Mongabay.co.id

Melirik Talas Sebagai Potensi Pangan Masyarakat Indonesia

 

 

Lelaki itu jongkok di bawah daun talas, sembari mencungkil tanah untuk mengambil umbinya. Lahan itu berada di belakang bangunan Sekolah PAUD Desa Batu Ampar, Kabupaten Kapahiang, Bengkulu.

Dia adalah Syamsir Alamsyah [33], seorang petani kopi. Hari itu, pertengahan Juli 2020, ia memanen sebatang talas untuk makan malamnya. “Kali ini umbinya sudah banyak isi,” katanya.

Juli adalah bulan ke empat talas itu ditanam. Tingginya sudah mencapai 1,5 meter. Daunnya hijau selebar payung dan batangnya gemuk pendek berwarna cokelat.

“Maret saya tanam, ketika heboh-hebohnya corona [COVID-19]. Virus ini membuat khawatir kita semua. Talas saya siapkan kalau saja beras susah didapatkan nantinya,” kata dia.

Melihat tanamannya tumbuh subur, pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga itu menanam kembali talas di kebun kopinya, sekitar 400 meter dari sekolah PAUD itu. Terutama di sela batang kopi yang jaraknya sekitar 2 meteran.

“Ada sekitar 20 lubang,” tutur dia. Umurnya beragam, ada yang dua bulan, bahkan ada juga beberapa minggu.

“Menggali lubang untuk talas saya kerjakan sore setelah istirahat memanen kopi. Pelan-pelan saja,” kata dia.

Baca: Pandemi Corona: Perkuat Keragaman Pangan, Indonesia Sehat Bukan Hanya Beras

 

Umbi talas yang sudah dibersikan enak dikosumsi dengan cara direbus. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Belum populer

Parang Syamsir mengkilap dan tajam. Sekali tebas tangkai pohon talas langsung tumbang. Getah bening keluar dari rongga-rongga tangkai.

“Mundur sedikit,” dia mengingatkan saya.

Tanah gembur itu dia gali dengan parang, pelahanan. Beberapa umbi terlihat.

“Malam ini kita rebus,” kata dia. “Bagaimana sebagian kita panggang?” Saya menawar. “Tidak boleh, membakar umbi di kebun sama saja mengundang babi hutan datang,” kata dia lagi.

Hari itu kami bermalam di kebun. Sudah sepekan Syamsir menetap di kebun. “Kalau musim panen, desa akan sepi, sebagian penduduk menginap di kebun,” jelas dia.

Di Desa Batu Ampar memang belum banyak penduduk yang menanam talas. Selain Syamsir, adalah Kepala Desa Batu Ampar yang menanam di halaman rumah, yaitu Herwan Iskandar.

Dia menanam talas medio Maret-April 2020, ketika semua orang panik dengan corona. “Bingung sekali pokoknya, informasi banyak tidak jelas, peraturan dari pemerintah pusat juga berubah, kebijakan antar-menteri tumpang tindih. Saya mengajak masyarakat menanam tumbuhan sumber pangan sebagai cadangan bila saja suatu saat nanti corona menyebabkan krisis pangan,” kata dia.

Herwan menanam duluan talas sebagai contoh. “Belum populer memang di sini, yang pasti saya sudah mencontohkan,” tuturnya.

Baca: Pandemi Corona, Akankah Terjadi Krisis Pangan di Indonesia?

 

Umbi talas berukuran besar ini tumbuh subur di Desa Batu Ampar, Kabupaten Kapahiang, Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Mengutip Republika, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan Indonesia memiliki potensi bahan pangan lokal sangat besar yang bisa diolah untuk memenuhi kecukupan gizi pada anak.
“Sebagian olahan bahan pangan lokal Indonesia bahkan sudah diekspor ke berbagai negara, tetapi tidak dipasarkan di dalam negeri,” terangnya di Jakarta, Kamis [16/7/2020].

Suwandi mengatakan, Indonesia memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis pangan sumber protein, 110 jenis rempah dan bumbu, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, dan 40 jenis bahan minuman.

Dengan potensi bahan pangan yang sangat besar tersebut, masyarakat Indonesia seharusnya sangat mampu untuk melakukan diversifikasi pangan. Dengan begitu, tidak terpaku pada satu jenis makanan pokok, termasuk dalam memenuhi kebutuhan gizi anak.

“Bahan pangan lokal Indonesia yang memiliki potensi cukup tinggi antara lain adalah ubi kayu atau singkong, ubi jalar, jagung, sorgum, talas, ganyong, gadung, gembili, garut, porang, hanjeli, dan hotong,” ungkapnya.

Talas [Colocasia esculenta] merupakan salah satu bahan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia, seperti di Jawa Barat dan Papua. Mengutip situs LIPI, dijelaskan bahwa talas memiliki kandungan protein dan vitamin yang lebih lengkap dibandingkan uwi, ubi kayu, dan ubi jalar. Ukuran butirannya yang sangat kecil, diameter 1 hingga 1,5 mikrometer, membuat talas mudah dicerna dan cocok dikonsumsi bagi penderita gangguan pencernaan.

