, mengisinya dengan tanah untuk wadah bibit. Mereka akan mendapat upah dari jumlah polybag yang berhasil diisi.

Sementara para pria bekerja membersihkan kebun, menyiapkan tanah-tanah gembur untuk ditanami, dan merawat aneka sayuran yang sudah panen beberapa kali. Ini panorama tak biasa, bertanam sayur di lahan gersang dengan nauangan pohon kelapa.

Puluhan are lahan kering ini berhasil jadi kebun yang menumbuhkan terong, kangkung, sayur ijo, tomat, dan lainnya. Semua jenis sayuran yang harus dibeli di warung atau pasar. Dan cukup adaptif di lahan kering. Mereka tak mencoba tanam wortel atau kentang yang perlu udara sejuk. Hasil panen ini menambah ragam sayuran dari kebun seperti sayur daun ubi, daun pepaya, daun labu, dan daun kacang.

Dari 19 orang warga yang bertugas di demplot ini, 6 di antaranya adalah warga yang kembali pulang kampung karena kehilangan pekerjaan di perantauan. Ada yang jadi supir taksi di Kuta, pekerja money changer, staf hotel, dan lainnya. Mereka tak mampu menghidupi diri lagi di perantauan sejak pandemi ini karena tempat wisata, hotel, dan restoran kehilangan turis.

Salah satunya Komang Sukadiana yang bekerja di Money Changer, Legian. “Untung di kampung bisa kerja dan dapat sayur,” ujarnya sambil sibuk menyirami barisan sayur mayur.

baca juga : Harapan Setelah Pandemi COVID-19 adalah Ekonomi Biru

 

Demplot kebun sayur yang dibuat selama pandemi, untuk kebutuhan pangan warga dan sumber penghasilan baru. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Dewa Komang Yudi mengatakan sudah memetakan 28 bidang pekerjaan di desa yang bisa dioptimalkan. Termasuk bagi mereka yang jadi korban PHK dampak pandemi.

Misalnya petugas kebersihan pantai, program air bersih dan lingkungan seperti membuat instalasi biopori di masing-masing rumah tangga, pemantau jentik nyamuk, petugas fogging, pencatat data di desa, menjahit masker, dan lainnya. Seluruh program pembangunan dan ekonomi yang sepenuhnya dikerjakan warga.

Risikonya, desa harus membuat program pelatihan dan pendampingan singkat. Meyakinkan warga ini pekerjaan penting untuk kepentingan bersama, dan sumber penghasilan. Dari pemetaan, sekitar 40% warga atau 1200 orang yang merantau, terutama Denpasar dan Badung.

Dari data desa, sekitar 700 orang yang sudah balik ke kampung. Sisanya masih bertahan di rantau karena masih punya tabungan atau pekerjaan lain. Dampak deurbanisasi inilah yang sedang dimitigasi dengan revitalisasi pertanian.

Urbanisasi ini berawal dari bangkrutnya usaha budidaya jeruk keprok yang terkenal di era 70-80an karena hama CPVD. Jeruk Tejakula, nama yang populer saat itu. Yudi menyebut warga sempat beralih ke komoditas anggur namun tak berhasil. Lalu coba menanam mete, mangga, dan lontar. Seiring boom industri pariwisata, rombongan warga coba peruntungan ke Bali Selatan. Berlanjut sampai generasi kini.

“Pertanian adalah salah satu bidang yang akan kita seriusi selama pandemi,” sebut Yudi. Ada banyak alasan, hal pertama adalah, “Kita tidak tahu kapan pandemi akan berakhir. Meski sudah berakhir, tumpuan hidup warga dari pariwisata juga tidak serta merta kembali normal,” jelasnya. Ia mengkalkulasi, ada kemungkinan turis asing akan dibatasi. Dampaknya, banyak yang belum bisa kembali bekerja di usaha-usaha pendukung pariwisata.

Kedua, kehilangan penghasilan berarti daya beli menurun. Di balik daya beli turun, warga tetap perlu makan.

perlu dibaca : COVID-19 Berdampak pada Petani dan Ketahanan Pangan di NTT. Apa Solusinya?

