Mongabay.co.id

Ekspor Benih Lobster Dibuka: Ngegas di Awal, Melempem di Tengah Jalan [bagian 2]

 

Jauh hari ketika mendengar desas-desus ekspor benih bening lobster akan kembali dibuka, Sanusi mulai menyiapkan diri. Dia menghubungi beberapa temannya sesama nelayan. Beberapa kali mereka bertemu, hingga kemudian disepakati kerja sama. Sanusi akan membantu menyediakan beberapa fasilitas bagi nelayan, seperti bambu untuk keramba hingga mesin genset. Dia juga mendukung untuk bahan bakar sampan para nelayan. Untuk satu orang nelayan, Sanusi menghitung akan keluar Rp4 – Rp5 juta.

Sanusi adalah adalah satu pengepul di Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Bukan pengepul besar. Tapi dia dipercaya oleh para nelayan sebagai tempat menitip barang, untuk dijual ke perusahaan. Para nelayan tidak ingin berlama-lama memegang benih bening lobster (BBL). Jika hari itu ada yang ditangkap, hari itu juga dibawa ke Sanusi, dan hari itu juga dibayar Sanusi. Begitulah model transaksi jual beli BBL. Nelayan butuh uang saat itu juga. Berapa pun jumlah benih yang mereka bawa.

Sanusi hanya perantara nelayan ke perusahaan. Sanusi akan melepas benih ke perusahaan mana pun. Dia tidak terikat dengan salah satu perusahaan. Perusahaan mana pun yang datang, jika harga pas dia akan melepas barang. Sanusi menghitung berapa modal yang dia lepas ke nelayan, dan mengambil keuntungan.

“Untung Rp 1.000 per ekor saja sudah syukur. Yang penting barang bisa diserap,’’ katanya kepada Mongabay, Sabtu (8/8/2020).

baca : Keran Ekspor Benih Lobster Dibuka, Kado Manis untuk Nelayan (bagian 1)

 

Nasrullah, salah seorang nelayan budidaya lobster di Desa Ketapang Raya Kecamatan Keruak, Lombok Timur, NTB. Dia menjual lobster induk miliknya ke salah satu perusahaan dan kemudian dijadikan sebagai bibit restocking oleh perusahaan tersebut. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sanusi harus menjual cepat BBL itu. Jika sudah tidak bening lagi, harganya turun. Dia rugi karena membeli harga lebih mahal dari nelayan. Untuk benih lobster (bukan bening) dia jual ke nelayan yang membudidayakan lobster, harganya Rp2.000 – Rp3.000. Sementara untuk BBL, dia membeli dari nelayan Rp6.000 – Rp11.000 ribu. Harga lobster pasir di tingkat perusahaan berkisar Rp8.000 – Rp10.250, dan bibit lobster mutiara Rp28.000 – Rp30.000.

“Tiap hari harus jual karena harga berubah ubah terus,’’ katanya.

Harga beli dari perusahaan inilah yang kini menjadi masalah di lapangan. Tidak ada kepastian harga dan nelayan bingung kemana harus menjual dengan harga yang tepat. Karena ketidakpastian harga ini, para nelayan tidak setiap hari menangkap BBL. Mereka memantau harga, menanyakan ke sesama nelayan dan menanyakan ke pengepul. Beberapa nelayan yang memiliki kenalan ke orang yang ditunjuk perusahaan juga menanyakan. Semua mendapatkan jawaban yang sama, harga yang rendah.

“Kami tidak tahu pasti berapa harganya,’’ kata Irfan, seorang nelayan dari Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Lombok Timur.

Dari beberapa nelayan di Lombok Timur dan Lombok Tengah, Mongabay mendapatkan harga pasaran untuk BBL. PT Setia Widara membeli bibit lobster pasir dengan harga Rp9.500/ekor, dan bibit lobster mutiara Rp 28.000/ekor. PT Bali Mandiri Sukses dan PT Sinar Lombok membeli bibit lobster pasir dengan harga Rp9.500/ekor, dan bibit lobster mutiara Rp30.000/ekor. PT Aquatec membeli bibit lobster pasir Rp10.250/ekor, dan bibit lobster mutiara Rp30.000/ekor. PT Nusa Tenggara Budidaya membeli bibit lobster pasir Rp8.000/ekor dan bibit lobster mutiara Rp28.000/ekor.

