- Perkumpulan Pikul melakukan survey dampak pandemi COVID-19 terhadap pelaku rantai pertanian di 17 kabupaten dari 22 kabupaten/kota yang tersebar di pulau Flores, Timor, Alor, Lembata, Sumba dan Sabu di Provinsi NTT
- Data Biro Pusat Statistik tahun dan Kementerian Pertanian RI menyebutkan hampir 1,1 juta orang atau 54,73% angkatan kerja terserap dalam sektor pertanian di NTT sehingga ketergantungan akan sektor ini sangat tinggi.
- Sebanyak 64% petani mengatakan hasil produksi mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya dan lebih dari 70% responden menyatakan penurunan hasil berkisar hingga 50 % dari tahun sebelumnya
- Dampak pandemi Corona juga membuat para perantau kembali ke desanya sehingga tentunya akan terjadi penambahan konsumsi bahan pangan dan boleh jadi para petani tidak memiliki rencana cadangan pangan
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Perkumpulan Pikul melakukan kajian untuk melihat bagaimana situasi rantai pangan pertanian pada musim tanam pertama.
Kajian juga untuk melihat bagaimana rantai pangan terpengaruh oleh pembatasan pergerakan yang hampir menyeluruh untuk menangani penyebaran COVID-19.
Mengapa? Karena sejak akhir Maret 2019, sejumlah kabupaten di NTT seperti Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara, juga kabupaten lainnya di Sumba dan Flores mengeluarkan kebijakan penutupan pasar desa.
Kemudian, secara cepat pula, desa-desa di NTT sejak bulan Maret memberlakukan penutupan pasar desa dan larangan orang keluar masuk desa.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pikul, Torry Kuswardono kepada Mongabay Indonesia, Minggu (17/5/2020) menjelaskan kajian dilakukan melalui survey terhadap 156 responden di 17 kabupaten pada tanggal 29 April hingga 6 Mei. Survey dilakukan di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Malaka, Alor, Lembata, Flores Timur, Sikka, Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai, Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Sabu-Raijua.
Responden terdiri dari 86 orang petani tanaman pangan (serealia dan hortikultura), 27 orang petani perkebunan, 23 orang pedagang pengumpul dan 17 orang penjual.
“Data yang dikumpulkan bersifat kuantitatif dan kualitatif tentang persepsi dan pengalaman para responden sejak musim tanam pertama dan situasi responden dalam konteks COVID-19,” ungkapnya.
baca : Hama Ulat Grayak Serang Ribuan Hektar Lahan Pertanian di Flores. Apa Solusinya?

Turunnya Hasil Panen dan Harga
Penghidupan sekitar 1,1 juta petani dan pelaku sektor pertanian di Provinsi NTT diduga mengalami penurunan hasil panen dan pendapatan. Berkaitan dengan COVID-19,
Berdasarkan survey, kata Torry, sebanyak 64,36% petani mengaku hasil panenan saat ini kurang dibanding tahun sebelumnya. Lebih dari 70% responden menyatakan penurunan hasil berkisar hingga 50% dari tahun sebelumnya.
Selain itu, terdapat sekitar 73,2% responden mengungkapkan hasil panen mereka, terutama serealia, cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sekedarnya.
Faktor utama penurunan hasil panen sebutnya, yakni curah hujan yang datang terlambat pada musim tanam akhir 2019.
“Selain itu menurut 70 persen petani, hujan yang kurang, atau kurang teratur berdampak pada penurunan hasil panen tahun ini,” jelasnya.
Serangan hama merupakan faktor lain yang juga disebutkan oleh responden sebagai penyebab turunnya hasil panen. Penurunan produksi tanaman perkebunan diikuti dengan penurunan harga jual dan kesulitan dalam akses pasar.
Berdasarkan hasil survey, 52,9% responden mengungkapkan terjadi penurunan harga jual mencapai 50% dari harga sebelumnya. Sebanyak 77,1% petani mengeluhkan akan akses pangan di pasar desa di semua kabupaten.
“Sebanyak 72,2 persen pedagang pengumpul menyatakan bahwa jumlah pangan yang dibeli dari petani mengalami penurunan dari jumlah biasanya. Faktor penyebabnya menurunnya pembelian yakni adanya penutupan pasar dan pembatasan pergerakan,” paparnya.
Selain itu, terdapat sekitar 82,8% petani perkebunan (tanaman perdagangan) menanam tanaman pangan di luar tanaman perkebunan. Namun jumlahnya tidak banyak dan tidak akan dapat memenuhi kebutuhan sendiri.
Hingga awal bulan Mei, tidak ada satu pun responden petani perkebunan yang cukup yakin bahwa mereka akan mampu menjual hasil panen seperti biasanya dan mendapatkan uang untuk membeli pangan.
“Turunnya permintaan dan terhambatnya jalur distribusi barang menyebabkan petani perkebunan semakin rentan.” ungkapnya.
baca juga : Sukses Kembangkan Sorgum di NTT, Maria Akui Jatuh Cinta pada Rasa Pertama