Dalam seporsi talas [sekitar 150 gram] yang sudah dimasak, terkandung sejumlah 150-200 kalori, 5-7 gram serat, 4 gram protein, 150-170 mg kalsium, 450-600 mg kalium, 30-50 mg magnesium, dan 60-70 mg fosfor.

Tak hanya itu, sebagaimana dijelaskan di Alodokter, talas juga diperkaya antioksidan, karbohidrat kompleks, vitamin C, vitamin B, vitamin A, serta zat besi dan tembaga. Aneka nutrisi tersebut menjadikan talas sebagai salah satu makanan yang penting dalam memelihara kesehatan dan fungsi organ tubuh.

Di Indonesia, masyarakat banyak yang mengolah talas, selain direbus, menjadi aneka ragam makanan bercita rasa tinggi. Sebut saja, bolu talas, keripik, kolak, bubble tea, hingga es campur.

 

Pohon talas ini ditanam di antara batang kopi. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Manfaatkan pekarangan rumah

Pada Mei 2020, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengingatkan pandemi bisa menimbulkan ancaman krisis pangan. Melalui keterangan tertulisnya, Kementerian Pertanian, mendorong masyarakat berupaya memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga melalui pemanfaatan lahan perkarangan.

Kegiatan Pekarangan Pangan Lestari [P2L], diharapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan tingkat rumah tangga, tapi juga dapat mengurangi pengeluaran, bahkan meningkatkan pendapan rumah tangga.

“Ini namanya family farming atau tanaman di perkarangan rumah,” ujarnya.

Rabu [19/8/2020], Menteri Pertanian melalui Kepala Badan Ketahanan Pangan [BKP] Agung Hendriadi bersama Dirjen Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi [Kemendes PDTT], Samsul Widodo, meluncurkan program Penguatan LPMDes.

Langkah ini diambil, sebagai upaya memenuhi pangan masyarakat desa menghadapi pendemi corona. “Penguatan LPMDes untuk memperkuat cadangan pangan masyarakat desa,” terang Agung di situs Kementan.

Menurutnya, lumbung pangan cukup krusial, untuk itu harus diperkuat berbasis desa, tidak hanya kelompok. LPMdes akan diprioritaskan pada 38.700 desa di 240 kabupaten non-sentra produksi atau wilayah kebutuhan kosumsi penduduk melebihi potensi produksi.

Baca juga: Paket Kebijakan Harus Perkuat Ketahanan Desa Lawan Corona

 

Syamsir Alamsyah memanen talas yang ditanam di lahan miliknya di Desa Batu Ampar, Kabupaten Kapahiang, Bengkulu. Foto Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Krisis pangan

Krisis pangan bukan saja menjadi kekhawatiran Indonesia. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia [FAO] menegaskan ada 27 negara yang terancam krisis pangan karena pandemi, diantaranya Afganistan, Bangladesh, Haiti, Venuzuela, Lebanon, Irak, Sudan, Suriah, Kamerun, Liberia, Mali, Burkina Fuso, Nigeria, Mozambik, juga Zimbabwe.

Menurut Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu, ada empat alasan pendemi corona menyebabkan krisisi pangan. Pertama banyaknya warga kehilangan pekerjaan. Kedua, gangguan kesehatan sehingga produksi dan pasokan pangan terganggu. Ketiga, jatuhnya pendapatan pemerintah. Keempat, pandemi mampu membuat ketidakstabilan politik sehingga memicu konflik, mulai dari perebutan sumber daya alam seperti air, lahan pengembalaan, jalur migrasi, sehingga mengganggu produksi pertanian dan pasar.

Dalam perkembangannya, saat ini ada 35 negara di dunia bergabung dalam Koalisi Pangan Covid-19 yang dipimpin FAO dan diluncurkan di Italia. Koalisi ini bertujuan memobilisasi bantuan politik, keuangan, dan teknis kepada negara yang terdampak. Juga, sebagai forum pertukaran ide dan pengetahuan guna mencari solusi bersama.

Menurut perkiraan FAO, sebelum terjadi pandemi sekitar 690 juta orang menderita kelaparan, 135 juta orang diambang kelaparan, dan 183 juta orang dalam ancaman kelaparan ekstrim.

“Koalisi pangan akan membantu pembangunan berkelanjutan dan mengurangi kelaparan serta kekurangan gizi,” ujar Wakil Direktur Jenderal FAO, Beth Bachol, sebagaimana dilansir dari situs resmi FAO.

 

Syamsir Alamsyah menunjukkan talas yang ia tanam. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Prioritas

Zainuddin [63], petani kopi Batu Ampar berharap, Pemerintah Indonesia dapat menghadapi kondisi pandemi ini dengan tetap mengutamakan penanganan kesehatan dan menguatkan pangan lokal masyarakat.

“Saya nonton televisi, setiap hari informasinya membingungkan. Pemerintah harus kompak. Jangan membuat kami sebagai rakyat gagal paham. Kami ingin kesehatan dan pangan diperhatikan,” paparnya.

 

 

Exit mobile version