Tidak semua nelayan tahu harga yang beragam, karena mereka sudah memiliki pengepul. Biasanya pengepul ini yang memberikan bantuan modal. Pengepul ini mampu membayar tunai saat mereka menyerahkan benih. Nelayan juga merasa segan mencari pembeli lain karena merasa tidak enak, karena saat pengurusan surat ketetapan sebagai nelayan penangkap bibit mereka dibantu oleh perusahaan itu. Bagi nelayan, mereka tidak peduli perusahaan mana pun tempat menjual, yang penting harga yang pasti.

“Termasuk murah (benih lobster) harga sekarang,’’ kata Irfan.

baca juga : PBNU : Ekspor Benih Lobster Harus Dihentikan, karena Mengancam Keberlanjutan

 

Nelayan Selong Belanak berangkat menangkap bibit lobster. Aktivitas ini dilakukan sejak 2013, bahkan ketika ada larangan ekspor nelayan tetap menangkap bibit lobster. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Para nelayan awalnya sangat antusias ketika keran ekspor dibuka. Hampir seluruh perairan selatan Pulau Lombok penuh dengan keramba. Keramba itu dijadikan sebagai tempat ‘singgah’ benih lobster. Di keramba itulah pocong, alat tangkap bibit lobster dipasang. Kegiatan restocking pun menjadi perbincangan para nelayan, aktivis, termasuk pejabat pemerintahan. Berbagai diskusi digelar menyambut era ekspor bening lobster ini. Tapi sayangnya, ketika harga bibit lobster yang ditentukan perusahaan dinilai tidak sebagus sebelumnya, nelayan mulai berkeluh kesah.

“Saya off sementara (dari jual beli benih lobster), harga tidak bagus,’’ kata Mahnan Rasuli, salah satu pengusaha BBL yang ditemui Mongabay, Sabtu (8/8/2020).

Saat ekspor benih lobster illegal, harga yang dibeli di tingkat nelayan sangat tinggi. Per ekor pernah mencapai Rp23.000 – Rp25.000. Harga tinggi ini terjadi pada tahun 2016. Saat itu juga banyak terjadi penangkapan terhadap nelayan dan kurir yang menyelundupkan benih lobster. Pada tahun 2014, ketika ekspor benih lobster masih diperbolehkan, harga di tingkat nelayan Rp14.000 – Rp17.000 per ekor. Para nelayan awalnya mengira harga akan sama ketika masih diperbolehkan di era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, atau sama ketika menjadi barang illegal.

“Sekarang semua tiarap. Di atas (eksportir) menekan (harga murah), di bawah (nelayan) menggila harganya. Kalau kita paksakan jalan akan merugi terus, kita wait and see dulu,’’ kata Mahnan.

Selain persoalan harga, para pengusaha juga mengeluhkan kargo untuk pengiriman. Mahnan menduga, harga yang ditekan dari pihak eksportir karena harga kargo yang mahal. Padahal secara logika sederhana, pengiriman benih lobster ini tidak akan memakan banyak tempat. Tapi pengiriman saat ini menghitung jumlah benih yang dikirim, bukan berat atau volume paket.