Klasterisasi Wilayah
Pandemi COVID-19 belum bisa dipastikan kapan berakhir. Selama belum ada kepastian, setiap sistem perlu untuk diubah atau pemilihan alternatif untuk menunjang keberlanjutan setiap elemen.
Perkumpulan Pikul merekomendasikan untuk jangka pendek, perlu ada klasterisasi wilayah surplus dan defisit.
Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan dan Dinas Perhubungan di level pemerintah provinsi maupun kabupaten diminta Pikul melakukan klasterisasi wilayah produksi pangan yang mengalami surplus dan defisit terdekat.
Klasterisasi jelas Torry, untuk mendistribusikan pangan dari desa atau kecamatan yang surplus pangan ke daerah defisit pangan. Dengan demikian, surplus pangan di suatu wilayah tidaklah terbuang begitu saja dan harga pangan tetap stabil.
“Pembukaan transportasi khusus pangan dan depo pangan dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten dalam klaster yang menyeimbangkan daerah surplus dan defisit,” tegasnya.
Distribusi pangan dapat dilakukan dengan pembukaan transportasi khusus pangan secara terkendali. Pada tingkat desa, institusi di desa baik pemerintah desa atau pun Bumdes dapat mengambil alih dengan bekerja sama pedagang pengumpul.
Sementara itu di tingkat kecamatan dan kabupaten maupun antar kabupaten, pintanya, pemerintah kabupaten bersama pemerintah provinsi memfasilitasi depo-depo pangan untuk menjamin distribusi daerah surplus dan defisit.
“Penyiapan gudang penampungan dan pembelian sementara tanaman perdagangan juga diperlukan untuk membantu petani perkebunan, “ tuturnya.
Pemerintah kabupaten dan provinsi, tandas Torry, dapat membuka gudang- gudang penampungan sementara untuk menampung dan menyalurkan hasil-hasil perkebunan.
Pemerintah sarannya, dapat membeli dahulu hasil panen tanaman perdagangan separuh harga, dan membayarkan separuh harga yang lain setelah hasil perkebunan terjual.
Dengan demikian, ungkapnya, petani perkebunan mendapatkan uang tunai untuk membeli pangan. Cara yang lain, bisa juga dengan memberikan pinjaman dengan agunan tanaman perdagangan yang telah dipanen.
perlu dibaca : Kisah Sukses Eustakius Kembalikan Kejayaan Holtikultura di Sikka

Pangan yang Tangguh Iklim
Mengingat pandemi COVID-19 belum dapat dipastikan kapan akan berakhir, mau tidak mau penguatan sistem pangan lokal menjadi sebuah imperatif.
Untuk jangka menengah dan panjang, himbau Torry, setiap warga baik di perkotaan maupun di perdesaan, perlu didorong untuk mampu menghasilkan pangan bergizi yang tangguh iklim.
“Kebijakan rumah pangan lestari, dan pekarangan lestari dapat terus dikembangkan tidak hanya dengan dukungan dana, tetapi juga teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan produksi dengan penggunaan air yang efisien serta teknologi penyimpanan dan pengolahan pangan,” sarannya.
Pengembangan lumbung pangan di desa-desa, tambah Torry perlu dilakukan sesuai dengan konteks dan kebudayaan yang berlaku. Lumbung pangan dapat berupa lumbung keluarga, lumbung marga, lumbung suku, hingga lumbung desa sesuai dengan kapasitas masing.
Pemerintah desa dengan kewenangan dan pendanaan dapat memfasilitasi pengembangan berbagai lumbung pangan secara inovatif dan kreatif.
“Pengembangan infrastruktur pertanian pedesaan lewat padat karya desa juga merupakan kebijakan yang perlu terus dikembangkan. Namun, infrastruktur tersebut sedapat mungkin dikembangkan dekat dengan wilayah permukiman,” tegasnya.
Pengembangan embung atau sumur, perlu dikembangkan setidaknya pada tingkat RW atau di tingkat dusun.
Rasio layanan infrastruktur terhadap jumlah pengguna, pinta dia, perlu dinaikkan sehingga infrastruktur dapat dimanfaatkan untuk memperkuat penguatan pangan lokal.
Pemerintah juga diminta Perkumpulan Pikul mengembangkan sumber-sumber pangan lokal yang cocok dengan wilayah setempat untuk dapat meningkatkan ketahanan pangan.
Dia mencontohkan seperti serealia lokal, misalnya sorgum, jewawut, umbi-umbian, sagu gewang, dan juga gula lontar.
“Pengembangan kembali kacang-kacangan, dan sayuran lokal yang semakin ditinggalkan dapat diperkenalkan kembali untuk memperkuat ketahanan pangan,” pungkasnya.