 

Pertanian organik ini makin ditekuni dengan sejumlah pelatihan dan pendampingan di kubu belajar tengah kebun Desa Tembok. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Karena itu solusinya adalah memberikan alternatif pekerjaan agar warga terdampak ini tetap produktif. “Kedua, mereka juga bisa dapat penghasilan dari apa yang mereka kerjakan,” urai Yudi bersemangat. Ketiga, ini adalah momentum untuk mengerjakan lahan-lahan tidur yang tidak dikelola dengan optimal. Keempat, menyediakan pangan bagi kalangan terdampak yang tetap butuh makan.

Lahan yang sedang diujicoba untuk optimalisasi ini sekitar 5 hektar di lokasi terpisah. Desa tidak memiliki lahan, semua milik warga yang statusnya ada yang dipinjam atau disewa. Lahan pinjaman jika pemilik punya banyak lahan dan tidak berkategori miskin. Desa menyewa lahan, jika pemiliknya miskin dan perlu tambahan.

 

Memulai solusi dan mitigasi

Bagaimana memulainya? Jika mendengar penjelasan Yudi, bisa jadi terdengar mudah. Tapi perlu konsistensi dan keteladanan. “Tinggal mulai saja. Kita sudah punya lahan dan sumber daya, terutama yang dianggap orang lain sebagai beban, yaitu orang-orang yang tidak bekerja. Ketiga kita punya anggaran,” katanya.

Anggaran desa yang dialokasikan tak banyak, sekitar Rp100 juta. Sisanya kolaborasi dengan pihak lain dalam beberapa skema kerjasama, misalnya dengan komunitas Petani Muda Keren yang investasi di revitalisasi kebun mangga.

Pohon-pohon mangga terlihat ada yang sudah berbuah namun belum matang, ada yang sedang berbunga. Sistem panen sebelumnya adalah, hektaran pohon disewakan pada pihak ketiga dengan harga sangat murah dan tidak berkelanjutan. Sekarang sedang diakuisisi oleh BUMDes untuk perawatan dan pemasaran hasilnya.

Warga yang mau merawat pohon mangga diupah sekitar Rp85-100 ribu per hari. “Harapan saya ini bisa mempercepat perubahan. Kalau ini bisa masif kita lakukan, kita bisa dapat untung, dan target 70-80% mangga di Tembok bisa kita kuasai lagi,” ujar Yudi yang pernah kuliah pariwisata namun tak tamat ini. Akuisisi baru berjalan 2000-an pohon dari 15.000-an pohon mangga.

baca juga : Pandemi, Pangan dan Pemanfaatan Hutan bagi Rakyat

 

Kepala Desa Tembok, Buleleng, Bali, Dewa Komang Yudi dan hasil olahan desanya yang dikemas menarik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Skema lain adalah pemberian upah atau paket sembako pada pekerja-pekerja demplot sesuai beban kerjanya. Awalnya diberi upah harian, namun ini dinilai kurang efisien, dan diubah dengan skema jaminan bahan pangan pada yang terlibat.

Sampai saat ini ia mengaku, amunisi dana masih cukup bahkan sampai tahun depan. Beberapa tanaman sudah pernah panen sampai lebih dari enam kali seperti sayur hijau dan kangkung. Hasilnya utk konsumsi sendiri dan dijual ke pihak yang tidak terdampak langsung. Misalnya pegawai pemerintah, BUMN, dan usaha lain di sekitar desa

Rencana jangka panjang adalah mengolah lahan tidur oleh warga sendiri. Desa berjanji memfasilitasi seperti permodalan dan risiko gagal pasar.

Jumlah warga yang menyebut diri sebagai petani di Desa Tembok sebanyak 1.263 KK tetapi musiman. Tidak memaksimalkan diri sebagai petani. Karena ada banyak kendala, di antaranya modal (bibit, pupuk, irigasi), risiko gagal panen, dan akses pasar.

Beberapa kendala ini dimitigasi. Risiko gagal panen dicegah dengan kerjasama dengan dinas pertanian dan komunitas untuk mendampingi petani agar risiko kegagalan bisa dikurangi. Untuk risiko akses pasar, BUMDes akan membeli selama kualitasnya bagus.

 

Exit mobile version