“Harganya Rp1.800 per ekor. Seumur hidup bayar kargo kalau hitungan per ekor,’’ katanya.

perlu dibaca : Ketika Susi Pudjiastuti Ikut Bahas Polemik Ekspor Benih Lobster

 

Deretan keramba milik nelayan di perairan Jerowaru, Lombok Timur, NTB. Keramba ini dimiliki mandiri oleh nelayan, bukan keramba budidaya perusahaan eksportir lobster. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pelepasliaran Benih Lobster

Pada 20 Juli 2020, Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar melepas 260 ekor lobster hasil budidaya di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Lombok. Pelepasliaran dilakukan untuk memenuhi ketentuan restocking sejumlah 2 persen dari hasil panen lobster yang dibesarkan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (Ditjen PRL KKP), Aryo Hanggono menjelaskan sesuai dengan Permen KP No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia, Ditjen PRL KKP melalui Unit Pengelola Teknis (UPT) dimandatkan untuk merekomendasikan lokasi pelepasliaran lobster hasil budidaya.

“Sesuai Pasal 3 Ayat (1) huruf g Permen KP 12/2020, pelepasliaran lobster hasil budidaya dapat dilakukan di wilayah perairan tempat pengambilan benih atau di daerah lainnya yaitu kawasan konservasi perairan sesuai rekomendasi Ditjen PRL,” jelas Aryo dalam keterangan pers KKP.

Sementara itu, Kepala BPSPL Denpasar Permana Yudiarso menerangkan pelepasliaran lobster hasil budidaya di Lombok dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu 200 ekor lobster hasil budidaya milik PT. Nusa Tenggara Budidaya di KKPD Gili Sulat dan Gili Lawang Lombok Timur pada tanggal 11 Juli 2020. 60 ekor lobster hasil budidaya milik PT. Alam Laut Agung di KKPD Teluk Bumbang Lombok Tengah pada 14 Juli 2020.

“Ukuran lobster yang dilepaskan bervariasi antara 50 gram – 200 gram per ekor lobster, dengan jenis Lobster Pasir (Panalirus homarus),” terang Yudiarso di Denpasar.

Yudi mengungkapkan, alasan BPSPL Denpasar merekomendasikan lokasi pelepasliaran lobster hasil budidaya di kawasan konservasi karena habitatnya yang terlindungi serta tersedia pengelola kawasan yang akan menjaga dan mengawasi.

“Selain menentukan koordinat pelepasliaran, waktu pelaksanaan, jumlah dan ukuran lobster, kami juga melakukan pendampingan pelepasliaran untuk memastikan lokasi tersebut sesuai dengan ketentuan KEPDIRJEN-PB Nomor: 178/KEP-DJPB/2020,” ungkapnya.

penting dibaca : Menyelamatkan Benih Lobster dari Eksploitasi Eksportir

 

BPSPL Denpasar melepas 260 ekor lobster hasil budidaya di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Lombok, NTB, pada Senin (20/7/2020). Pelepasliaran dilakukan untuk memenuhi ketentuan restocking sebanyak 2 persen dari hasil panen lobster yang dibesarkan untuk ekspor. Foto : BPSPL Denpasar

 

Pelepasliaran lobster di perairan KKPD Gili Sulat dan Gili Lawang dilaksanakan bersama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur. Sedangkan pelepasliaran lobster di perairan KKPD Teluk Bumbang dilaksanakan bersama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok tengah.

Sayangnya, dalam ketentuan restocking ini tidak dijelaskan apakah KKP maupun Dinas Kelautan dan Perikanan harus memeriksa sumber lobster yang di-restocking. Tidak ada jaminan, lobster yang dilepas itu adalah benar-benar hasil budidaya perusahaan.

 

Pemerintah Harus Pastikan Budidaya

Acara pelepasliaran lobster ini kemudian menjadi sorotan. Indonesia Lobster Association (ILA) mensinyalir dugaan praktik illegal fishing dalam ekspor BBL. Mengacu aturan, setiap pelaku usaha ekspor BBL tanpa melakukan budidaya, atau budidaya tidak mengantongi izin usaha budidaya lobster atau tidak memiliki izin pengelolaan perairan laut adalah eksportir illegal atau perdagangan illegal.

