Mongabay.co.id

Pentingnya Menjadi Bangsa yang Melek Mitigasi Bencana

Sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi akan mulai masuk musim kekeringan. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan dari 342 daerah zona musim (Zom) di Indonesia, maka sebanyak 69 persen Zom telah memasuki musim kemarau.

Sedangkan prediksi musim kemarau di Indonesia masih akan berlangsung hingga bulan Oktober 2020 mendatang. Puncak musim kemarau sendiri tidak berlangsung bersamaan di masing-masing provinsi.

BMKG mengimbau daerah yang diprediksi akan mengalami musim kemarau lebih kering pada tahun 2020 agar meningkatkan kewaspadaan dari berbagai dampak kekeringan. Wilayah yang diprediksi akan mengalami kemarau lebih kering yaitu di sebagian Aceh, sebagian pesisir timur Sumatera Utara, sebagian Riau, Lampung bagian timur, Banten bagian selatan, sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah bagian tengah dan utara, sebagian Jawa Timur.

Kekeringan dan banjir sebenarnya bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya merupakan bencana hidrometeorologi yang datang silih berganti dan saling berkaitan. Kemarau rentan kekeringan dan penghujan identik banjir.

Fenomena klasik dan prediksi BMKG patut diperhatian dengan meningkatkan literasi kebencanaan menuju masyarakat yang melek bencana, termasuk kekeringan.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Negeri Ini Makin Rawan Bencana

 

Kondisi di Kampung Maipi, Luwuk Utara, Sulawesi Selatan, yang mengalami dampak bencana beberapa waktu lalu. Mongabay Indonesia/Eko Rusdianto

 

Bencana  Dalam Angka

Bangsa Indonesia sangat akrab dengan kehadiran bencana. Secara umum bencana dapat dipahami dalam dua bentuk, yaitu bencana alamiah dan bencana antropogenik. Bencana alamiah merupakan murni kehendak Tuhan. Sedangkan bencana antropogenik terjadi akibat ulah tangan manusia.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat total terjadi 1.724 bencana telah melanda Indonesia sepanjang mulai awal tahun hingga Juli 2020. Bencana menimbulkan terdampak dan mengungsi sekitar 3.734.010 orang, sedangkan meninggal dunia 257 orang dan hilang sebanyak 20 orang dan luka-luka 406 orang.

BNPB mencatat bencana yang mendominasi hidrometeorologi di antaranya bencana banjir, angin puting beliung dan tanah longsor. Paling banyak terjadi yakni sebanyak 702 akibat peristiwa banjir.

Kemudian diikuti dengan angin puting beliung sebanyak 464 kejadian, tanah longsor sebanyak 347 kejadian, gelombang pasang dan abrasi sebanyak 23 kejadian, gempa bumi 11 kejadian dan erupsi gunung api 3 kejadian. Selain itu terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebanyak 163 kejadian, dan 10 kejadian kekeringan terjadi sepanjang 2020.

Global Assessment Report (2011) telah memperkirakan bahwa kerugian akibat bencana rata-rata mencapai 1% dari PDB per tahun. Kerugian  dunia akibat kejadian bencana sejak tahun 2003 hingga 2012 ditaksir lebih dari 2,7 triliun Dolar Amerika.

Untuk Indonesia, dampak fiskal bencana secara nasional memang masih tergolong kecil. Bencana terdahsyat tsunami Aceh tahun 2004 misalnya memiliki kerugian setara 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDRB) Indonesia. Persentase tersebut akan terasa besar di tingkat daerah yaitu mencapai 45% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh.

Hampir 90 persen sumber dana penanggulangan bencana dari pemerintah pusat, padahal pemerintah hanya mampu mengalokasikan dana bencana sekitar Rp 4 trilyun per tahun. Implikasi ini akan semakin besar dan kompleks jika dikaji terhadap sektor industri serta perdagangan dan jasa. Bencana tahunan seperti banjir juga menjadi faktor penghambat bagi datangnya investasi.

Bencana antropogenik tahunan besar dan merata secara nasional adalah bencana hidrometeorologi.  BNPB melaporkan bahwa 100 tahun terakhir (1915-2015) bencana hidrometeorologi mendominasi kejadian bencana alam.

Bencana alam yang paling sering terjadi adalah bencana alam banjir sebanyak 31,2% keseluruhan kejadian bencana di Indonesia. Kemudian diikuti oleh angin puting beliung sebanyak 20% dan posisi ketiga bencana alam tanah longsor sebanyak 16,4% kejadian.

Bencana selanjutnya di bawah bencana hidrometeorologi antara lain kebakaran, kekeringan, kecelakaan transportasi, banjir disertai tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi, gunung api, dan tsunami masih mewarnai sejarah kejadian bencana di Indonesia sejak 100 tahun lalu.

Baca juga: Tanggugjawab Hukum dan Peluang Gugatan Bencana

 

Kondisi air sungai Bengawan Solo surut saat musim kemarau akhir tahun 2019 di Desa Plangwot, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Bangsa Melek Bencana

Bencana antropogenik terjadi akibat kelakuan manusia merusak keseimbangan lingkungan. Konsekuensi demi meminimalisasi bencana antropogenik adalah mengimplementasikan manajemen lingkungan secara terpadu. Keterpaduan yang dibutuhkan andalah antar sektor, antar pihak, dan antar wilayah. Pemimpin bertanggungjawab menjadi fasilitator upaya ini.

Pemimpin, baik eksekutif dan legislatif mesti memiliki komitmen politik hijau. Pemimpin yang baru hasil pilkada nanti wajib kiranya melek ekologi dan mengarusutamakan lingkungan demi pembangunan berkelanjutan.

Legislator baru juga penting peduli agenda lingkungan yang dibuktikan dengan produk legislasi dan penganggaran yang pro-lingkungan. Orientasi pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan yang ujungnya menyebabkan datangnya bencana.

Sektor swasta perlu tanggap terhadap kebutuhan lingkungan. Program sosial atau CSR dapat didayagunakan untuk pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan. Izin lingkungan juga harus dipenuhi sejak awal hingga melaksanakan rekomendasi pengelolaan lingkungannya.

Masyarakat dituntut peka dan tanggap terhadap dinamika lingkungan. Hasil survei Program Climate Asia (2013) mengungkapkan bahwa informasi perubahan iklim masih kurang di kalangan warga Indonesia.

Hanya 19 persen masyarakat yang mendengarkan prakiraan cuaca serta 11 persen yang memiliki persiapan bencana. Kondisi ini menuntut upaya ekstra kaitannya dengan penyebaran informasi dan pelaksanaan edukasi.

Di dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.  Kondisi  lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi kunci minimalisasi bencana antropogenik. Seluruh warga saatnya diajak berpartisipasi demi mengurangi risiko bencana akibat ulah manusia.

Tantangan penanggulangan bencana yang semakin rumit membutuhkan keberadaan personel yang kompeten. Tugas kemanusiaan sekaligus beban finansial akan terkurangi melalui optimalisasi mitigasi dan pengurangan risiko bencana secara terpadu dan berkelanjutan.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA [Center for Public Capacity Acceleration]. Artikel ini opini penulis.

 

***

Foto utama: Bencana tanah yang ambles di Desa Plangwot, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, ukuran kedalaman antara 3-4 meter, panjangnya hampir 300 meteran. Sementara itu, lebarnya sekitar 25-50 meter. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version