“Dapat dikatakan sebagai tindakan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing atau kegiatan perikanan yang tidak sah,’’ kata Ketua ILA Habiburrohman kepada Mongabay, Sabtu (8/8/2020)

Habiburrohman awalnya bagian dari kelompok nelayan yang di awal keran ekspor dibuka, aktif untuk membantu nelayan. Dia bahkan menduduki jabatan ketua di Koperasi Laut Lombok Bersinar dan Koperasi Laut Lombok Gemilang. Belakangan Habiburrohman keluar dan memilih bergabung di ILA, salah satu organisasi para nelayan lobster Lombok yang aktif menyuarakan keadilan bagi nelayan.

ILA menemui beberapa pihak yang terkait dengan pengurusan perizinan budidaya. ILA menemukan fakta, sampai saat ini tidak ada perusahaan eksportir BBL yang pernah mengajukan izin pengelolaan perairan.

Habib bilang, setiap orang atau badan hukum yang menggunakan ruang laut secara tetap (minimal 30 hari) harus mendapatkan izin pengelolaan perairan termasuk kegiatan budidaya lobster. Aturan dasarnya dalam Permen KKP No.24/Permen-Kp/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Permen KKP No. 24/2019 ini dijadikan dasar aturan Pemprov NTB tentang izin pengelolaan perairan yaitu, Perda NTB No.12/2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2017-2037 dan Pergub NTB No.18/2018 tentang Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Kalau izin budidaya saja belum punya, bagaimana caranya kok tiba-tiba sudah melakukan restocking lobster hasil panen budidaya,’’ kata Habib.

Praktik seperti ini seperti sandiwara belaka. Perusahaan-perusahaan yang mendapat izin ekspor ini baru berdiri. Termasuk juga aturan yang mendasari dibolehkannya ekspor baru dikeluarkan pada tahun 2020 ini. Umur perusahaan baru beberapa bulan, tidak memiliki pengalaman budidaya lobster, tapi ketika ada persyaratan restocking, perusahaan-perusahaan ini sudah melakukan restocking.

Habib meminta aparat kepolisian untuk melakukan audit legalitas kegiatan ekspor BBL. Audit perlu menguji keabsahan aktivitas budidaya lobster, keabsahan izin pengelolaan perairan sampai dengan keabsahan penerbitan surat keterangan asal benih (SKAB). ILA juga minta pemerintah menghentikan pengeluaran BBL dari perairan laut NTB sebelum perusahaan eksportir melakukan usaha budidaya secara sah di wilayah perairan NTB. ILA juga meminta pemerintah menghentikan penerbitan SKAB sebelum perusahaan eksportir melakukan usaha budidaya secara sah di wilayah perairan NTB.

“ILA juga mendesak agar pemerintah dan aparat penegak hukum bisa menindak tegas setiap orang atau perusahaan eksportir BBL yang melakukan kegiatan perikanan yang tidak sah,’’ tambah Habib.

baca juga : Edhy Prabowo: Kebijakan Ekspor Benih Lobster Sudah Benar

 

Nelayan menarik keramba jaring apung ke tengah laut. Setelah budidaya bibit bening lobster diperbolehkan, jumlah keramba meningkat drastis. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Mongabay menghubungi beberapa pihak yang selama ini muncul di publik sebagai orang perusahaan pengekspor benih lobster. PT Nusa Tenggara Budidaya misalnya. Mongabay menghubungi GR (inisial). Dia meminta Mongabay untuk menghubungi Mahnan Rasuli. Mahnan, kepala Desa Batu Nampar Selatan memang dikenal sebagai pengusaha bibit lobster. Mahnan mengakui sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan pembelian bibit lobster, termasuk juga mengirim barang (ekspor). Tapi terkait dengan posisinya di perusahaan, dia mengakui dekat dengan beberapa perusahaan tapi bukan bagian dalam struktur perusahaan. Terkait dengan sumber lobster untuk restocking, Mahnan bilang cek langsung ke lapangan. Dimana lokasi perusahaan melakukan budidaya.

Di perairan Lombok Timur dan Lombok Tengah, tidak semua keramba yang terpasang saat ini merupakan keramba budidaya lobster. Keramba itu lebih difungsikan sebagai tempat menaruh alat tangkap bibit lobster. Keramba itu juga tempat menampung bibit lobster yang tidak laku diekspor. Tapi jumlahnya sangat sedikit.

Setelah sepekan mencari informasi di beberapa lokasi keramba, Mongabay bertemu dengan Nasrullah, mantan sekretaris Koperasi Laut Lombok Bersinar. Rupanya lobster yang di-restocking itu berasal dari kerambanya.

“Dibeli perusahaan 200 ekor, lobster pasir,’’ kata Nasrullah, Sabtu (8/8/2020).

Nasrullah sebenarnya tahu lobsternya itu akan dipakai untuk restocking. Sebagai nelayan, dia akan menjual lobster kepada siapa pun. Sebelumnya dia juga mengirim lobster ke beberapa hotel di Jakarta. Tapi sejak pandemi COVID-19, permintaan lobster berkurang. Ketika ada pihak yang membeli lobster, dia merasa senang. Semakin lama dipelihara, membutuhkan banyak pakan dan tenaga.

“Masih ada sisa sedikit yang belum dibayar,’’ katanya tersenyum.

perlu dibaca : Benih Lobster Dieksploitasi, Berbahayakah Secara Ekologi?

 

Deretan keramba milik nelayan di perairan Teluk Jukung, Kecamatan Jerowar, Lombok Timur, NTB. Keramba ini tidak seluruhnya terisi ikan atau lobster, bahkan banyak ditinggalkan begitu saja. Tapi setelah ekpor benih lobster dibuka, para nelayan kembali aktif ke keramba mereka. Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTB Lalu Wahyudi mengatakan, pemerintah kesulitan mengontrol semua perusahaan eksportir BBL. Perusahaan ini berada di luar NTB, sementara di NTB hanya menempatkan beberapa orang penanggung jawab. Selain itu, kewenangan pemerintah provinsi juga terbatas. Seperti permintaan ILA untuk mengontrol SKAB, kewenangan justru ada di kabupaten.

“Kami akan segera kumpul bersama DKP kabupaten-kabupaten yang menjadi sumber benih lobster,’’ katanya, pada Selasa (11/8/2020).

Wahyudi mengakui menerima laporan jika beberapa SKAB yang diterbitkan, bibitnya berasal dari daerah lain. Entah karena nelayan tersebut menangkap bibit lobster ke kabupaten lainnya dan kembali pulang mengurus SKAB.

“Padahal data SKAB ini penting agar kita tahu berapa sebenarnya jumlah bibit dari masing-masing kabupaten,’’ katanya.

Beberapa kelompok nelayan pernah datang ke DKP, termasuk juga organisasi-organisasi nelayan. Wahyudi menjelaskan, kewenangan DKP provinsi tidak banyak di dalam ekspor benih lobster ini. Begitu juga dengan proses perizinan jika perusahaan ingin melakukan budidaya. Proses perizinan berjenjang dari kabupaten.

“Kalau data kami sampai saat ini, memang belum ada (izin budidaya),’’ katanya.

Kepala DKP Provinsi NTB Yusran Hadi mengatakan, selama ini ada anggapan pemerintah provinsi lepas tangan terkait dengan berbagai kegaduhan ekpor benih lobster. Padahal kewenangan pemerintah provinsi sangat kecil. Banyak tuntutan ke DKP provinsi, padahal tuntutan itu lebih tepat ke kabupaten.

“Kami berulang kali tekankan apa saja kewenangan pemerintah provinsi,’’ katanya pada Selasa (11/8/2020).

Saat ini, DKP Provinsi NTB sedang mengajukan rancangan Peraturan Gubernur NTB tentang budidaya lobster. Budidaya lobster, termasuk udang vaname akan menjadi salah satu program unggulan di DKP Provinsi NTB. Dengan adanya aturan ini, diharapkan lebih banyak lagi nelayan yang melakukan budidaya.

 

Exit mobile version